Puisi: Mobil (Karya Ook Nugroho)

Puisi "Mobil" mengajarkan tentang rasa syukur, pemahaman terhadap kesederhanaan, dan kesadaran akan tujuan akhir kehidupan.
Mobil (1)

Tetangga saya
Yang sebelah kiri
Punya satu mobil
Tetangga kanan
Punya dua sedan
Tetangga depan
Malahan ada tiga
Ada pun saya sendiri
Tiada bermobil
Tiada beroda
Hanyalah ini kaki
Sepasang pastinya
Kiri dan kanan
Sabar merayapi
Jalanan musim
Menempuh sehari
Berliku ziarah bumi

Mobil (2)

Saya pandangi
Mobil di showroom
Sangat terusik menampak
Pongah mereka berjajar
Namun tak bisa mungkir
Saya kagumi sungguh
Bodinya yang seksi
Presisinya yang unggul
Toh lebih saya syukuri
Ini kaki sepasang
Kiri dan kanan
Yang kukuh lagi paten
Tak terbanding
Pun tiada tiruannya
Di semua showroom
Kendara ajaib
Anugrah sang gaib
Tak butuh bensin
Membawa hati
Ke mana mencari

Mobil (3)

Lama saya renungi
Yang bermobil
Yang tak bermobil
Suatu hari nanti
Toh akhirnya pergi
Mobil tak balik ke garasi
Kaki tak pulang ke rumah
Tak usah itu kau tanya
Jangan disanggah
Hanyalah beda hitungan
Selisih musim bisa saja
Momennya sendiri-sendiri
Pun tak bisa dibilang
Untung apakah rugi
Yang berjalan kaki
Yang kenes bermobil
Sudah disiapkan
Alamat pulang
Dalam satu paket
Karcis satu jurusan

Analisis Puisi:

Puisi "Mobil" karya Ook Nugroho merupakan refleksi mendalam tentang kesenjangan, kesederhanaan, dan pemahaman manusia terhadap hakikat kehidupan. Dengan bahasa sederhana namun sarat makna, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungi esensi dari kepemilikan materi, perjalanan hidup, hingga tujuan akhir setiap individu. Melalui simbolisasi mobil dan kaki, Ook Nugroho mengemas pesan filosofis tentang kehidupan dengan gaya yang unik dan puitis.

Kesenjangan dan Kesederhanaan dalam Hidup

Pada bagian pertama, penyair mengisahkan realitas sosial dengan membandingkan kondisi tetangga yang memiliki mobil, bahkan dalam jumlah banyak, dengan dirinya yang hanya memiliki kaki sebagai alat transportasi:

"Tetangga saya yang sebelah kiri punya satu mobil, tetangga kanan punya dua sedan, tetangga depan malahan ada tiga. Ada pun saya sendiri, tiada bermobil, tiada beroda, hanyalah ini kaki."

Kontras antara yang memiliki mobil dan yang tidak menggambarkan kesenjangan ekonomi yang sering kali menjadi sorotan dalam kehidupan sehari-hari. Mobil dalam puisi ini melambangkan simbol kemewahan, status sosial, dan kenyamanan. Namun, penyair tidak terjebak dalam rasa iri atau rendah diri. Sebaliknya, ia menerima kondisinya dengan sabar:

"Sabar merayapi jalanan musim, menempuh sehari, berliku ziarah bumi."

Kaki, meski sederhana, dianggap cukup untuk menjalani perjalanan hidup. Ini adalah bentuk penerimaan dan rasa syukur terhadap apa yang dimiliki, bahkan jika dibandingkan dengan kehidupan orang lain yang terlihat lebih "mewah."

Mobil sebagai Simbol Materi dan Kekaguman Terbatas

Bagian kedua puisi ini menunjukkan pandangan sang penyair terhadap mobil, terutama saat ia melihatnya berjajar di showroom. Ada rasa terusik karena mobil terlihat pongah dan simbolis sebagai barang mewah:

"Sangat terusik menampak, pongah mereka berjajar."

Namun, penyair juga tidak menutupi rasa kekagumannya terhadap keindahan dan presisi mobil:

"Bodinya yang seksi, presisinya yang unggul."

Meskipun demikian, penyair lebih memilih mensyukuri kaki yang dimilikinya. Kaki menjadi simbol keajaiban alami, anugerah ilahi yang tidak membutuhkan bahan bakar dan memiliki fungsi lebih dari sekadar alat transportasi:

"Ini kaki sepasang, kiri dan kanan, yang kukuh lagi paten, tak terbanding pun tiada tiruannya di semua showroom."

Kaki bukan hanya alat fisik, tetapi juga kendaraan spiritual yang membawa hati ke mana pun ia ingin mencari makna kehidupan. Penyair seolah mengingatkan bahwa meskipun benda-benda materi dapat memikat, anugerah yang diberikan secara alami oleh Sang Pencipta jauh lebih berharga.

Hakikat Kehidupan dan Kepulangan

Bagian ketiga puisi ini menjadi renungan mendalam tentang kehidupan dan tujuan akhirnya. Penyair mengamati bahwa pada akhirnya, baik yang memiliki mobil maupun yang hanya berjalan kaki akan sampai pada tujuan yang sama:

"Lama saya renungi yang bermobil, yang tak bermobil. Suatu hari nanti toh akhirnya pergi. Mobil tak balik ke garasi, kaki tak pulang ke rumah."

Dalam pandangan penyair, hidup adalah perjalanan yang sudah memiliki alamat pulang. Kematian menjadi titik akhir yang tak terhindarkan, terlepas dari bagaimana seseorang menjalani hidupnya. Mobil atau kaki hanya menjadi simbol perbedaan cara, tetapi keduanya tetap menuju destinasi yang sama:

"Hanyalah beda hitungan, selisih musim bisa saja, momennya sendiri-sendiri."

Melalui refleksi ini, Ook Nugroho mengingatkan bahwa materi atau status sosial tidak menentukan nilai seseorang. Yang penting adalah bagaimana perjalanan itu dijalani dengan penuh makna, karena akhirnya, semua akan kembali ke Sang Pencipta dengan "karcis satu jurusan."

Pesan Filosofis dan Relevansi Puisi

Puisi Mobil mengandung pesan mendalam yang relevan dengan kehidupan modern. Dalam masyarakat yang sering kali terobsesi dengan materi dan status, Ook Nugroho mengajak pembaca untuk merenungi nilai-nilai sederhana namun esensial: syukur, keteguhan, dan pemahaman tentang tujuan hidup.

Simbolisasi mobil dan kaki memberikan kontras antara kemewahan yang bersifat sementara dengan anugerah alami yang bersifat abadi. Mobil yang membutuhkan bensin, perawatan, dan garasi melambangkan ketergantungan manusia pada benda materi. Sebaliknya, kaki yang sederhana namun kokoh menjadi simbol kekuatan alami yang tidak membutuhkan apa-apa selain rasa syukur.

Relevansi puisi ini juga terasa dalam konteks kehidupan sosial. Kesenjangan ekonomi sering kali memicu rasa iri atau ketidakpuasan. Namun, melalui puisi ini, pembaca diajak untuk melihat kehidupan dengan sudut pandang yang lebih bijak, menerima apa yang dimiliki, dan menjalani perjalanan hidup dengan penuh makna.

Puisi "Mobil" karya Ook Nugroho adalah karya yang menyentuh dan penuh filosofi. Dengan bahasa yang sederhana namun sarat makna, penyair menggambarkan perjalanan hidup manusia melalui simbol mobil dan kaki. Pesan yang disampaikan mengajarkan tentang rasa syukur, pemahaman terhadap kesederhanaan, dan kesadaran akan tujuan akhir kehidupan.

Pada akhirnya, puisi ini mengingatkan bahwa kehidupan adalah perjalanan menuju alamat pulang yang sama. Mobil atau kaki hanyalah alat; yang terpenting adalah bagaimana perjalanan itu dijalani dengan penuh kesadaran dan rasa syukur.

Ook Nugroho
Puisi: Mobil
Karya: Ook Nugroho

Biodata Ook Nugroho:
  • Ook Nugroho lahir pada tanggal 7 April 1960 di Jakarta, Indonesia.

Anda mungkin menyukai postingan ini

  • Kadang-Kadang MalamKadang-kadang malamTerbikin dari gerimisDari hujan yang melukisBumi dengan genanganDan dalam setiap genanganSeperti ada kesedihanSeperti ada yang melambaiMungkin…
  • Orang AsingKalau saja mereka orang asingKalau saja raut wajah mereka bedaMata mereka menatap bercurigaHidung mereka mengendus tak sabaranDan mulut mereka, senyum merekaTak enak dil…
  • Lelaki, Kopi, PuisiLelaki menyeduh kopiYang lantas diseruputnya sedapPelan-pelan saja tapi, seakan takutAda rasa yang terlewatkanKopi tinggal ampasLelaki memandang sekilasTajam men…
  • Jepun BaliSepulang nanti ke kotamuKe rumah asalmu, bersamaIstri dan anak-anak tersayangJanganlah terlalu lekasMelupakan saya begitu sajaIngatlah malam-malam putihYang kita seberang…
  • Orang KayaMembuang IngusSaya perhatikan beginilahTernyata seorang orang kayaMembuang ingusnya:Ia rogoh saku celanaSaputangan mahal jelasTerlihat dari bahan kainnya(Dan ada mereknya…
  • Kabar MalamMalam setiap kali datangTanpa setahumu, mencoba mengetukKamarmu yang jauh, tapi cahayaLelampu menahannya di berandaIa ingin menemuimu sendirian sajaBercakap di ruang tam…
© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.