Nyanyian Hujan dari Tengah Hutan
ada terbayang mantera berbaur seruni memekik riuh
meraba pertanda pada gersang yang berlumut, kemudian
burung-burung memekik tanpa suara tanpa huma
meneteskan kristal keperihan
di sini, tinggal menunggu kabar!
sering tertunda pertanyaan yang menyayat menghunjam kalbu
saat gelisah sempurnakan kenangan yang tumbuh lekat
sirna dan begitu pedih tergambar di sesayat kerawanan
di sini, sayang, sorga itu telah hilang!
1985
Analisis Puisi:
Puisi "Nyanyian Hujan dari Tengah Hutan" karya Tri Astoto Kodarie membawa pembaca pada sebuah pengalaman emosional yang mendalam. Melalui gambaran alam yang penuh simbolisme dan perasaan yang terungkap melalui kata-kata yang puitis, puisi ini menyampaikan nuansa melankolis dan kesedihan yang tercermin dalam hubungan manusia dengan alam dan diri sendiri.
Mantera dan Keperihan yang Menghantui
Puisi ini dimulai dengan gambaran yang surreal dan misterius: "ada terbayang mantera berbaur seruni memekik riuh / meraba pertanda pada gersang yang berlumut, kemudian / burung-burung memekik tanpa suara tanpa huma / meneteskan kristal keperihan." Kalimat-kalimat ini membentuk suasana yang penuh dengan kegelapan dan keputusasaan.
"Mantera" dan "seruni memekik riuh" mengundang imaji tentang kekuatan alam yang seolah berbicara dalam bahasa yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang peka terhadap tanda-tanda alam. "Gersang yang berlumut" menambah kesan bahwa alam yang seharusnya memberi kehidupan kini dipenuhi dengan keterasingan dan kesunyian. Burung-burung yang "memekik tanpa suara tanpa huma" menggambarkan kesedihan yang terpendam, tidak ada suara yang keluar, hanya keheningan yang menggema di tengah keramaian.
Akhirnya, gambaran tentang "kristal keperihan" menunjukkan bahwa meskipun hujan atau air yang jatuh bisa menyuburkan tanah, di sini air tersebut menjadi simbol dari luka atau kesedihan yang tak terobati. Hujan yang seharusnya menyegarkan jiwa malah menjadi "keperihan", seperti sebuah pengingat akan rasa sakit yang tidak kunjung hilang.
Pertanyaan yang Menyayat dan Kenangan yang Sempurna
Selanjutnya, puisi ini menggali lebih dalam ke dalam perasaan manusia dengan mengatakan: "sering tertunda pertanyaan yang menyayat menghunjam kalbu / saat gelisah sempurnakan kenangan yang tumbuh lekat / sirna dan begitu pedih tergambar di sesayat kerawanan." Di sini, pertanyaan yang "tertunda" dan "menyayat" menunjukkan ketidakpastian yang ada dalam hidup, pertanyaan yang tak terjawab dan tetap menggoreskan luka dalam hati. Perasaan gelisah, yang seringkali datang dengan kenangan yang sulit dilupakan, memperburuk keadaan.
"Kenangan yang tumbuh lekat" menunjukkan betapa kenangan itu melekat begitu kuat dalam diri seseorang, meskipun waktu berlalu, kenangan tersebut tetap ada, bahkan bisa menjadi beban emosional yang berat. Teks ini menggambarkan kenangan sebagai sesuatu yang tidak hanya mengingatkan akan masa lalu, tetapi juga memberikan rasa sakit yang terus-menerus menghantui, seolah tak bisa dilepaskan.
Kehilangan Sorga dan Perasaan yang Hilang
Pada bagian akhir puisi ini, terdapat ungkapan yang menyentuh hati: "di sini, sayang, sorga itu telah hilang!" Frasa ini menjadi pernyataan yang penuh kepedihan. Kehilangan "sorga" menggambarkan hilangnya sesuatu yang dulu dianggap sebagai tempat kebahagiaan, kedamaian, atau bahkan harapan. "Sorga" di sini bisa menjadi simbol dari kondisi kehidupan yang ideal atau mimpi-mimpi yang tak tercapai. Namun, dalam dunia yang digambarkan oleh puisi ini, sorga itu telah "hilang", dan semua yang tersisa hanyalah kenyataan pahit yang harus diterima.
Ini mengarah pada pemahaman bahwa tidak semua impian atau harapan bisa tercapai, dan dalam beberapa keadaan, kita harus belajar menerima kenyataan bahwa "sorga" yang kita impikan atau idam-idamkan mungkin tidak akan datang. Kehilangan ini bukan hanya fisik, tetapi lebih pada perasaan kehilangan diri dan harapan yang telah sirna.
Puisi "Nyanyian Hujan dari Tengah Hutan" adalah karya yang sangat kuat dalam menggambarkan perasaan kehilangan dan kesedihan. Tri Astoto Kodarie berhasil menciptakan suasana yang penuh dengan keheningan dan keperihan, melalui penggunaan simbol alam yang memberikan kesan melankolis. Hujan, burung-burung, mantera, dan kenangan semuanya berperan sebagai elemen yang membawa pembaca pada pemahaman tentang luka batin yang dalam, serta bagaimana waktu dan kenangan bisa menyisakan perasaan yang tak terobati.
Dalam puisi ini, kita melihat bagaimana alam menjadi cerminan dari perasaan manusia. Alam yang awalnya memberi kehidupan, kini seolah-olah memantulkan kembali keperihan dan kehilangan yang ada di dalam hati. Dengan gaya bahasa yang kaya dan penuh simbolisme, puisi ini mengajak kita untuk merenung tentang arti kehidupan, perasaan, dan harapan yang terkadang hilang begitu saja.
Puisi: Nyanyian Hujan dari Tengah Hutan
Karya: Tri Astoto Kodarie
Biodata Tri Astoto Kodarie:
- Tri Astoto Kodarie lahir di Jakarta, pada tanggal 29 Maret 1961.