Puisi: Minggu (Karya Oka Rusmini)

Puisi "Minggu" merupakan refleksi mendalam terhadap peristiwa tragis tsunami yang melanda Samudra Hindia pada 26 Desember 2004.
Minggu, 26-12-04

Pukul berapa ini? Langit terlihat lebih jernih. Bau apa yang datang? Begitu dingin, bukan bau bunga jeumpa. Juga tidak suara daun kelapa disentuh sapuan buih laut. Aku mendengar bisikan, gemuruh, begitu menyayat hati. Melukai bibir pantai. Mencangkuli urat nadiku. Para nelayan tetap melaut. Sesekali butiran-butiran angin jahat menampar wajah mereka. Meninggalkan noktah kecil panas di bintik mata. Bau asam? Bau lumut? Bau anyir? Bau garam? Bau daging busuk? Bau apa ini? Tak ada suara. Langit menghitam. Gelap. Kadang gelombang menampar kulit mereka. Kadang sapuan angin menggoyangkan perahu mereka. Mungkin hari ini akan kita jaring ratusan ikan-ikan besar.

Perempuan-perempuan menimang anak. Memasak dengan riang. Anak-anak berlarian di bawah sinar matahari yang sedikit meredup. Tak ada hujan. Tak ada angin. Sebuah minggu yang cantik, dengan torehan langit yang begitu jernih. Para perempuan pekerja makin riang, karena setiap hari selalu dipinjam sang hidup untuk membantu para lelaki menganyam dinding-dinding perkawinan. Minggu yang sepi, sedikit kabut. Dan sebuah jam di atas meja jatuh. Jam berapa ini?

Bumi batuk. Sedikit bongkahan mencangkul dinding-dinding rumah. Keluar! Laut telah menelan taman-taman bunga.

Orang-orang menyemut. Perempuan-perempuan menumpahkan air mata. Anak-anak melepas mata. Tak bernafas. Jantung mereka berhenti. Para lelaki tak bersuara. Tubuhnya dingin. Tak ada keringat.

Puluhan ombak. Berdiri dengan angkuhnya di atas kepala mereka. Menyapu rata rumah, tubuh-tubuh basah. Pohon-pohon memeluk tanah kuat-kuat. Kulihat daun-daun kisut. Batang-batang mengerut.

Orang-orang berteriak. Laut lapar. Dia mengunyah apa saja, kayu-kayu, dinding bambu, beton, dan semen. Juga tubuh-tubuh hidup yang menggigil. Berapa detik? Entah!

Waktu tidak lagi ada di bumi itu. Tak ada suara jeritan, hanya gemuruh yang menyapu seluruh bumi. Tak ada yang disisakan. Kuala Tripa, melayang jadi kertas. Tuhanku, ke mana para penghuni negeri ini pergi?

Ombak lapar kembali pulang ke pesisir. Tidak ada luka di bibirnya yang dingin. Tidak juga salam perpisahan. Tak ada darah. Tak ada jeritan memaki. Siapakah ombak itu? Dia melibas istriku. Dia merangkul anak-anakku. Memeluk erat-erat ibu-ayahku. Melemparkan rumah dan binatang peliharaanku. Siapakah dia? Dari bumi mana dia berasal? Mulutnya besar, tangannya keras dan kaku. Tidak ada hati di tubuhnya yang dingin. Juga tak ada wajah dan mata. Juga telinga, tangan, dan kaki. Makhluk hidupkah dia?

2005

Sumber: Pandora (2008)

Analisis Puisi:

Puisi "Minggu, 26-12-04" karya Oka Rusmini merupakan refleksi mendalam terhadap peristiwa tragis tsunami yang melanda Samudra Hindia pada 26 Desember 2004. Karya ini tidak hanya mengisahkan kehancuran fisik yang ditimbulkan oleh bencana, tetapi juga menggambarkan penderitaan emosional dan spiritual yang dialami oleh korban serta saksi mata. Dengan menggunakan bahasa puitis yang tajam dan menggugah, Oka Rusmini membawa pembaca untuk menyelami kekuatan alam yang destruktif sekaligus misterius.

Gambaran Kehancuran dan Keheningan yang Memilukan

Puisi ini diawali dengan suasana damai dan kehidupan sehari-hari yang sederhana. Aktivitas nelayan, perempuan, dan anak-anak menciptakan kontras yang tajam dengan kehancuran yang datang tiba-tiba. Kehidupan yang tampaknya berjalan normal berubah dalam sekejap menjadi kekacauan:

"Langit terlihat lebih jernih."

Baris ini menggambarkan awal yang tenang, seolah-olah alam memberikan rasa aman sebelum akhirnya memunculkan kekuatannya yang tak terkendali.

"Bumi batuk. Sedikit bongkahan mencangkul dinding-dinding rumah."

Metafora ini memperlihatkan bagaimana bumi, sebagai entitas yang hidup, bereaksi dengan cara yang destruktif. "Batuk" menjadi simbol dari gejala awal bencana yang perlahan tapi pasti membawa kehancuran.

Kontras Kehidupan dan Kehancuran

Puisi ini menonjolkan kontras antara kehidupan yang damai dengan kekuatan alam yang brutal:

Kehidupan Damai Sebelum Bencana

"Perempuan-perempuan menimang anak. Memasak dengan riang."
"Anak-anak berlarian di bawah sinar matahari."

Kehidupan yang digambarkan dalam baris ini terasa indah, menandai rutinitas dan kebahagiaan sederhana di desa pesisir.

Kehancuran Setelah Tsunami

"Puluhan ombak. Berdiri dengan angkuhnya di atas kepala mereka."
"Laut lapar. Dia mengunyah apa saja."

Laut digambarkan sebagai makhluk hidup yang ganas, memakan segala sesuatu yang ada di hadapannya tanpa ampun. Gambaran ini menekankan sifat bencana alam yang tidak pandang bulu.

Personifikasi Alam sebagai Simbol Kekuatan Tak Terkendali

Oka Rusmini memberikan karakteristik manusiawi pada elemen alam, khususnya ombak dan laut. Ini menciptakan kesan bahwa bencana ini bukan sekadar fenomena alam, melainkan entitas yang memiliki kehendak:

"Mulutnya besar, tangannya keras dan kaku. Tidak ada hati di tubuhnya yang dingin."

Ombak digambarkan sebagai makhluk tanpa hati, tanpa belas kasihan. Personifikasi ini mencerminkan perasaan tak berdaya manusia di hadapan kekuatan alam.

"Dia melibas istriku. Dia merangkul anak-anakku."

Kata-kata ini menunjukkan bagaimana laut mengambil segalanya dari manusia, tidak hanya benda-benda material tetapi juga keluarga, cinta, dan harapan.

Pesan Spiritual dan Filosofis

Puisi ini juga menyentuh aspek spiritual dan filosofis, mengajukan pertanyaan tentang keberadaan Tuhan dan makna bencana:

"Tuhanku, ke mana para penghuni negeri ini pergi?"

Baris ini mencerminkan keputusasaan dan kebingungan manusia dalam mencari makna di balik tragedi.

"Siapakah dia? Dari bumi mana dia berasal?"

Pertanyaan ini menunjukkan betapa manusia tidak dapat memahami sepenuhnya kekuatan alam yang luar biasa.

Gaya Bahasa yang Kuat dan Emosional

Oka Rusmini menggunakan gaya bahasa yang menggugah dengan teknik-teknik seperti:

Deskripsi Sensorik yang Mendalam

"Bau asam? Bau lumut? Bau anyir?"
"Tak ada suara jeritan, hanya gemuruh yang menyapu seluruh bumi."

Deskripsi ini menghadirkan pengalaman inderawi yang kuat, membuat pembaca seolah-olah merasakan kehancuran tersebut secara langsung.

Penggunaan Repetisi

"Tak ada suara. Tak ada darah. Tak ada jeritan memaki."

Repetisi ini memperkuat suasana sunyi yang menyeramkan setelah bencana terjadi.

Metafora dan Personifikasi

"Bumi batuk."
"Laut lapar."

Teknik ini menjadikan alam sebagai tokoh utama yang menguasai narasi puisi.

Relevansi Puisi dengan Kehidupan Modern

Puisi "Minggu, 26-12-04" tidak hanya menjadi catatan peristiwa tsunami yang menghancurkan, tetapi juga pengingat bagi kita tentang kerentanan manusia di hadapan alam. Dalam konteks perubahan iklim dan meningkatnya frekuensi bencana alam, puisi ini relevan untuk mengingatkan kita tentang pentingnya menjaga harmoni dengan alam.

Oka Rusmini melalui puisi "Minggu, 26-12-04" berhasil menangkap esensi dari bencana alam sebagai peristiwa yang mengguncang kehidupan manusia, baik secara fisik maupun emosional. Dengan gaya bahasa yang kuat dan penggambaran yang mendalam, puisi ini membawa pembaca untuk merenungkan hubungan manusia dengan alam, kerentanan, serta kekuatan untuk bertahan menghadapi tragedi.

Puisi ini bukan hanya sebuah karya sastra, tetapi juga menjadi pengingat akan pentingnya empati, solidaritas, dan kesadaran terhadap kekuatan alam yang luar biasa.

Oka Rusmini
Puisi: Minggu, 26-12-04
Karya: Oka Rusmini

Biodata Oka Rusmini:
  • Oka Rusmini lahir di Jakarta pada tanggal 11 Juli 1967.
© Sepenuhnya. All rights reserved.