Sajak Menjelang Lebaran
Dalam cinta membiru kubaca nama-Mu
berulang-ulang. Padahal langkah waktu
sudah menjauh. Aku belum lagi lepas rindu
dan kata hanya berupa huruf-huruf. Berlari
kian kemari, hingga tiba senja melingkari hari.
Dahaga pun semakin tak berarti. Berjam-jam
hanya menunggu waktu. Menunggu minggu
yang datang dan pergi. Tak pernah lagi beku
seperti harapan yang kembali menghujam!
Barangkali waktu yang ditemani sepi
semakin menjauh bersembunyi ke bilik hati
dan kalimat semakin rindu membaca nama-Mu. Kembali!
Seluruh langkah waktu
membeku dalam sejarah
terdedah
membatu
Dalam cinta membiru
ingin kuhapus dengan kedua tangan ini
segala alpa selalu menggoda waktu
dan terhempas ke pelimbahan noda. Diri!
Sekali lagi: Aku menyerah!
Prabumulih, September 2008
Analisis Puisi:
Puisi "Sajak Menjelang Lebaran" karya Sutan Iwan Soekri Munaf mengangkat tema yang mendalam mengenai perasaan manusia—terutama tentang cinta, rindu, dan waktu—dalam suasana yang penuh perenungan. Dalam karya ini, pembaca dibawa untuk merenungi perjalanan batin seorang individu yang bergelut dengan perasaan cinta yang tak kunjung reda, serta pengalaman menunggu yang seakan tak berujung. Menggunakan metafora dan simbolisme yang kuat, puisi ini bukan hanya menceritakan rasa rindu, tetapi juga menggambarkan hubungan antara manusia dengan waktu dan takdir.
Cinta dan Rindu: Pencarian yang Tak Pernah Habis
Puisi ini dimulai dengan ungkapan cinta yang mendalam—"Dalam cinta membiru kubaca nama-Mu / berulang-ulang." Ungkapan ini menggambarkan bagaimana cinta yang membiru atau mencintai dengan begitu dalam, seakan tidak pernah lepas dari ingatan. "Nama-Mu" bisa merujuk pada seseorang yang sangat dicintai atau bahkan bisa juga diartikan sebagai simbol dari sebuah pencarian spiritual. Nama ini, yang dibaca berulang kali, menjadi pusat perhatian, mewakili seseorang atau suatu harapan yang sulit terlupakan meskipun waktu sudah berlalu.
Namun, cinta yang begitu mendalam ini terhambat oleh waktu yang terus berjalan. "Padahal langkah waktu / sudah menjauh," menjadi kalimat yang menggambarkan bagaimana waktu berjalan begitu cepat, tetapi rasa rindu dan cinta itu masih tetap ada. Meski demikian, cinta itu belum sepenuhnya terlepas dari kerinduan. Kata-kata yang hanya berupa "huruf-huruf" berlari kian kemari, menciptakan kesan bahwa perasaan tersebut tidak tersampaikan dengan sempurna, meskipun terus-menerus dikejar dan dicari.
Menunggu dan Harapan yang Tak Pernah Usai
Pada bagian berikutnya, "Dahaga pun semakin tak berarti. Berjam-jam / hanya menunggu waktu," pembaca dihadapkan pada gambaran seseorang yang tengah mengalami penantian panjang. Penantian ini mencerminkan harapan yang belum terwujud, di mana waktu terus berjalan tanpa memberikan kepastian. Puisi ini dengan jelas menggambarkan bagaimana menunggu bisa menjadi suatu penderitaan tersendiri. Seseorang yang menunggu, meski telah lama menunggu, tetap merasa kosong dan tak terpuaskan, seolah dahaga yang tidak terobati.
Menunggu minggu yang datang dan pergi, tanpa ada perubahan signifikan, melambangkan perasaan yang stagnan, yang tidak berkembang, dan terus berputar di tempat yang sama. "Tak pernah lagi beku / seperti harapan yang kembali menghujam!" menjadi ekspresi dari kebingungannya, karena harapan yang muncul kembali malah semakin menambah rasa sakit hati.
Waktu dan Sepi: Pencarian yang Semakin Dalam
"Barangkali waktu yang ditemani sepi / semakin menjauh bersembunyi ke bilik hati" menggambarkan kedalaman perasaan yang semakin terisolasi. Waktu dan kesepian seolah semakin sulit untuk dipahami. Waktu bukan hanya sekadar bergerak maju, tetapi seolah menyembunyikan diri di dalam hati, memberikan ruang yang penuh dengan kenangan dan perasaan yang tak bisa terungkapkan.
Puisi ini melukiskan bagaimana kalimat, atau kata-kata yang diucapkan, seakan tidak lagi cukup untuk menggambarkan perasaan. Bahkan kalimat tersebut pun semakin rindu untuk membaca nama-Mu, menunjukkan bahwa perasaan ini adalah sesuatu yang tak bisa sepenuhnya diungkapkan hanya dengan kata-kata. Nama itu kembali menjadi simbol dari sesuatu yang mendalam, yang terus dicari meskipun tidak bisa dicapai.
Kesadaran Diri dan Penyerahan
Di bagian akhir puisi, penulis menunjukkan penyerahan total terhadap kondisi batinnya. "Sekali lagi: Aku menyerah!" adalah kalimat yang penuh dengan keputusasaan, di mana penulis merasa tidak mampu lagi melawan perasaan atau harapan yang telah lama tersimpan. Penyerahan ini menunjukkan bagaimana, meskipun seseorang berusaha keras untuk mengubah takdir atau meraih harapan, pada akhirnya ada kalanya ia harus menerima kenyataan dan menyerah pada kenyataan tersebut.
Pada bagian ini, pembaca dapat merasakan kelelahan batin yang mendalam, di mana penantian dan pencarian yang tak berujung akhirnya berujung pada penerimaan yang pasrah.
Makna Lebaran dalam Konteks Puisi
Meskipun puisi ini tidak secara langsung menyebutkan perayaan Lebaran, judul "Sajak Menjelang Lebaran" memberi kesan bahwa puisi ini berhubungan dengan momen yang sarat dengan harapan, kedamaian, dan pengampunan. Lebaran adalah momen yang penuh dengan kebersamaan, tetapi dalam puisi ini, ada rasa rindu dan perpisahan yang mendalam. Mungkin, "menjelang Lebaran" dalam konteks ini bukan hanya tentang perayaan fisik, tetapi lebih kepada pencarian kedamaian dan penyembuhan batin, sebuah refleksi diri yang ingin kembali ke titik awal, atau bahkan sebuah penantian panjang untuk kedamaian hati yang belum tercapai.
Puisi "Sajak Menjelang Lebaran" karya Sutan Iwan Soekri Munaf adalah sebuah karya yang penuh dengan perenungan tentang perjalanan batin manusia dalam menghadapai cinta, waktu, dan ketidakpastian. Melalui gambaran tentang cinta yang membiru, penantian yang panjang, dan penyerahan diri, puisi ini menggambarkan betapa rumitnya perasaan manusia dalam menghadapi rindu yang tak kunjung reda, harapan yang belum terwujud, dan waktu yang terus berjalan.
Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan makna hidup, cinta, dan bagaimana kita menanggapi perjalanan waktu yang terus berjalan. Dalam menantikan Lebaran, bukan hanya kebahagiaan yang dicari, tetapi juga kedamaian hati yang dapat ditemukan dalam penerimaan diri. Sebuah pencarian yang tak pernah berhenti, meskipun terkadang kita harus menyerah pada kenyataan bahwa tidak semua yang kita inginkan dapat terwujud sesuai dengan harapan.
Puisi: Sajak Menjelang Lebaran
Karya: Sutan Iwan Soekri Munaf
Biodata Sutan Iwan Soekri Munaf:
- Nama Sebenarnya adalah Drs. Sutan Roedy Irawan Syafrullah.
- Sutan Iwan Soekri Munaf adalah nama pena.
- Sutan Iwan Soekri Munaf lahir di Medan pada tanggal 4 Desember 1957.
- Sutan Iwan Soekri Munaf meninggal dunia di Rumah Sakit Galaxy, Bekasi, Jawa Barat pada hari Selasa tanggal 24 April 2018.