Puisi: Padang! Halo, Padang! (Karya Abrar Yusra)

Puisi "Padang! Halo, Padang!" karya Abrar Yusra adalah sebuah kritik sosial yang mengungkapkan bagaimana sebuah kota, meskipun tampak penuh ...
Padang! Halo, Padang!

kosong?
Padang, dalam kesunyian: Aku jalan dengan seorang
    penyair menembus malam larut dan pelabuhan larut
Dan bintang-bintang berlarian di cakrawala basah, di
                                atas laut, menggigil
Sesekali angin bersiul dan mengerang di pepohonan, rindu
                                            sakit dan jauh
Ombak-ombak kecil bergulir lemah di pasir. Terbentur
                                        kecil-kecil
Di pasir. Selebihnya tidur
Juga bukit Barisan hitam, teronggok panjang, lebih hitam
                                                dari malam 
Padang, dengan kilau samar pantai samudera jauh
dengan caya lemah lampu-lampu jalan yang sebagian
padam; sedang lampu-lampu yang hidup dengan tak
gembira saling mengeluh sesamanya
Siapa yang menyusul berita kapal dan kesengsaraan jauh
                                        di pelabuhan?
Siapa yang kautinggal di tengah malam. di jalan-jalan
                                                kosong?
Hanya kesunyian — tempat udara ngamuk, reda dan
mengamuk! ombak-ombak yang terbentur gelisah!
lampu-lampu lemah dan penyair-penyair tak tersusul
mengisahkan, mendiamkan atau menidurkan kehidupan
Hanya kesunyian yang terus menerus merasakan nafas
kehidupan yang kini menidurkanmu, Padang!
Manusia-manusia pergi tidur seperti tangan-tangan
penganggur ditidurkan kelelahan
Kuda-kuda bendi
Tukang-tukang gerobak, sopir-sopir, jari-jari yang
                                            menulis
Segalanya tidur. Juga cemas yang mendenyut-denyut
di jantung tuan walikota
Juga tiga ekor kera tertidur dalam bulu-bulunya
                                    yang tebal
dalam rangkulan-rangkulan tanan
di pohon, di gunung Padang dingin
Tidurlah, Padang
disiulkan angin-angin, ditingkah desah-desah air
    Ditidurkan kehidupan yang tak tidur-tidur
    Ditidurkan kehidupan yang dekap, yang ganjil
                                    aneh dan asing
    yang menggelisahkan para penyair dan merangkum-
                        kan gelisahnya jadi nyanyian
    yang merupawankan gadis-gadis
    yang menutupkan tapuk-tapuk mata tiga ekor kera
    di gunung Padang dingin!
    Tidur dan tak kaudengar apapun. Tidak juga detak
Jantung sendiri yang kaulupa dan lupakanlah!

    Lupakanlah!
Sebab malam akan terhembus. Dan sinar-sinar akan
membubus menyibak gelap gunung Padang
Kera-kera bergerayangan mencari buah-buahan hanya
                        girang karena buah-buahan
    Dan Padang terbangun seperti keluar dari kematian:
    Anak-anak SD mengenal tangisnya di jalan.
    Memulai kehidupan yang sadar
    Gerobak-gerobak
    Jendela-jendela pabrik minyak. Pabrik sabun
    Jendela-jendela kantor tuan Walikota
    Dan terengah
sepanjang jalan-jalanmu para penganggur tersaruk-saruk
                                            dalam debu
    Juga si rupawan Sitti Nurbaya yang patah hati
melambaikan tangan di pelabuhan

    Padang! Padang! Bahkan Bukit Barisan panjang
dusun-dusun dan pribumi di sana, di sekitarmu
    terjaga oleh hiruk pikukmu:
    Kota dan berita koran
    penyair yang mati anjing di pinggir jalan!
    Suatu degupan
    Suatu lambaian!

1968

Sumber: Horison (Februari, 1973)

Analisis Puisi:

Puisi "Padang! Halo, Padang!" karya Abrar Yusra membawa pembaca memasuki gambaran kota Padang yang penuh kontras antara kesunyian malam, hiruk-pikuk kehidupan, dan keberadaan manusia di tengahnya. Puisi ini mengungkapkan perasaan kesepian yang melingkupi kota, namun juga menyoroti adanya denyut kehidupan yang tak pernah berhenti meskipun terkadang terpendam dalam tidur yang panjang. Dalam karya ini, Yusra tidak hanya menggambarkan suasana fisik kota, tetapi juga suasana batin dan perasaan yang melingkupi tempat tersebut.

Kontras Antara Malam dan Kehidupan yang Terbentang

Puisi ini dibuka dengan gambaran yang kuat tentang malam di Padang: “Kosong? Padang, dalam kesunyian...”. Dalam kalimat ini, Yusra menciptakan kesan kesunyian yang mendalam, mengundang rasa kesepian yang seolah-olah membungkus seluruh kota. Penggunaan kata "kosong" memberi kesan ruang yang luas namun hampa, di mana segala bentuk kehidupan terasa terhenti.

Namun, puisi ini juga menggambarkan bahwa meskipun malam mengundang kesunyian, ada kehidupan yang tetap berjalan meski dalam bentuk yang samar. Penggambaran "bintang-bintang berlarian di cakrawala basah, di atas laut, menggigil" mengindikasikan bahwa meskipun kehidupan malam di Padang tampak sunyi, alam dan waktu terus bergerak. Perasaan dingin dan rasa takut atau kekosongan dihadirkan melalui gambar-gambar alam ini, seperti angin yang "bersiul dan mengerang" dan ombak yang "bergulir lemah di pasir".

Kesunyian dan Keberadaan Sosial di Padang

Salah satu aspek yang kuat dalam puisi ini adalah bagaimana Yusra menggambarkan Padang sebagai kota yang terbungkus dalam kesunyian, namun di saat yang sama ada kehidupan sosial yang terus berjalan, meskipun tersembunyi. Dalam deskripsi ini, kita dapat melihat kota yang tampaknya sedang tidur, tetapi pada saat yang sama, segala sesuatu di dalamnya, dari "kuda-kuda bendi", "tukang-tukang gerobak", hingga "jari-jari yang menulis", adalah bagian dari kehidupan yang terus berdetak meskipun tidak tampak jelas.

Yusra juga menggambarkan kontras antara kehidupan di siang hari yang sibuk dan malam yang sunyi. Di siang hari, kota ini penuh dengan aktivitas, "anak-anak SD mengenal tangisnya di jalan," namun di malam hari, seperti yang tergambar dalam puisi ini, Padang terlihat seperti kota yang terlelap dalam keheningan, "tidur dan tak kaudengar apapun." Dalam kenyataannya, malam itu adalah momen di mana segala sesuatu, termasuk ketegangan sosial dan ketidakadilan, seolah "tertidur" dan tidak terlihat oleh mata.

Simbolisme Kesunyian dan Kehidupan yang Terpendam

Kesunyian yang digambarkan dalam puisi ini memiliki banyak dimensi. Kesunyian bisa diartikan sebagai sebuah penantian akan kehidupan yang lebih baik, namun pada saat yang sama, ia juga bisa menjadi simbol dari penderitaan yang terpendam dalam diri masyarakat. Dalam "hanya kesunyian yang terus menerus merasakan nafas kehidupan yang kini menidurkanmu, Padang!", kita dapat melihat bahwa kesunyian bukan hanya ketidakhadiran suara, tetapi juga sebuah ruang untuk mengingat dan merasakan kehidupan yang seharusnya terjadi namun terhenti oleh berbagai keadaan.

Salah satu gambaran paling kuat dalam puisi ini adalah "lampu-lampu lemah dan penyair-penyair tak tersusul", yang menggambarkan bagaimana suara-suara kehidupan (termasuk suara para penyair) sering kali tenggelam dalam hiruk-pikuk dan kesulitan yang ada di kota tersebut. Bahkan suara-suara yang tidak terdengar ini, baik itu suara pengangguran, pekerja, maupun penyair, menciptakan kesunyian tersendiri di tengah kesibukan yang tampaknya tidak pernah berhenti.

Pertanyaan Eksistensial dan Pencarian Makna

Puisi ini juga menyiratkan pertanyaan-pertanyaan eksistensial tentang kehidupan di kota Padang. "Siapa yang menyusul berita kapal dan kesengsaraan jauh di pelabuhan?" Puisi ini membawa pembaca untuk merenungkan tentang siapa yang peduli atau berusaha untuk memperbaiki kondisi yang ada. Apakah ada yang memperhatikan penderitaan yang terjadi di kota ini? Atau, apakah semuanya hanya terjebak dalam rutinitas kehidupan yang tidak pernah selesai?

Dalam hal ini, Yusra seolah mengajak pembaca untuk berpikir lebih dalam tentang keadaan sosial yang ada, tentang kesulitan yang dialami oleh individu dalam masyarakat yang besar, serta tentang bagaimana perubahan dapat terjadi. Ini bukan hanya tentang Padang sebagai kota, tetapi juga tentang apa yang terjadi di masyarakat secara keseluruhan.

Penutupan dengan Harapan dan Pembaruan

Meskipun puisi ini banyak menggambarkan kesunyian dan kegelapan, pada akhirnya terdapat secercah harapan yang muncul dalam bentuk kebangkitan. Pada bagian akhir puisi, kita melihat Padang yang "terbangun seperti keluar dari kematian". Gambaran ini memberikan kontras yang kuat dengan deskripsi sebelumnya tentang kota yang terlelap dalam kesunyian. Sekolah-sekolah kembali buka, gerobak-gerobak kembali bergerak, dan kota ini hidup kembali dengan penuh aktivitas.

Namun, pada saat yang sama, Yusra juga mengingatkan kita akan kesulitan yang masih ada di kota tersebut, di mana orang-orang terjebak dalam debu, ketidakadilan, dan kesulitan yang terus menerus ada. Penggambaran "si rupawan Sitti Nurbaya yang patah hati melambaikan tangan di pelabuhan" menyiratkan bahwa meskipun kehidupan mungkin kembali bergerak, ada banyak aspek kehidupan yang masih penuh dengan luka dan harapan yang belum terwujud.

Puisi "Padang! Halo, Padang!" karya Abrar Yusra adalah sebuah kritik sosial yang mengungkapkan bagaimana sebuah kota, meskipun tampak penuh kehidupan dan energi, sebenarnya sering kali terperangkap dalam kesunyian dan kesulitan yang tidak terungkapkan. Dalam ketenangan malam yang diselimuti oleh hiruk-pikuk yang tersembunyi, Yusra menggambarkan kesenjangan sosial yang terjadi, kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat, dan bagaimana orang-orang berjuang untuk bertahan hidup.

Namun, di balik gambaran kesunyian dan penderitaan itu, ada secercah harapan bahwa kehidupan akan terus berjalan, meskipun penuh dengan tantangan. Puisi ini bukan hanya tentang Padang sebagai kota, tetapi juga tentang bagaimana kita memahami kehidupan sosial, perjuangan, dan ketidakpastian dalam masyarakat yang lebih besar.

Abrar Yusra
Puisi: Padang! Halo, Padang!
Karya: Abrar Yusra

Biodata Abrar Yusra:
  • Abrar Yusra lahir pada tanggal 28 Maret 1943 di Lawang Matur, Agam, Sumatra Barat.
  • Abrar Yusra meninggal dunia pada tanggal 28 Agustus 2015 di Bogor, Jawa Barat (pada umur 72 tahun).
© Sepenuhnya. All rights reserved.