Sumber: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi (2016)
Analisis Puisi:
Puisi "Penjual Buah" karya Joko Pinurbo merupakan karya sastra yang kaya akan simbolisme dan makna mendalam tentang kehidupan, cinta, serta dinamika sosial yang terjadi dalam masyarakat. Dalam puisi ini, penjual buah bukan sekadar tokoh yang menawarkan barang dagangan, tetapi juga menjadi lambang dari harapan, perubahan, dan perasaan manusia. Melalui pengulangan kata-kata yang sederhana, seperti "Bukan buah sembarang buah, buah saya manis rasanya," Joko Pinurbo berhasil mengajak pembaca untuk merenung tentang hubungan antar individu, perasaan cinta, dan pencarian makna dalam hidup.
Penjual Buah sebagai Lambang Kehidupan Sehari-hari
Pada awal puisi, penjual buah digambarkan sebagai sosok yang hadir setiap pagi di kampung dengan melantunkan kata-kata hafalan:
"Bukan buah sembarang buah, buah saya manis rasanya."
Kehadiran penjual buah ini menyimbolkan rutinitas kehidupan yang sederhana dan sehari-hari. Setiap pagi, dia datang menawarkan sesuatu yang menyenangkan: buah-buahan yang segar dan manis. Dengan kata-kata yang berulang dan ritmis, penjual buah memberikan gambaran tentang kehidupan yang terus berputar, di mana setiap hari membawa janji baru, kesempatan baru, dan harapan baru.
Namun, di balik kesederhanaan ini, ada lapisan makna yang lebih dalam, yaitu tentang bagaimana kita, sebagai manusia, terus mencari kebahagiaan dan kepuasan dalam hidup. Penjual buah, dengan segala pesonanya, tidak hanya menjual buah, tetapi juga menawarkan "rasa manis" dalam hidup. "Buah manis" di sini bisa diartikan sebagai simbol kebahagiaan, kenikmatan, atau bahkan cinta yang diinginkan banyak orang.
Reaksi Sosial: Cinta dan Kehidupan yang Berbeda Perspektif
"Dara-dara remaja senang sekali mendengarnya; mereka cepat-cepat berdiri di depan cermin dan menyaksikan bahwa pohon waktu mulai berbuah."
Pemuda-pemudi yang mendengar kalimat penjual buah ini merasa terpesona, bahkan mereka melihatnya sebagai sesuatu yang relevan dengan kehidupan mereka, di mana "pohon waktu" mereka mulai "berbuah." Bagian ini menggambarkan bagaimana cinta atau perasaan baru muncul dalam diri remaja, yang melihat dunia dengan optimisme dan antusiasme. Mereka merasa bahwa waktu mereka untuk merasakan "buah cinta" mulai tiba. Hal ini juga menunjukkan bagaimana perasaan cinta dapat muncul seiring berjalannya waktu, dan bagaimana generasi muda memandangnya dengan semangat.
"Ibu-ibu muda dengan gembira merubungnya dan merasakan betapa pohon cinta sedang lebat buahnya."
Para ibu muda juga merasakan kegembiraan, tetapi dengan perspektif yang berbeda. Mereka melihat "pohon cinta" yang lebat dengan buah, yang bisa diartikan sebagai fase kehidupan yang penuh dengan cinta, kebahagiaan, atau bahkan pencapaian dalam keluarga. Keberadaan penjual buah ini bisa juga dilihat sebagai simbol bagi mereka yang telah menemukan kebahagiaan dalam kehidupan keluarga dan cinta yang telah mereka jalin.
"Hanya perempuan-perempuan tua suka tersenyum kecut dan kadang ada yang menangis sambil merengek manja: Kembalikan buah saya kembalikan buah saya."
Di sisi lain, para perempuan tua memiliki reaksi yang berbeda. Mereka merasa kehilangan atau mungkin merindukan masa lalu, ketika mereka masih muda dan merasa bahwa "buah cinta" itu ada dalam hidup mereka. Mereka menangis dan merindukan kembali "buah" yang pernah mereka nikmati. Ini menggambarkan bagaimana waktu mengubah pandangan seseorang terhadap cinta dan kehidupan. Bagi mereka yang telah melewati banyak tahun, "buah" yang mereka idamkan tidak lagi manis atau mungkin sudah hilang, namun kenangan tentang masa lalu tetap ada.
Penjual Buah dan Kehilangan: Pencarian Makna dalam Kehidupan
"Sudah seminggu ini Pak Adam tak muncul di kampung kami."
Kehadiran Pak Adam, sang penjual buah, yang tiba-tiba menghilang, memberikan dimensi baru dalam puisi ini. Kehilangannya mungkin mengandung makna yang lebih dalam tentang kehidupan itu sendiri—bahwa segala sesuatu, termasuk kebahagiaan atau cinta, bersifat sementara. Kehidupan dan perasaan manusia bisa datang dan pergi begitu saja. Kehilangan penjual buah ini mungkin juga merupakan simbol tentang bagaimana harapan, cinta, atau kebahagiaan yang datang dalam kehidupan kadang tidak bisa kita pertahankan selamanya.
"Kata seorang nenek yang diam-diam mengaguminya, penjual buah itu tampaknya sudah mendapatkan buahnya buah yang belum tentu manis rasanya, yang mungkin pahit rasanya."
Di sini, nenek yang sebelumnya mengagumi Pak Adam menyatakan bahwa mungkin sang penjual buah kini telah menemukan buahnya yang baru—buah yang belum tentu "manis." Ini bisa diartikan sebagai perjalanan hidup Pak Adam, yang meskipun terlihat bahagia dan penuh dengan penawaran "buah manis" kepada orang lain, namun di balik itu semua dia mungkin sedang menghadapi kenyataan atau kesulitan hidup yang tidak terlihat oleh orang lain. Kehidupan yang tampak manis dan indah pada awalnya bisa jadi pada akhirnya terasa pahit, dan ini adalah bagian dari perjalanan hidup manusia.
"Bukan buah sembarang buah," ujar seorang perawan tua sambil menikmati apel yang tampak merah dagingnya.
Perawan tua yang menyatakan kalimat ini, sambil menikmati apel merah, bisa diartikan sebagai refleksi tentang kehidupan yang penuh dengan pilihan dan pengalaman. Meskipun buahnya tampak merah dan menggoda, tetap ada elemen kekecewaan dan penerimaan terhadap kenyataan hidup. Bagi seorang perawan tua, buah-buah kehidupan mungkin sudah tidak bisa lagi memberikan kenikmatan yang sama, namun ia tetap menerima dan menikmati apa yang ada.
Puisi "Penjual Buah" karya Joko Pinurbo menggambarkan perjalanan hidup manusia melalui simbol-simbol buah dan interaksi antara penjual buah dengan masyarakat sekitar. Setiap orang, tergantung pada usia dan pengalaman hidupnya, memiliki pandangan yang berbeda tentang "buah" kehidupan—baik itu cinta, kebahagiaan, atau bahkan kehilangan. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenung tentang bagaimana kita melihat kehidupan, bagaimana kita memaknai cinta, dan bagaimana kita berhadapan dengan perubahan yang tak terhindarkan dalam hidup.
Melalui repetisi kata-kata "Bukan buah sembarang buah, buah saya manis rasanya," puisi ini juga mengingatkan kita bahwa segala sesuatu dalam hidup bisa terasa manis atau pahit, tergantung pada bagaimana kita memandang dan menghadapinya. Dan seperti penjual buah yang menghilang, kehidupan pun terus berjalan dan berubah, mengajarkan kita untuk menerima setiap fase hidup dengan lapang dada, baik itu manis atau pahit.
Puisi: Penjual Buah
Karya: Joko Pinurbo