Puisi: Pesta Api (Karya Oka Rusmini)

Puisi "Pesta Api" karya Oka Rusmini menggambarkan pertempuran batin antara individu dengan norma sosial, serta pencarian identitas dalam lingkungan ..
Pesta Api

dayu werdi,
brahmana, ksatria, sudrakah nafsumu?
aku pernah memecahkan sungai
ketika kau rampas taliku untuk menyelamatkan tarianmu
rasa laparmu terus meninggi menembus otakku
retak.

dayu werdi,
aku ingin pergi ke sorga, konon tuhan melukis wajahnya di kakimu
ijinkan aku mengintip. sedikit saja.
apa warna sorgaku? hitam. putih.
kulihat sorgamu terlalu rakus melahap warna.
mungkin aku bisa memilih ilalang atau kebun bunga.
lalu sepertimu bercumbu dengan lelaki di sana.
mulutku menari. laparku meluap. tubuhku berair.
hutan-hutan di balik kakiku akan menanam bau harum.
kupu-kupu atau kumbangkah yang akan mengisapnya?

dayu werdi,
telah kau tidurkan darahku.
dekat rumput yang menguning.
penuh luka. aku juga mencium rasa sakit.
segumpal bau busuk melahirkan kembang.
cintakah kau tanam dalam dagingku?

dayu werdi,
kau mulai pandai menanam hati.
menghidangkan mata.
lihat! kulitku penuh sisik panah.
jangan mendekat. darahmu tak lagi bisa menghidupkan api.

dayu werdi,
aku menanam keping sejarah sorgamu.
ceritakan sedikit tentang dongeng perempuan.
lapar.
beratus hari mengemis.
aku terus berlari. berikan sorgamu.
mana wajah tuhanmu?
aku telah menaburkan bibit wujudku.
semua jadi liar.
panas.
aku menemukan tali.
belajar meledakkan tubuhku.
anak-anakkah mengintip dari rahimku.
seperti apa aku?
meminang dagingku atau membuangnya untuk kesuburan bumi.

dayu werdi,
kau terus berteriak.
meretakkan otak. meletuskan upacara kecilku.
katamu:
"jaga anak-anakku"
cepat!
cium kakiku pinang sorga di telapakku.
aku telah pandai memetik darah.
dari permainan nafsumu.

September-Oktober 1996

Sumber: Horison (Oktober, 2000)

Analisis Puisi:

Puisi "Pesta Api" karya Oka Rusmini menggambarkan pertempuran batin antara individu dengan norma sosial, serta pencarian identitas dalam lingkungan yang penuh dengan kontradiksi dan penderitaan. Puisi ini penuh dengan simbolisme yang mendalam, menyentuh tema-tema tentang kekuasaan, nafsu, kesakitan, dan pencarian jati diri. Penggunaan bahasa yang metaforis dan imaji yang kuat memperlihatkan konflik internal yang dialami oleh tokoh dalam puisi, serta dialog batin yang berusaha untuk mengungkapkan kebenaran tentang eksistensinya.

"Dayu Werdi" sebagai Pusat Konflik

Dalam puisi ini, nama Dayu Werdi sering kali disebut, yang tampaknya menjadi tokoh yang simbolik dan representatif dari sesuatu yang lebih besar dalam kehidupan si pembicara. "Dayu Werdi" bisa dianggap sebagai gambaran sosok yang memiliki kekuatan atau pengaruh besar dalam dunia si pembicara, dan interaksi dengan sosok ini menjadi pusat dari pergulatan batin dan pencarian identitas.

"Dayu werdi, brahmana, ksatria, sudrakah nafsumu?"

Pertanyaan ini mengisyaratkan adanya pencarian tentang identitas dan status sosial, dengan merujuk pada kasta dalam budaya Bali — brahmana, ksatria, dan sudra — yang berhubungan dengan tingkatan sosial dan spiritual. Melalui pertanyaan ini, si pembicara tampaknya mempertanyakan kualitas spiritual dan moral dari orang yang disebut "Dayu Werdi," serta dampaknya terhadap dirinya.

Keinginan untuk Menyentuh Sorga

Pada bagian lain dari puisi ini, terdapat pernyataan yang kuat tentang keinginan untuk mencapai sorga atau kehidupan setelah mati. Namun, hal ini dipenuhi dengan ketidakpastian dan keinginan untuk melihatnya dengan cara yang tidak biasa.

"aku ingin pergi ke sorga, konon tuhan melukis wajahnya di kakimu"

Pernyataan ini menunjukkan rasa ingin tahu dan pencarian untuk mengerti lebih dalam tentang kehidupan, serta sebuah refleksi tentang bagaimana seseorang memandang kehidupan setelah mati. Menariknya, dalam puisi ini sorga digambarkan dengan warna yang ambigu, yakni hitam dan putih, yang menyiratkan dualitas dan kontras dalam kehidupan itu sendiri.

Penggambaran Luka dan Kesakitan

Puisi ini juga menggambarkan luka fisik dan emosional, baik yang dirasakan oleh pembicara maupun oleh dunia yang ada di sekitarnya.

"telah kau tidurkan darahku. dekat rumput yang menguning. penuh luka."

Pernyataan ini menggambarkan penderitaan fisik dan psikologis yang mendalam. "Darah" sering kali digunakan sebagai simbol kehidupan dan perjuangan, sementara "rumput yang menguning" mengisyaratkan sesuatu yang telah mati atau mengalami kehancuran. Luka yang digambarkan dalam puisi ini adalah sebuah representasi dari kondisi sosial atau pribadi yang penuh dengan tekanan, kesedihan, dan ketidakadilan.

Nafsu, Cinta, dan Pengorbanan

Tema tentang nafsu dan pengorbanan muncul dalam beberapa bagian puisi, terutama dalam gambaran tentang bagaimana tubuh dan daging manusia dapat menjadi objek dari berbagai keinginan, baik fisik maupun spiritual.

"cintakah kau tanam dalam dagingku?"

Pertanyaan ini mengisyaratkan rasa keinginan untuk dihargai atau dicintai, tetapi juga mungkin menunjukkan perasaan terjebak dalam tubuh dan daging yang hanya dijadikan objek. Pembicara merasakan ada yang hilang dalam dirinya, dan ia bertanya apakah segala penderitaan dan pengorbanan yang dialaminya itu bisa disebut cinta.

Teriakan dan Pencarian Jati Diri

Di akhir puisi, terdapat teriakan dari Dayu Werdi, yang memberikan perintah atau instruksi, serta menuntut pertanggungjawaban dari pembicara. Teriakan ini menjadi simbol dari tekanan eksternal yang semakin membebani pembicara.

"Dayu werdi, kau terus berteriak. meretakkan otak. meletuskan upacara kecilku."

Bagian ini menggambarkan bagaimana pembicara semakin terperangkap dalam realitas yang penuh dengan tuntutan dan ekspektasi dari dunia luar. "Meretakkan otak" mengindikasikan kehancuran mental dan kebingungannya dalam menghadapi realitas hidup yang penuh dengan kekuatan yang lebih besar dari dirinya.

Simbolisme Api dan Kekuatan yang Menghancurkan

Puisi "Pesta Api" juga menyuguhkan simbolisme api yang berulang, di mana api bukan hanya sekadar elemen yang melambangkan kekuatan dan kehancuran, tetapi juga sebagai alat pembersih dan transformasi.

"Aku menanam keping sejarah sorgamu. ceritakan sedikit tentang dongeng perempuan. lapar."

Simbolisme ini mengarah pada ide tentang pemusnahan yang bersifat transformatif, di mana meskipun ada pengorbanan dan kehancuran, proses tersebut menghasilkan sesuatu yang baru dan liar.

Puisi "Pesta Api" karya Oka Rusmini adalah karya yang kaya akan simbolisme dan metafora, mencerminkan konflik batin yang dialami oleh individu dalam masyarakat yang penuh dengan tekanan sosial dan spiritual. Pembicara dalam puisi ini berusaha untuk memahami dirinya dalam kaitannya dengan dunia di sekitarnya, berusaha untuk mencari makna dan tujuan hidup, meskipun ia sering merasa terperangkap dalam peran dan harapan yang diberikan oleh orang lain. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenung tentang nafsu, cinta, pengorbanan, dan pencarian diri yang tanpa akhir.

Puisi: Pesta Api
Puisi: Pesta Api
Karya: Oka Rusmini

  • Oka Rusmini lahir di Jakarta pada tanggal 11 Juli 1967.
© Sepenuhnya. All rights reserved.