Pada Suatu Hari Rabu
Umanis Pagi di Pagelaran
Keraton Yogyakarta
Jauh dari celah gunung kampung tak tercatat dalam sejarah
aku datang dengan dada dan kaki telanjang. Sendiri,
napak tilas jejak pewaris Senapati; berbekal puisi.
Sebab, tinggal mereka yang bisa merawat sesanti tanah Jawa
gemah ripah loh jinawi, tata-titi-tentrem kertaraharja
menjaganya dengan pupuh dandanggula atau kinanti
bukan dengan kalimat sakti seperti dirancang negeri ini
Sampai di depan pagar besi, disambut bau karat menyengat
aku mematung, gelisah dan bayangan lewat tak terhitung.
Tak ada lagikah pasewakan agung di sini
seperti ketika Sultan menitipkan melati cempaka
kerbau sapi, juga padi dan ketela, menjadi kerabat sejati
sanak kadang di bumi Jawa? Tak ada lagikah bedhaya serimpi,
atau bondhan kendhi digelar untuk menatah
mengasah tutur-langkah
sehingga lentur dan indah ketika menapak kembali esok hari?
"Siapakah yang kau tunggu, Saudara?"
Tiba-tiba ada suara bertanya.
"Raja," jawabku singkat, tanpa berpaling pada si orang asing
karena yang tampak hanya boneka prajurit di ruang kaca
tiang pendapa, pot-pot bunga, dan sunyi
yang menyeruak hingga alun-alun utara.
"Dia tak ada di sini." Gumam laki-laki tua memakai surjan
berkain panjang tanpa alas kaki, wajahnya kehitaman
tapi jernih tak berdaki. Mengisyaratkan dirinya
bukan pidak pedarakan
tapi tak ingin dikenal nama, tak mau dipuji
"Marilah..." Ia menggamit pundak, mengajak.
Dan aku, tahu-tahu seperti kerbau dicocok hidung
patuh pada dia punya kehendak, bergandengan
mengungkap ribuan kasunyatan menakjubkan.
"Lihatlah..." Ia menuding benteng keraton
kini bukan lagi tembok beku perisai terhadap meriam peluru
tetapi rumah-rumah abdi magersari beradu bahu
ditambah kicau burung ramah menyambut para tamu.
Ada taman terus menanti, membuka gerbang sepanjang hari
ukiran kayu, gemelan perunggu
batik dan ratusan pernik cantik tetap menunggu
rendah hati sebelum menjadi perlu.
Malam, sepasang beringin alun-alun selatan pun
diajak bermain, tua muda dengan mata terpejam
belajar mencari dunia lain. Warna-warni lampu juga menyala
menghias jeruji sepeda tua, kerdip kerjapnya menyelusup
hingga pelosok Nusantara
"Raja bukan penunggu singgasana, Saudaraku.
Ia ada di mana-mana. Mengalir dalam urat nadi kota desa
sesekali ikut bertani, menempa di besalen pandai besi
menuntun orang-orang buta, menjelma tongkat
kiblat laku lampah yang ditiru anak cucu
dan merasuk ke dalam hatimu, juga hatiku.
Pagelaran juga bukan lagi sebatas pendapa tua ini
tetapi, seluas tanah Jawa yang membentang di hadapanmu."
Di bawah terik matahari ada pesan santun
membuatku tertegun. Karena kata kalimatnya serupa mantra
memaksa labah-labah terkejut dan bangun dari tidurnya.
Lalu, siapakah dia? Apakah beliau raja
yang telah meletakkan derajatnya
sama tinggi dengan pundak hamba sahaya?
2011
Sumber: Ziarah Tanah Jawa (2013)
Analisis Puisi:
Puisi "Pada Suatu Hari Rabu" karya Iman Budhi Santosa adalah karya yang kaya makna dan penuh simbolisme. Puisi ini mengangkat tema Jawa dengan nuansa tradisi, sejarah, dan spiritualitas yang mendalam, sekaligus menggambarkan hubungan antara manusia, budaya, dan kehidupan modern. Dengan bahasa yang indah dan penuh perenungan, karya ini mengajak pembaca untuk memahami esensi kebijaksanaan tradisional dalam konteks kekinian.
Latar dan Konteks Puisi
Puisi ini berlatar di kawasan keraton Jawa—pusat kebudayaan dan spiritualitas yang menjadi simbol kejayaan masa lalu. Dalam puisi ini, keraton bukan sekadar tempat fisik, tetapi juga simbol nilai-nilai luhur dan harmoni yang diwariskan nenek moyang. Namun, Iman Budhi Santosa tidak hanya berhenti pada nostalgia, melainkan juga merefleksikan kondisi saat ini di mana nilai-nilai tersebut perlahan memudar atau bergeser.
Pencarian Identitas dan Spiritualitas
"aku datang dengan dada dan kaki telanjang. Sendiri, napak tilas jejak pewaris Senapati; berbekal puisi."
Penyair memulai perjalanan dengan kerendahan hati, tanpa atribut kemewahan, hanya dengan berbekal puisi. Ini mencerminkan pencarian spiritual dan identitas budaya yang tidak bergantung pada hal materi, tetapi pada kedalaman batin.
"Sebab, tinggal mereka yang bisa merawat sesanti tanah Jawa..."
Ada keprihatinan terhadap siapa yang masih menjaga nilai-nilai luhur Jawa, seperti gemah ripah loh jinawi. Penyair mempertanyakan apakah kebijaksanaan leluhur masih relevan atau telah tergantikan oleh nilai-nilai modern yang serba praktis.
Simbolisme Keraton
"Sampai di depan pagar besi, disambut bau karat menyengat..."
Pagar besi yang berkarat menggambarkan kondisi keraton yang tidak lagi sepenuhnya terawat, baik secara fisik maupun simbolis. Ini bisa dimaknai sebagai perlambang lunturnya nilai-nilai tradisional di tengah perubahan zaman.
"Tak ada lagikah pasewakan agung di sini seperti ketika Sultan menitipkan melati cempaka..."
Tradisi-tradisi seperti pasewakan agung, bedhaya serimpi, dan bondhan kendhi yang disebut dalam puisi adalah simbol harmoni dan kebijaksanaan masa lalu. Penyair merindukan keberadaan nilai-nilai luhur tersebut dalam kehidupan modern yang serba pragmatis.
Sosok Misterius dan Pesan Kebijaksanaan
"Dia tak ada di sini." Gumam laki-laki tua memakai surjan..."
Sosok laki-laki tua yang sederhana ini menjadi pembimbing spiritual dalam perjalanan penyair. Dengan kebijaksanaannya, ia menunjukkan bahwa raja bukan hanya simbol kekuasaan fisik, tetapi hadir dalam jiwa setiap manusia yang menjaga nilai-nilai luhur.
"Raja bukan penunggu singgasana, Saudaraku. Ia ada di mana-mana..."
Kalimat ini adalah inti dari puisi. Raja, dalam pandangan laki-laki tua, adalah prinsip kebajikan yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari. Ia hadir dalam tindakan kebaikan, kerja keras, dan bimbingan terhadap sesama.
Modernitas dan Tradisi
"benteng keraton kini bukan lagi tembok beku perisai terhadap meriam peluru tetapi rumah-rumah abdi magersari beradu bahu..."
Keraton dalam konteks modern tidak lagi berfungsi sebagai benteng fisik, tetapi menjadi pusat kehidupan masyarakat. Penyair menggambarkan bagaimana tradisi harus beradaptasi dengan perubahan zaman, tetapi tetap mempertahankan esensinya.
"Pagelaran juga bukan lagi sebatas pendapa tua ini tetapi, seluas tanah Jawa yang membentang di hadapanmu."
Tradisi Jawa tidak boleh terbatas pada ritual di tempat tertentu. Sebaliknya, tradisi harus meresap ke seluruh aspek kehidupan, menjadikannya relevan di mana pun berada.
Simbolisme dalam Puisi
- Keraton dan Raja: Keraton adalah simbol budaya, tradisi, dan spiritualitas Jawa, sedangkan raja adalah perlambang kebijaksanaan dan pemimpin yang tidak berjarak dari rakyatnya.
- Laki-Laki Tua: Sosok ini melambangkan penjaga tradisi yang tidak mencari pujian atau pengakuan, tetapi tetap menjalankan tugasnya untuk membimbing.
- Pagar Besi Berkarat: Simbol lunturnya nilai-nilai tradisi yang perlahan terkikis oleh waktu dan perubahan zaman.
- Beringin dan Alun-Alun: Beringin adalah simbol perlindungan dan kekuatan, sementara alun-alun adalah ruang untuk berkumpul, berbagi, dan mempelajari nilai-nilai kehidupan.
Pesan yang Disampaikan
Puisi ini mengandung pesan yang dalam tentang pentingnya menjaga tradisi dan nilai-nilai luhur di tengah arus modernitas. Iman Budhi Santosa mengingatkan bahwa tradisi bukanlah sekadar kenangan masa lalu, tetapi landasan untuk membangun kehidupan yang harmonis dan penuh makna.
Puisi ini juga mengajak pembaca untuk tidak terjebak dalam simbol-simbol fisik semata, tetapi memahami esensi tradisi sebagai panduan hidup. Raja, dalam pandangan penyair, bukan sekadar pemimpin di atas singgasana, melainkan jiwa yang hidup dalam tindakan kebaikan setiap individu.
Puisi "Pada Suatu Hari Rabu" adalah puisi yang menggabungkan keindahan bahasa, kedalaman spiritual, dan kritik sosial. Iman Budhi Santosa dengan cemerlang mengangkat pentingnya menjaga tradisi Jawa di tengah tantangan modernitas. Melalui perjalanan spiritual penyair dan bimbingan sosok laki-laki tua, pembaca diajak untuk merenungkan nilai-nilai kehidupan yang sejati—bahwa kebijaksanaan, harmoni, dan kerja keras adalah warisan yang harus terus dijaga.
Puisi ini adalah seruan untuk merawat budaya dan tradisi sebagai sumber inspirasi bagi generasi masa depan, agar nilai-nilai luhur Jawa tetap hidup dan relevan sepanjang masa.