Analisis Puisi:
Puisi "Membaca Kitab Berwujud Pohon" karya I Nyoman Wirata adalah eksplorasi mendalam tentang hubungan manusia dengan alam, waktu, dan kebijaksanaan yang tertanam dalam elemen-elemen kehidupan. Puisi ini menyajikan perenungan filosofis yang sarat makna, memadukan simbol-simbol tradisional dan kontemporer dalam sebuah alur yang mengajak pembaca untuk merenungkan kehidupan dan sejarah.
Denpasar sebagai Latar Filosofis
Baris pertama, "Ketika kubaca Denpasar," menempatkan kota Denpasar sebagai ruang awal refleksi. Sebagai pusat kebudayaan Bali, Denpasar bukan hanya sekadar lokasi fisik, tetapi juga simbol sejarah, tradisi, dan modernitas yang berkelindan. Kehadiran burung urban yang menyapa memperlihatkan ironi antara kemajuan kota dan alam yang mencoba bertahan di dalamnya.
Denpasar dalam konteks puisi ini menjadi "kitab" yang dibaca, di mana setiap elemen kotanya, baik jalan, pohon, atau suasana, menyimpan makna dan pelajaran.
Kontras Antara Alam dan Perubahan Zaman
Puisi ini menggambarkan perayaan alam dengan bulan bulat di puncak pohon asam dan langit cerah pasca hujan lebat. Namun, di balik suasana ini, ada pengingat tentang musim yang tak menentu: "Inilah musim yang gila."
Kata-kata ini mencerminkan perubahan iklim, modernisasi, dan dampak aktivitas manusia yang membuat alam kehilangan keseimbangannya. Sang penyair juga mengungkapkan kritik sosial melalui para "pawang" dan "peramal zaman" yang di satu sisi memahami alam, namun di sisi lain terlibat dalam "menggusur keangkuhan hujan."
Mencari Arah di Tengah Kehilangan
Baris "Membaca nama-nama jalan, Tak ada dalam peta jalan menuju rumah," melukiskan krisis identitas dan rasa kehilangan arah. Rumah, yang sering menjadi simbol keamanan dan kedamaian, tidak lagi mudah ditemukan. Seperti burung yang terluka dan kehilangan cahaya di matanya, manusia modern sering kali kehilangan koneksi dengan akar spiritualnya di tengah hiruk-pikuk kehidupan.
Namun, burung itu tetap mencoba bangkit, dengan "jubah warna pagi." Ini adalah simbol harapan dan kebangkitan, mengisyaratkan bahwa meski kehilangan arah, ada peluang untuk menemukan kembali cahaya dan tujuan hidup.
Belajar dari Alam dan Sejarah
Puncak refleksi dalam puisi ini terletak pada ajakan untuk "belajar membaca kitab berwujud pohon." Pohon dalam puisi ini menjadi metafora alam sebagai sumber pengetahuan yang kaya dan mendalam, di mana sejarah manusia dituliskan di setiap ring kayunya.
Gerimis di atas rumput dan tarian di atas jembatan kayu jati melambangkan harmoni antara manusia dan alam. Alam tidak hanya menjadi tempat tinggal manusia, tetapi juga guru yang mengajarkan cara hidup yang penuh kesadaran dan keharmonisan.
Penari Api: Simbol Keberanian dan Transformasi
Bagian akhir puisi memperkenalkan figur "sang penari api," yang menjadi simbol keberanian, perjuangan, dan transformasi. Penari api yang menari di atas bara api dadanya dengan telanjang melambangkan kerelaan untuk menghadapi penderitaan demi menemukan kebenaran atau pencapaian spiritual.
Api, dalam konteks ini, melambangkan pembersihan, energi, dan semangat yang membakar segala keterbatasan manusia. Telanjang mengisyaratkan kejujuran dan kerentanan, dua elemen yang diperlukan untuk benar-benar memahami kehidupan.
Gaya Bahasa yang Kuat dan Imaji yang Kaya
I Nyoman Wirata menggunakan gaya bahasa yang puitis dengan imaji yang kaya untuk menggambarkan suasana puisi ini. Simbol seperti "burung urban," "kitab berwujud pohon," dan "penari api" menghadirkan lapisan makna yang memancing interpretasi mendalam.
Metafora dan personifikasi membuat puisi ini hidup. Gerimis menjadi tarian, pohon menjadi kitab, dan sang penari api menjadi representasi keberanian manusia dalam menghadapi tantangan.
Puisi "Membaca Kitab Berwujud Pohon" adalah karya yang menggugah kesadaran manusia tentang pentingnya belajar dari alam dan sejarah. Puisi ini mengajak pembaca untuk tidak melupakan hubungan mereka dengan alam, meskipun hidup di dunia yang terus berubah dan penuh tantangan.
Karya ini juga mengingatkan bahwa kehidupan adalah proses pembelajaran yang tiada akhir, di mana setiap pengalaman, baik itu dari alam, waktu, maupun penderitaan, menyumbang pada kebijaksanaan kita. Dengan demikian, puisi ini menjadi perayaan kehidupan yang penuh makna dan ajakan untuk kembali pada akar spiritual manusia.