Analisis Puisi:
Puisi "Nyanyian Rebana" karya Dorothea Rosa Herliany membawa pembaca pada sebuah perjalanan batin yang penuh pertanyaan dan refleksi tentang kehidupan, kesunyian, dan panggilan spiritual. Melalui metafora rebana, Herliany menggambarkan sebuah dinamika yang tak terlihat, tetapi terasa, baik dalam bentuk suara maupun dalam bentuk pengalaman hidup yang terus-menerus bertanya.
Makna Rebana dalam Puisi
Rebana dalam puisi ini bukan sekadar alat musik tradisional, tetapi simbol yang lebih dalam, menggambarkan suara panggilan, seruan yang datang dari kesunyian, dan sekaligus peringatan yang tak terdengar. Baris pertama menggambarkan:
kau tak pernah mengerti siapa menabuh rebana.
Tanya yang berulang tentang siapa yang menabuh rebana menggambarkan pencarian akan pemahaman dan pengetahuan yang lebih dalam tentang kehidupan dan makna di balik setiap kejadian. Sebuah suara yang datang dari tempat yang tak terjangkau oleh pengertian biasa, namun selalu ada, terdengar dalam keheningan.
Rebana sendiri adalah alat yang identik dengan irama kehidupan, sesuatu yang secara ritmis terus memanggil kita untuk mendengarkan, untuk mengerti, atau bahkan untuk bertindak.
Kesunyian dan Kedinginan yang Menyertai Panggilan
Puisi ini juga menggambarkan kesunyian yang membungkus kehidupan dalam dingin, menciptakan suasana yang penuh rasa hampa dan penantian. Dalam baris:
saat kesunyian berdendang: tangan-tangan runcing itu seperti memanggil-manggil kita dalam kedinginan.
Kesunyian bukanlah ketiadaan, melainkan ruang di mana suara rebana yang tak tampak terdengar. Kesunyian ini menuntut perhatian, sebuah panggilan yang datang dari sesuatu yang lebih besar, lebih tak terjangkau, lebih misterius. Ini adalah kondisi batin yang melampaui kenyataan, menghadirkan rasa rindu dan kerinduan yang tak terucapkan.
Kedinginan yang muncul mengacu pada ketidakmampuan kita untuk merespons panggilan tersebut, menandakan keterasingan kita dari makna yang lebih dalam dalam kehidupan. Orang-orang terburu-buru, tetapi tak ada yang benar-benar mengerti mengapa.
Pertanyaan yang Tak Terjawab: Mencari Makna dalam Kehidupan
Salah satu tema penting dalam puisi ini adalah pencarian makna yang tak terjawab. Baris berikutnya:
kau bertanya, mengapa selalu ada yang bergegas mengusir--dan memanggil-- saat lupa?
Pencarian ini tak hanya menyangkut pemahaman tentang siapa yang menabuh rebana, tetapi juga tentang peran manusia dalam kehidupan yang penuh dengan pertanyaan-pertanyaan besar. Mengapa kita selalu terburu-buru? Mengapa kita sering lupa untuk berhenti sejenak dan merenung? Mengapa kita selalu merasa perlu untuk mengusir atau memanggil sesuatu—padahal kita mungkin belum benar-benar tahu apa yang kita cari?
Puisi ini mengajukan pertanyaan tersebut, namun tidak memberikan jawaban yang pasti, seolah mengajak pembaca untuk terlibat dalam pencarian makna yang lebih luas tentang eksistensi manusia dan hubungannya dengan kekuatan yang lebih besar, baik itu spiritual, alamiah, atau batiniah.
Kehidupan sebagai Orkestra yang Terus Bergulir
Puisi ini juga menggambarkan kehidupan sebagai sebuah orkestra yang terus berlanjut, meski kita sering merasa terpisah atau tidak mengerti peran kita di dalamnya. Baris:
sampai orkestra itu terdengar makin jauh. meski masih ada yang memanggil-manggil nama.
Orkestra ini menciptakan gambaran tentang alunan kehidupan yang terus bergulir, terlepas dari keinginan kita untuk memahami sepenuhnya. Panggilan yang terdengar semakin jauh seakan menggambarkan bahwa kita hanya bisa mendengar sebagian kecil dari keseluruhan simfoni kehidupan yang lebih besar.
Orkestra ini adalah kehidupan yang terus berjalan meski kita tidak sepenuhnya paham siapa yang menabuh rebana, atau apa yang sebenarnya kita cari. Dalam proses itu, kita tetap mendengarkan, tetap bertanya, dan tetap mencari makna.
Simbolisme Kitab dan Pencarian Makna Spiritual
Kitab yang disebut dalam puisi ini memberi kesan bahwa pencarian makna tak terlepas dari spiritualitas dan pengetahuan yang lebih mendalam. Baris berikutnya:
berapa deret, dalam berlembar-lembar halaman kitab.
Halaman kitab ini dapat diartikan sebagai simbol dari pencarian pengetahuan dan pemahaman yang tak ada habisnya. Setiap lembar halaman membawa kita pada perjalanan spiritual yang penuh dengan pertanyaan, seperti yang terlihat dalam baris terakhir:
sampai suatu ketika, kembali orkestra itu: kau bertanya, siapa menabuh rebana?
Pencarian ini tak pernah berhenti, meskipun kita mungkin tidak akan pernah mendapatkan jawaban yang sepenuhnya memadai. Namun, pertanyaan itu sendiri adalah bagian dari perjalanan batin yang tak terelakkan.
Puisi "Nyanyian Rebana" karya Dorothea Rosa Herliany adalah sebuah karya yang menggugah tentang pencarian makna hidup yang abadi, tentang kesunyian yang menyertai kita di setiap langkah, dan tentang pertanyaan yang tak pernah terjawab sepenuhnya.
Melalui simbolisme rebana, kitab, dan orkestra, Herliany menggambarkan kehidupan sebagai perjalanan yang tak terhenti, meskipun kita sering kali terjebak dalam kebingungan dan ketidaktahuan. Puisi ini mengajak pembaca untuk terus bertanya, merenung, dan mencari makna dalam setiap langkah kehidupan, meski kadang jawaban tidaklah jelas.
Puisi: Nyanyian Rebana
Karya: Dorothea Rosa Herliany
Biodata Dorothea Rosa Herliany:
- Dorothea Rosa Herliany lahir pada tanggal 20 Oktober 1963 di Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Ia adalah seorang penulis (puisi, cerita pendek, esai, dan novel) yang produktif.
- Dorothea sudah menulis sejak tahun 1985 dan mengirim tulisannya ke berbagai majalah dan surat kabar, antaranya: Horison, Basis, Kompas, Media Indonesia, Sarinah, Suara Pembaharuan, Mutiara, Citra Yogya, Dewan Sastra (Malaysia), Kalam, Republika, Pelita, Pikiran Rakyat, Surabaya Post, Jawa Pos, dan lain sebagainya.