Puisi: Menguliti Rasa (Karya Lalik Kongkar)

Puisi "Menguliti Rasa" karya Lalik Kongkar mengungkapkan perjalanan emosional manusia yang tidak bisa terhindarkan dari waktu dan perasaan.

Menguliti Rasa


Laku-laku waktu yang berlalu
Tanpa sedikit pun aku meminta jeda
Di antara lajunya waktu
Detik-detik menguliti rasa

Tiada yang bisa kukendalikan
Ketika pijar-pijar senja tak lagi ada
Mendung menggantung di kelopak awan
Dan hari ini kupanggilkan hujan itu lagi

Namun aku tak mencari tempat  
Yang dikatakan paling aman
Hanya sekadar berteduh
Lembut pada degub dada

Beranjak waktu yang lengang 
Kedua tangan bersedekap erat 
Memeluk tepat pada hangat
Saat detik-detik menguliti rasa

2025

Analisis Puisi:

Puisi "Menguliti Rasa" karya Lalik Kongkar membawa pembaca menyelami kedalaman emosi dan ketidakberdayaan manusia dalam menghadapi waktu dan perasaan. Melalui bahasa yang sederhana namun penuh makna, Kongkar menggambarkan bagaimana detik-detik berlalu begitu cepat dan tanpa ampun, mengikis segala rasa yang ada. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenung tentang kehidupan, ketidakmampuan kita untuk menghentikan waktu, serta cara kita mencari ketenangan dalam keadaan yang penuh dengan ketidakpastian.

Menghadapi Laju Waktu yang Tak Terbendung

Bait pertama puisi ini dibuka dengan gambaran tentang waktu yang terus berlalu, tanpa memberi kesempatan untuk berhenti atau merenung:

Laku-laku waktu yang berlalu
Tanpa sedikit pun aku meminta jeda
Di antara lajunya waktu
Detik-detik menguliti rasa

Di sini, Kongkar menggambarkan bagaimana waktu terus berlari tanpa memberi kesempatan pada seseorang untuk berhenti sejenak. "Laku-laku waktu" mengandung makna bahwa waktu adalah serangkaian tindakan atau peristiwa yang tak dapat diputar balik. "Tanpa sedikit pun aku meminta jeda" menunjukkan perasaan tak berdaya seseorang yang terjebak dalam putaran waktu, seakan-akan tak mampu menghentikan atau memperlambat lajunya. Waktu itu sendiri menguliti rasa—setiap detik yang berlalu mempengaruhi perasaan, menggugah emosi, dan memengaruhi cara kita merasakan hidup ini. Detik demi detik yang berlalu bisa membuat seseorang merasa kehilangan atau tergerus oleh waktu itu sendiri.

Mendung dan Hujan sebagai Simbol Ketidakpastian

Selanjutnya, puisi ini menggambarkan suasana hati yang disertai dengan cuaca yang mendung dan hujan yang datang:

Tiada yang bisa kukendalikan
Ketika pijar-pijar senja tak lagi ada
Mendung menggantung di kelopak awan
Dan hari ini kupanggilkan hujan itu lagi

Di sini, Kongkar mengungkapkan perasaan ketidakmampuan untuk mengendalikan peristiwa hidup. "Tiada yang bisa kukendalikan" menggambarkan perasaan seseorang yang terjebak dalam keadaan yang tak dapat diubah atau diatur. Mendung dan hujan menjadi simbol ketidakpastian dan kesedihan yang datang tanpa bisa dihindari. Kehilangan pijar-pijar senja, yang melambangkan keindahan atau harapan, menggambarkan momen-momen yang hilang dalam hidup, yang tak bisa diputar kembali. Namun, meskipun demikian, orang ini tetap memanggil hujan itu kembali, seolah merindukan sesuatu yang bisa menyembuhkan atau memberikan ketenangan.

Mencari Perlindungan Tanpa Mencari Tempat yang Aman

Pada bagian berikutnya, Kongkar menyampaikan bahwa meskipun ada perasaan ketidakpastian dan ketidakberdayaan, ia tidak mencari tempat yang paling aman untuk berlindung. Alih-alih, yang dicari adalah kedamaian yang lebih mendalam:

Namun aku tak mencari tempat
Yang dikatakan paling aman
Hanya sekadar berteduh
Lembut pada degub dada

Bagian ini menunjukkan kesadaran bahwa dalam hidup ini, tak ada tempat yang benar-benar aman atau terjamin dari segala kesulitan. Meskipun dunia penuh dengan ketidakpastian dan kesulitan, yang dicari bukanlah tempat yang sepenuhnya bebas dari masalah, tetapi tempat di mana seseorang bisa merasa tentram—tempat untuk berteduh dari segala kelelahan dan perasaan yang menggerogoti. "Lembut pada degub dada" mengungkapkan keinginan untuk menemukan kedamaian dalam diri, dalam perasaan dan emosi yang mendalam. Ini adalah bentuk pencarian akan ketenangan batin, di mana seseorang bisa merasa sedikit lebih damai meskipun keadaan di luar tetap penuh gejolak.

Tangan yang Bersedekap Erat: Simbol Kekuatan dalam Keheningan

Pada akhir puisi, Kongkar menggambarkan suatu keteguhan dalam menghadapi waktu dan perasaan yang terus mengalir:

Beranjak waktu yang lengang
Kedua tangan bersedekap erat
Memeluk tepat pada hangat
Saat detik-detik menguliti rasa

"Beranjak waktu yang lengang" menunjukkan bahwa meskipun waktu terus berjalan, ada momen-momen di mana waktu terasa begitu lambat dan hampa. Dalam kesendirian dan keheningan itu, "kedua tangan bersedekap erat" menjadi simbol dari keteguhan dan usaha untuk mempertahankan diri di tengah arus waktu yang terus bergerak. Tindakan memeluk hangat adalah sebuah cara untuk mencari kenyamanan, untuk merasakan kehangatan yang bisa sedikit meredakan rasa yang terus-menerus terkelupas oleh waktu. "Detik-detik menguliti rasa" mengingatkan kita bahwa setiap momen kehidupan bisa memberikan dampak emosional yang besar, namun kita tetap berusaha bertahan meski dalam keheningan.

Puisi "Menguliti Rasa" karya Lalik Kongkar mengungkapkan perjalanan emosional manusia yang tidak bisa terhindarkan dari waktu dan perasaan. Waktu berlalu dengan cepat, kadang tak bisa dikendalikan, namun kita selalu berusaha bertahan di tengah arusnya. Hujan, mendung, dan keheningan menjadi simbol dari ketidakpastian dan kesedihan, namun puisi ini juga menyampaikan bahwa dalam kesendirian, ada pencarian untuk kedamaian batin yang lebih dalam.

Kongkar menggambarkan keindahan dalam ketidakpastian, dengan tangan yang bersedekap erat dan memeluk waktu, mencoba menemukan kehangatan meskipun perasaan seringkali tergores oleh detik-detik yang berlalu. Dalam puisi ini, kita diajak untuk menerima ketidakpastian hidup dan menemukan tempat perlindungan dalam diri kita sendiri, yang mampu memberi ketenangan meskipun dunia sekitar penuh dengan gejolak.

Lalik Kongkar
Puisi: Menguliti Rasa
Karya: Lalik Kongkar

Biodata Lalik Kongkar:
  • Lalik Kongkar. Pemerhati Pembangunan Desa, Minat Kajian Politik, Filsafat dan Sastra.
© Sepenuhnya. All rights reserved.