Nanking Seratusribu
Di Tiongkok yang remaja dan membunga
dimana derak kekuatan menderu
dari mesin industri baja
dan di ladang gandum yang ranum
menggelagak di otot pahlawan kerja
menjadi harmoni lagu yang merdu
kami lihat bayangan pagi
tanahair kepulauan nyiur melati.
Di Tiongkok yang remaja dan membunga
kami jabat tangan pekerja baru
yang tersenyum lihat pionir menari
kemudian mata saya memandang jauh:
sampaikan salam dan cerita kami
pada kawan yang belum punya dunia baru
berribu kami menghiasi Jalan Panjang
sebelum sampai di indah hari gemilang
Dan membisu kami tak kuasa bicara
menatap makam seratusribu pahlawan
pelan khidmat anak pulau nyiur-melati
letakkan karangan bunga lambang hormat
dan terimakasih pada mereka yang pergi
dengan jujur serahkan segala
untuk Tiongkok yang remaja dan membunga
untuk pionir yang tertawa dan menyanyi.
Kami pulang bawa salam dan cerita
manusia baru di negara baru:
hari ini, kawan; kami telah miliki
industri baja dan ladang gandum
dan tawa riang anak kami setiap hari
fajar esok di kepulauan nyiur-melati
kami bawa tekad mereka yang telah pergi
untuk luaskan bunga remaja di muka bumi!
Makam Pahlawan Nanking, Mei 1953
Sumber: Rangsang Detik (1957)
Analisis Puisi:
Puisi "Nanking Seratusribu" karya Adi Sidharta adalah sebuah karya yang mengangkat tema perjuangan, pengorbanan, dan kemajuan, dengan latar belakang sejarah dan pergerakan sosial yang mendalam. Puisi ini tidak hanya menggambarkan semangat juang para pahlawan, tetapi juga mengeksplorasi hubungan antara tanah air, identitas, dan perubahan zaman. Melalui bahasa yang kuat dan simbolik, puisi ini menggambarkan bagaimana pengorbanan masa lalu melahirkan harapan bagi generasi baru, serta bagaimana perjuangan tersebut terus hidup dalam keberlanjutan dan kemajuan.
Simbolisme Tiongkok yang Muda dan Berkembang
Tiongkok dalam puisi ini digambarkan sebagai tanah yang "remaja dan membunga," sebuah negara yang tengah mengalami transformasi besar menuju kemajuan. Penyair menggambarkan Tiongkok sebagai tempat yang penuh dengan energi, di mana mesin industri baja berderak, ladang gandum menggelagak, dan otot pahlawan kerja bekerja keras untuk mewujudkan cita-cita. Semua elemen ini mencerminkan gambaran sebuah bangsa yang sedang berjuang menuju modernisasi dan kemajuan.
Penggunaan frasa "remaja dan membunga" menunjukkan bahwa Tiongkok dalam puisi ini bukan hanya sedang berkembang secara fisik, tetapi juga secara budaya dan sosial. Negara ini digambarkan tengah memasuki masa kejayaan, dengan segala potensi dan semangat juang yang tak terbatas. Hal ini sejalan dengan gambaran tentang "harmoni lagu yang merdu," di mana keberhasilan dan kemajuan negara tercapai melalui kerja keras dan dedikasi yang tanpa henti.
Kekuatan Kolektif dan Semangat Pahlawan
Penyair kemudian memperkenalkan simbol "pahlawan kerja" yang menjadi representasi dari semangat kolektif bangsa. "Otot pahlawan kerja" yang menggelagak mencerminkan energi dan kekuatan fisik yang digerakkan untuk mencapai tujuan bersama. Pahlawan-pahlawan ini bukan hanya individu yang berjuang untuk diri mereka sendiri, melainkan mereka yang bekerja untuk kemajuan kolektif bangsa.
Melalui kalimat "kami lihat bayangan pagi / tanahair kepulauan nyiur melati," penyair mengingatkan akan tanah air yang jauh, dengan simbol "nyiur melati" yang merujuk pada Indonesia. Penyair ingin menunjukkan adanya ikatan kuat antara tanah air dan perjuangan besar yang sedang berlangsung di Tiongkok. Tanah air yang jauh ini, meskipun tampaknya tidak terlibat langsung, tetap menjadi bagian dari semangat juang yang ada.
Pengorbanan Pahlawan dan Makam Seratusribu
Salah satu bagian yang paling emosional dari puisi ini adalah penggambaran tentang "makam seratusribu pahlawan." Para pahlawan ini adalah mereka yang telah mengorbankan nyawa mereka untuk kemajuan Tiongkok. "Membisu kami tak kuasa bicara" menggambarkan penghormatan dan keheningan yang penuh makna ketika para penyair dan pahlawan baru mengunjungi makam-makam tersebut. Karangan bunga diletakkan sebagai lambang penghormatan dan terima kasih atas pengorbanan mereka yang telah memberi segala sesuatu untuk negara.
Bagian ini menggambarkan perasaan mendalam tentang betapa besar pengorbanan para pahlawan dalam perjuangan mereka, yang kini memberikan landasan bagi generasi berikutnya untuk melanjutkan cita-cita tersebut. Penghormatan terhadap mereka yang telah tiada adalah bentuk pengakuan atas kontribusi mereka yang telah membangun negara.
Keberlanjutan Perjuangan dan Harapan Masa Depan
Namun, puisi ini juga menyoroti keberlanjutan perjuangan tersebut. "Kami pulang bawa salam dan cerita / manusia baru di negara baru" menunjukkan bahwa perjuangan tidak berhenti dengan pengorbanan masa lalu. Sebaliknya, puisi ini menggambarkan bahwa para pahlawan yang telah pergi memberikan warisan yang harus dijaga oleh generasi baru.
Generasi baru ini, yang telah menikmati hasil dari perjuangan sebelumnya, diwakili dalam puisi melalui gambaran tentang "industri baja dan ladang gandum," simbol kemajuan yang telah tercapai. Namun, pencapaian ini bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan awal dari perjalanan panjang yang harus dilanjutkan. "Tawa riang anak kami setiap hari" adalah simbol harapan, di mana generasi berikutnya bisa hidup dalam dunia yang lebih baik, hasil dari kerja keras dan pengorbanan para pahlawan sebelumnya.
Semangat Universal dan Globalisasi
Meskipun puisi ini berbicara tentang Tiongkok, pesan yang ingin disampaikan adalah semangat universal yang dapat diterapkan pada banyak negara yang tengah berjuang untuk kemajuan dan perubahan. Penyair mengajak pembaca untuk menghargai perjuangan dan pengorbanan yang telah dilakukan oleh generasi sebelumnya, serta untuk melanjutkan semangat tersebut dalam membangun dunia yang lebih baik.
Pada akhirnya, puisi ini menyuarakan tekad untuk "luaskan bunga remaja di muka bumi," yang mengandung makna bahwa kemajuan dan perubahan bukanlah sesuatu yang terbatas pada satu bangsa atau negara. Ini adalah perjuangan bersama untuk menciptakan dunia yang lebih baik bagi semua.
Puisi "Nanking Seratusribu" karya Adi Sidharta adalah sebuah karya yang menggabungkan penghormatan terhadap para pahlawan dengan panggilan untuk melanjutkan perjuangan mereka. Melalui gambaran tentang Tiongkok yang sedang berkembang, puisi ini menunjukkan bahwa kemajuan tidak datang dengan mudah dan membutuhkan pengorbanan yang besar. Namun, kemajuan itu bukan hanya untuk satu bangsa, tetapi untuk seluruh umat manusia. Dengan menggunakan simbol-simbol yang kuat dan penuh makna, puisi ini mengajak kita untuk terus memperjuangkan cita-cita yang lebih besar, dengan menghargai pengorbanan yang telah dilakukan oleh generasi sebelumnya.
Karya: Adi Sidharta
Biodata Adi Sidharta:
- Adi Sidharta (biasa disingkat A.S. Dharta) lahir pada tanggal 7 Maret 1924 di Cibeber, Cianjur, Jawa Barat.
- Adi Sidharta meninggal dunia pada tanggal 7 Februari 2007 (pada usia 82 tahun) di Cibeber, Cianjur, Jawa Barat.
- Adi Sidharta memiliki banyak nama pena, antara lain Kelana Asmara, Klara Akustia, Yogaswara, Barmaraputra, Rodji, dan masih banyak lagi.