Puisi: Mata Dadu (Karya Tjahjono Widarmanto)

Puisi "Mata Dadu" karya Tjahjono Widarmanto mengajak pembaca untuk merenungkan tema kekerasan, keinginan, dan kehancuran. Dengan bahasa yang tajam ...
Mata Dadu

seperti senyum belati ia menatapmu
memindahkan warna merah api pada tapak tanganmu
siapa yang bisa tahan pada lambaiannya?

telah dipindahkan rasa lapar pada gairah merah  seorang  pelahap 
yang terampil mengasah pisau dan menusukkan garpu
melahap tandas kerat-kerat daging dan gumpalan roti hingga remah terakhir
- Drupadi, tak ada kasta pada pesta perjamuan ini!
semua orang akan berebut menanggalkan jubah dan mantelnya di meja makan ini
bersama sejarah yang mengabur dan ingatan menjelma jejak sembab pantai amis yang kelabu
di jantungmu bayang-bayang akan meledak bersama taifun di dasar kebisuan 

setelah pesta usai kau akan membangun monumen di matamu
bersama bunyi geluduk yang tak henti-henti mencacah musim 
bukit-bukit akan hancur bergiliran dan dosa-dosa menjadi karam
bumi menggigil dalam ketelanjanganmu yang mengutuki sunyi
yang lebih sepi dari seribu kematian membusuk bersama salju
dan kembali sejarah menjadi kabur menunggu nyala api

Ngawi, 2012

Sumber: Lampung Post (Minggu, 3 Maret 2013)

Analisis Puisi:

Puisi "Mata Dadu" karya Tjahjono Widarmanto mengajak pembaca untuk merenungkan tema kekerasan, keinginan, dan kehancuran. Dengan bahasa yang tajam dan penuh simbolisme, puisi ini menggambarkan ketegangan yang muncul ketika kehidupan dan kematian bersinggungan dalam dunia yang penuh dengan ambisi dan hasrat. Tjahjono menggunakan citra yang kuat, seperti "senyum belati", "gairah merah seorang pelahap", dan "monumen di matamu", untuk menciptakan gambaran tentang dunia yang tak terelakkan, di mana keinginan dan kekuasaan membawa pada kehancuran yang tak terhindarkan.

Senyum Belati: Citra Kekuatan dan Ancaman

Puisi ini dimulai dengan gambaran yang mencolok: "seperti senyum belati ia menatapmu". Frasa ini langsung memperkenalkan pembaca pada citra yang menggambarkan ancaman. Senyum yang biasanya dihubungkan dengan keramahan, diubah menjadi belati—sebuah senjata tajam yang berbahaya. Dalam hal ini, senyum bukan lagi ungkapan kebahagiaan, melainkan simbol dari sesuatu yang mematikan dan penuh tipu daya. Citra ini menggambarkan perasaan terancam yang dihadapi oleh individu yang terlibat dalam permainan besar, di mana keputusan yang diambil bisa berakibat fatal.

Selanjutnya, puisi ini menggambarkan bagaimana senyum tersebut "memindahkan warna merah api pada tapak tanganmu". Merah api bisa diartikan sebagai gairah yang membakar, kekuatan yang tak terkendali, atau bahkan amarah yang bisa merusak. Ketegangan yang tercipta antara senyum belati dan warna merah api ini memberikan nuansa yang intens, menunjukkan bahwa dunia ini penuh dengan kekuatan destruktif yang bisa dengan mudah berpindah tangan dan mengubah hidup seseorang.

Pesta Perjamuan: Kehidupan yang Dipenuhi Hasrat dan Kehancuran

Bagian selanjutnya dari puisi ini menyentuh tema pesta perjamuan yang penuh dengan hasrat dan ketamakan. Tjahjono menggambarkan suasana ini dengan kalimat yang mengandung makna sosial dan simbolik yang mendalam: "semua orang akan berebut menanggalkan jubah dan mantelnya di meja makan ini". Pesta perjamuan di sini bukan sekadar acara sosial, tetapi merupakan simbol dari kehidupan yang dipenuhi dengan kecenderungan manusia untuk berjuang mendapatkan kekuasaan dan pengaruh.

Pernyataan "tak ada kasta pada pesta perjamuan ini!" juga menarik karena menunjukkan bahwa dalam perjamuan ini, tidak ada pembeda antara orang kaya dan miskin, penguasa dan yang diperintah—semua terlibat dalam perebutan yang sama. Dalam dunia yang digambarkan oleh puisi ini, semua orang terperangkap dalam keinginan dan ambisi mereka. Pada akhirnya, ini mengarah pada kehancuran yang tak terhindarkan, seperti yang dijelaskan dalam bagian puisi berikutnya yang mengacu pada "sejarah yang mengabur dan ingatan menjelma jejak sembab pantai amis yang kelabu."

Pernyataan ini bisa dipahami sebagai gambaran dari sejarah yang dipenuhi dengan kekeliruan, kebohongan, atau tindakan yang melupakan moralitas demi keuntungan pribadi. Jejak pantai yang kelabu dan amis menggambarkan warisan yang penuh dengan kekecewaan dan kehancuran.

Dosa-Dosa dan Kehancuran: Monumen dan Taifun

Setelah pesta perjamuan usai, puisi ini beralih ke gambaran kehancuran yang lebih besar: "setelah pesta usai kau akan membangun monumen di matamu". Monumen seringkali melambangkan penghormatan atau kenangan akan sesuatu yang besar. Namun, dalam konteks puisi ini, monumen yang dibangun di dalam mata adalah simbol dari kenangan buruk dan dosa-dosa yang tak terhindarkan. Matanya bukan hanya menjadi saksi, tetapi juga tempat yang menyimpan kekeliruan dan kehancuran yang telah terjadi.

Puisi ini juga menggambarkan kehancuran dalam bentuk lain: "bukit-bukit akan hancur bergiliran dan dosa-dosa menjadi karam". Kata "karam" memberi gambaran bahwa dosa dan kesalahan yang dilakukan oleh manusia akan tenggelam dan menghilang dalam kehancuran besar, sementara dunia ini terus berputar tanpa ampun.

Kemudian, Tjahjono menggambarkan bagaimana "bumi menggigil dalam ketelanjanganmu yang mengutuki sunyi". Bumi yang menggigil bisa dilihat sebagai tanda dari kehancuran ekologis, atau bahkan kehancuran moral yang menghinggapi umat manusia. Dalam keheningan yang mengutuk, kita disadarkan akan kekosongan dan ketidakberdayaan kita di hadapan bencana yang kita ciptakan sendiri.

Puisi "Mata Dadu" karya Tjahjono Widarmanto adalah sebuah refleksi mendalam tentang bagaimana hasrat dan kekuasaan seringkali membawa pada kehancuran yang tak terhindarkan. Dengan menggunakan citra yang kuat seperti senyum belati, pesta perjamuan, dan monumen di mata, puisi ini menggambarkan bagaimana manusia terperangkap dalam lingkaran keinginan dan dosa yang mengarah pada kehancuran.

Puisi ini mengingatkan kita bahwa kehidupan ini tidak hanya tentang pencapaian dan keberhasilan, tetapi juga tentang risiko-risiko besar yang datang dengan hasrat dan ambisi yang tak terkendali. puisi "Mata Dadu" adalah gambaran tentang dunia yang sering kali dipenuhi dengan ketamakan dan pengabaian terhadap moralitas, yang pada akhirnya mengarah pada kehancuran yang menyisakan hanya kenangan dan monumen dosa yang tidak bisa dihapus.

Dalam puisi ini, kita bisa melihat bahwa Tjahjono Widarmanto tidak hanya berbicara tentang kehancuran fisik atau sosial, tetapi juga kehancuran batin, di mana sejarah dan ingatan menjadi kabur, menunggu nyala api yang mungkin akan terus membakar. Puisi "Mata Dadu" menjadi sebuah peringatan akan bahaya keserakahan dan ketamakan, dan bagaimana akhirnya kita semua harus menghadapi akibat dari tindakan kita.

Tjahjono Widarmanto
Puisi: Mata Dadu
Karya: Tjahjono Widarmanto

Biodata Tjahjono Widarmanto:
  • Tjahjono Widarmanto lahir pada tanggal 18 April 1969 di Ngawi, Jawa Timur, Indonesia.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.