Puisi: Menanggapi Bumi (Karya Piek Ardijanto Soeprijadi)

Puisi "Menanggapi Bumi" menggambarkan kecemasan penyair terhadap kerusakan alam yang disebabkan oleh perilaku manusia yang merusak. Dalam setiap ...
Menanggapi Bumi

Bumi subur hampir tandus
diserbu beribu-ribu tikus
gersang tanah garapan
mempersempit hidup
harapan perlu obat
pemusnah hama
asap belerang diembuskan lewat pintu-pintu lubang
atau membongkar segenap pematang

Ya Allah, ya Rabbi
bila tidak, kata warisan nenek moyang bakal sirna
ilang angkaraning bumi
kami berdoa dan berusaha,

Ya Allah sebelum pada akhirnya kepada-Mu kami pasrah.

1998

Analisis Puisi:

Puisi Menanggapi Bumi karya Piek Ardijanto Soeprijadi adalah sebuah karya yang menggambarkan kekhawatiran dan keresahan penyair terhadap kondisi bumi dan alam yang semakin rusak. Melalui penggunaan simbolisme yang tajam dan imaji yang kuat, puisi ini mengeksplorasi masalah lingkungan dan kesadaran akan kehancuran alam yang tak terelakkan jika tidak segera diatasi. Di sisi lain, puisi ini juga menyampaikan doa dan harapan akan pemulihan dan perbaikan.

Bumi yang Subur Hampir Tandus

"Bumi subur hampir tandus diserbu beribu-ribu tikus"

Pembukaan puisi ini langsung menggambarkan sebuah keadaan bumi yang sebelumnya subur, kini hampir tandus, seolah tak mampu lagi mendukung kehidupan. "Tikus" di sini bisa diinterpretasikan sebagai simbol dari hama atau elemen-elemen yang merusak ekosistem bumi, seperti polusi, pembalakan liar, atau eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali. Penggambaran "diserbu beribu-ribu tikus" menyiratkan betapa banyaknya ancaman yang datang dari berbagai pihak yang tidak bertanggung jawab.

Tanah Garapan yang Gersang dan Terancam

"gersang tanah garapan mempersempit hidup"

Baris ini merujuk pada kondisi lahan yang dulunya subur dan bisa digarap oleh para petani, namun kini menjadi gersang dan tidak produktif. Kehilangan kesuburan tanah ini mengarah pada hilangnya mata pencaharian banyak orang dan mempersempit peluang hidup. Kondisi ini semakin memperburuk keadaan sosial-ekonomi masyarakat yang bergantung pada alam untuk bertahan hidup.

Harapan dan Obat Pemulihan

"harapan perlu obat pemusnah hama"

Di sini, penyair menggambarkan adanya kebutuhan mendesak untuk menyembuhkan atau memulihkan alam. "Obat pemusnah hama" tidak hanya merujuk pada upaya teknis untuk memusnahkan hama secara fisik, tetapi juga mencerminkan usaha untuk menanggulangi kerusakan lingkungan dan menjaga kelestarian alam. Dalam konteks ini, "obat" dapat diartikan sebagai tindakan pemulihan atau langkah-langkah yang perlu diambil untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi.

Asap Belerang dan Pembongkaran Pematang

"asap belerang diembuskan lewat pintu-pintu lubang atau membongkar segenap pematang"

Gambaran ini memberikan citra tentang upaya-upaya yang kadang dilakukan secara kasar untuk mengatasi masalah lingkungan, yang meskipun tampak solusi, justru mungkin memperburuk keadaan. Asap belerang yang berbahaya bagi lingkungan dan pembongkaran pematang yang berfungsi untuk mengendalikan aliran air dapat diartikan sebagai tindakan destruktif yang tidak berpikir panjang tentang dampaknya terhadap alam.

Doa kepada Tuhan untuk Menyelamatkan Alam

"Ya Allah, ya Rabbi, bila tidak, kata warisan nenek moyang bakal sirna"

Dalam puisi ini, ada ungkapan doa yang sangat mendalam dan penuh harapan kepada Tuhan. Penyair menegaskan bahwa jika kerusakan alam tidak dihentikan, maka segala warisan dan pengetahuan yang diturunkan oleh nenek moyang akan hilang. Ungkapan ini mencerminkan rasa takut akan kehilangan tradisi dan nilai-nilai yang berhubungan dengan alam yang telah diwariskan turun-temurun. Penyair merasa bahwa kehidupan manusia akan kehilangan maknanya jika tidak lagi memiliki hubungan yang harmonis dengan bumi dan alam sekitarnya.

Kesadaran Akan Pasrah pada Takdir

"kami berdoa dan berusaha, Ya Allah sebelum pada akhirnya kepada-Mu kami pasrah."

Bagian akhir puisi ini menyiratkan sebuah kesadaran yang mendalam tentang keterbatasan manusia dalam mengendalikan alam. Meskipun sudah berusaha dengan doa dan tindakan, akhirnya manusia harus pasrah pada kehendak Tuhan. Hal ini mencerminkan sebuah sikap rendah hati dan pengakuan bahwa alam, pada akhirnya, adalah ciptaan Tuhan yang harus dijaga dan dilestarikan oleh umat manusia.

Gaya Bahasa dan Teknik Sastra

  1. Simbolisme: Puisi ini dipenuhi dengan simbolisme yang kuat, seperti "tikus," "asap belerang," dan "pemating." Tikus menjadi simbol dari kerusakan yang datang perlahan namun pasti, dan berjumlah banyak. Asap belerang melambangkan cara-cara yang kadang tidak bijak dalam menghadapi masalah lingkungan, sementara "pemating" bisa diartikan sebagai simbol dari sistem atau struktur yang rapuh dan mudah dihancurkan. Semua simbol ini mendalamkan pesan tentang kerusakan lingkungan yang sistematis dan merusak.
  2. Penggunaan Alam untuk Menciptakan Imaji: Piek Ardijanto Soeprijadi sangat mahir dalam menggunakan alam sebagai media untuk menggambarkan situasi sosial dan emosional. Alam dalam puisi ini bukan hanya menjadi latar belakang, tetapi juga aktor yang menceritakan keadaan manusia. Kontras antara kesuburan bumi dan kerusakannya menunjukkan betapa rapuhnya hubungan antara manusia dan alam.
  3. Dialog Doa sebagai Penyelesaian: Puisi ini menggunakan doa sebagai bagian integral dari bentuk ekspresi kesadaran manusia akan ketergantungan pada kekuatan yang lebih besar dari dirinya. Doa ini bukan hanya permohonan untuk bantuan, tetapi juga ungkapan dari rasa pasrah, yang memperlihatkan pemahaman bahwa manusia tidak dapat sepenuhnya mengendalikan alam.
  4. Kontras antara Harapan dan Keterbatasan: Penyair mengangkat tema ketidakpastian dan kesulitan dalam upaya menyelamatkan bumi. Meskipun ada harapan untuk memperbaiki keadaan, ada juga kesadaran akan keterbatasan manusia dalam menghadapi kerusakan lingkungan yang sudah terjadi. Kontras ini mempertegas pesan puisi bahwa usaha manusia untuk memperbaiki alam tidak dapat dipisahkan dari keyakinan dan doa kepada Tuhan.

Makna dan Refleksi dalam Puisi

Puisi "Menanggapi Bumi" menggambarkan kecemasan penyair terhadap kerusakan alam yang disebabkan oleh perilaku manusia yang merusak. Dalam setiap barisnya, puisi ini mengajak pembaca untuk merenung tentang bagaimana manusia, yang seharusnya menjadi penjaga bumi, justru sering kali menjadi perusak yang menyebabkan kehancuran alam. Penyair mengungkapkan bahwa kerusakan tersebut bukan hanya ancaman terhadap lingkungan, tetapi juga terhadap warisan budaya dan tradisi yang terikat dengan alam.

Pada saat yang sama, puisi ini juga menggambarkan harapan untuk pemulihan, meskipun penyair menyadari bahwa usaha untuk menyelamatkan bumi memerlukan lebih dari sekadar tindakan manusia. Doa kepada Tuhan mencerminkan ketidakberdayaan manusia dalam menghadapi kerusakan yang sudah terjadi dan menunjukkan bahwa manusia tidak dapat bertindak sendirian, tetapi perlu bergantung pada kekuatan yang lebih besar untuk perubahan yang lebih baik.

Puisi "Menanggapi Bumi" karya Piek Ardijanto Soeprijadi adalah refleksi mendalam terhadap kondisi lingkungan yang semakin memburuk akibat tindakan manusia. Puisi ini menggabungkan simbolisme alam yang kuat, doa, dan kesadaran akan keterbatasan manusia dalam mengatasi kerusakan tersebut. Dalam puisi ini, penyair mengajak pembaca untuk merenungkan pentingnya menjaga alam sebagai warisan yang tak ternilai harganya, dan bagaimana kita harus berpadu dengan alam, bukan merusaknya, jika kita ingin mempertahankan keberlangsungan hidup di bumi ini.

Piek Ardijanto Soeprijadi
Puisi: Menanggapi Bumi
Karya: Piek Ardijanto Soeprijadi

Biodata Piek Ardijanto Soeprijadi:
  • Piek Ardijanto Soeprijadi (EyD Piek Ardiyanto Supriyadi) lahir pada tanggal 12 Agustus 1929 di Magetan, Jawa Timur.
  • Piek Ardijanto Soeprijadi meninggal dunia pada tanggal 22 Mei 2001 (pada umur 71 tahun) di Tegal, Jawa Tengah.
  • Piek Ardijanto Soeprijadi adalah salah satu sastrawan angkatan 1966.
© Sepenuhnya. All rights reserved.