Sumber: Horison (Desember, 1983)
Analisis Puisi:
Puisi "Pedang" karya D. Zawawi Imron adalah sebuah karya yang mengandung makna mendalam, penuh simbolisme, dan potret ketegangan antara kekuasaan, kekerasan, dan kematian. Dalam puisi ini, Zawawi Imron menggunakan simbol pedang untuk menggambarkan konflik, perpisahan, dan penderitaan yang dialami oleh individu dan masyarakat. Melalui elemen-elemen seperti angin, bunga, burung, dan kabut, puisi ini menyentuh tema-tema besar tentang hidup, kekuasaan, dan keberadaan manusia dalam dunia yang penuh dengan pertarungan dan ketidakpastian.
Simbol Pedang sebagai Kekuasaan dan Kekerasan
Puisi ini dibuka dengan kalimat: “di risau angin pedangmu telanjang mengelus bunga dan lidah jelaga”. Di sini, pedang yang “telanjang” menjadi simbol kekuasaan dan kekerasan yang tidak terselubung, yang tidak hanya tampak sebagai ancaman fisik tetapi juga sebagai kekuatan yang mampu menghancurkan segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Pedang yang “mengelus bunga dan lidah jelaga” menggambarkan kontradiksi yang mendalam. Bunga, sebagai simbol keindahan dan kehidupan, bertemu dengan jelaga, simbol kegelapan dan kehancuran, menciptakan gambaran tentang dunia yang terpecah antara kebaikan dan keburukan, keindahan dan kehancuran.
Penyebutan “lidah jelaga” mengacu pada sesuatu yang berhubungan dengan kekotoran, kehitaman, dan kehancuran. Pedang yang telanjang bukan hanya tentang kekerasan fisik, tetapi juga tentang kekuatan yang dapat mengubah atau menghancurkan makna kehidupan, merusak keindahan, dan menggantikan kedamaian dengan kerusakan.
Angin, Lahar, dan Burung: Simbol Gerakan dan Perubahan
Di bagian berikutnya, puisi ini berbicara tentang angin yang risau dan burung-burung yang menyanyikan lahar ke rawa-rawa: “panggil saja burung-burung yang menyanyikan lahar ke rawa-rawa”. Burung-burung yang terbang dan bernyanyi melambangkan kebebasan, tetapi dalam puisi ini, mereka menyanyikan lahar—simbol kehancuran—ke rawa-rawa, sebuah gambaran dunia yang tercemar dan dilanda ketegangan. Lahar, yang biasanya merupakan aliran lava panas dari gunung berapi, mengisyaratkan kekuatan destruktif, bencana, dan perusakan. Rawa-rawa, di sisi lain, adalah tempat yang suram dan penuh dengan air yang stagnan, menggambarkan tempat-tempat yang terlupakan atau dibiarkan hancur oleh waktu dan konflik.
Angin yang risau dan burung-burung yang terbang menuju tempat yang penuh lahar dan rawa menciptakan gambaran yang suram tentang dunia yang dilanda kekerasan dan bencana. Ada perasaan ketidakpastian, keraguan, dan kerapuhan dalam puisi ini, menciptakan gambaran tentang dunia yang terus berubah dan penuh dengan ancaman yang tidak dapat dihindari.
Pedang sebagai Pemisah dan Penghancur Makna
Selanjutnya, puisi ini menggambarkan bagaimana pedang membelah kata-kata, menciptakan “gumpalan kabut dan makna”. Frasa ini merujuk pada dampak kekuasaan dan kekerasan terhadap komunikasi, pemikiran, dan perasaan manusia. Kata-kata yang biasanya berfungsi untuk menghubungkan dan menyampaikan makna kini menjadi kacau, terpecah-pecah menjadi kabut yang tak jelas. Ini adalah simbolisasi bagaimana kekerasan atau kekuasaan yang tidak terkendali dapat mengganggu kesatuan dan pemahaman manusia, menciptakan kebingungan dan kegelapan di tengah-tengah upaya untuk menemukan makna dan kebenaran.
Pemecahan kata-kata dan makna menjadi kabut mencerminkan efek trauma dan kekacauan yang ditimbulkan oleh peperangan, penindasan, atau bahkan konflik internal dalam diri manusia. Pedang yang membelah kata-kata tidak hanya merusak struktur fisik, tetapi juga merusak dasar komunikasi dan hubungan antarmanusia.
Darah, Perih, dan Kubur: Kematian yang Menghampiri
Puncak dari puisi ini adalah gambaran tentang darah, perih, dan kubur: “sepercik darah merumuskan perih dan kubur makin bergema”. Darah adalah simbol yang jelas dari kekerasan, luka, dan penderitaan yang ditimbulkan oleh pertempuran atau penindasan. Dalam konteks ini, darah merumuskan “perih”, sebuah rasa sakit yang datang dari luka fisik maupun emosional yang mendalam. Ketika darah mengalir, ia membawa serta penderitaan, trauma, dan kehancuran, yang akhirnya akan menuntun pada kematian.
“Kubur makin bergema” adalah simbol dari semakin dekatnya kematian, baik secara fisik maupun simbolik. Ini menggambarkan bagaimana kekerasan, ketidakadilan, dan kekuasaan yang tidak terkendali mengarah pada kehancuran dan kematian. Kuburan yang bergema menyiratkan bahwa kematian atau kehancuran tidak hanya menyentuh satu individu, tetapi bergema melalui ruang dan waktu, mempengaruhi semua yang ada di sekitarnya.
Puisi "Pedang" karya D. Zawawi Imron adalah sebuah karya yang mengandung kritik tajam terhadap kekuasaan yang menindas, kekerasan yang menghancurkan, dan kematian yang tak terhindarkan. Dengan menggunakan simbol pedang, darah, lahar, dan kabut, puisi ini menggambarkan bagaimana kekuasaan dan kekerasan dapat merusak kehidupan, komunikasi, dan makna dalam kehidupan manusia.
Pedang yang telanjang dalam puisi ini bukan hanya sebuah alat kekerasan fisik, tetapi juga simbol dari kekuatan yang mampu menghancurkan keindahan dan makna. Melalui gambaran tentang darah, kubur, dan gumpalan kabut, Zawawi Imron mengajak pembaca untuk merenungkan dampak kekuasaan yang tidak terkendali dan penderitaan yang ditimbulkan oleh kekerasan. Puisi ini mengingatkan kita tentang pentingnya menjaga kemanusiaan dan keadilan dalam dunia yang penuh dengan kekuatan destruktif.
Melalui Pedang, Zawawi Imron menyampaikan pesan yang dalam tentang dunia yang penuh dengan konflik, kekerasan, dan ketidakadilan, serta mengajak pembaca untuk mempertimbangkan kembali nilai-nilai kemanusiaan yang terancam oleh kekuasaan yang tidak mengenal belas kasihan.
Puisi: Pedang
Karya: D. Zawawi Imron
Biodata D. Zawawi Imron:
- D. Zawawi Imron lahir pada tanggal 1 Januari 1945 di desa Batang-batang, Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur, Indonesia.