Puisi: Malam Minggu di Jalan Braga (Karya Agit Yogi Subandi)

Puisi "Malam Minggu di Jalan Braga" karya Agit Yogi Subandi adalah sebuah lukisan verbal tentang keintiman, kerinduan, dan renungan di salah satu ...
Malam Minggu di Jalan Braga

Hembus angin rantau bawa dedaunan
kering tak berdaya ke jalanan. Bulan
di kamar malam, ketawa di hasrat dendam.
Aku dan kekasihku berjalan-jalan
di trotoar Braga yang renta dirundung kalut;
Jinakkan racun kangen yang khusyuk berkelindan

di badan, di dalam asmara yang sungkan,
dalam debar angin, baris pepohonan;
kadang perih, menikam, kadang kedinginan.

"Seperti di Eropa ya?" ujarnya
setelah pandangannya bergerak merayap
keliling dengan mata yang daun akasia

perahu. Jalan membentang warna merkuri,
harimau-harimau dikurung sorot lampu,
menjinakkan kebekuan di bangku-bangku.

Lukisan-lukisan ingin bercerita, tapi
jarang yang ingin mendengar. Cerita
tumbuh di meja-meja bar bertaplakkan

degup jantung laki-laki kesepian
di pojok bar, ditawari seorang wanita
penjual rokok untuk membeli rokok

Orang-orang terus berjalan-berlintas-
lintasan, menyerahkan kecut diri
kepada malam yang terang benderang.

Kami masih menyusuri jalan ini,
menyiram bunga yang hampir layu di sini,
di dada, kemudian membuka pintu-

pintu kesayangan yang tak kunjung rapuh,
dalam rasa kecut ini. Beberapa
mulut toko menganga seperti bibir

Rolling Stones. Berusaha menenggelamkan
suara kami. Berbahagia dalam sengal,
mungkin itulah moto saat ini.

Kami memindahkan malam ke dalam
video di telepon genggam. Menjebak
masa lalu butuh alat, tapi kami tak

hanya menangkap diri kami sendiri.
Kami juga memindahkan jalan ini
ke dalam beberapa jepretan foto

di kamera telepon genggam. Mungkin tak
semua wajah menyiratkan kehangatan
yang tak hendak runtuh. Orang-orang itu,

dibalut pakaian slogan 'anti mapan.'
pengamen, pelukis-pelukis yang menunggu
sesuatu, tapi yang ditunggu tak kunjung

datang. Ada bayangan surga tapi
tak mampu diraihnya. Belaian angin
di rambutnya, sebatang rokok obati

dingin atau pelukan atau percakapan.
Seseorang di seberang sana tak henti-
hentinya menyemburkan asap rokok,

seakan-akan dapat menumpas malam.
Kami duduk di bangku yang disediakan
Kota untuk penghujung. Ia bertanya

dengan nada datar, "Sepertinya kota
hendak memisahkan kita
dengan diri kita?"

aku diam saja. Seorang pengamaen
menghampiri, dengan gaya rambut
anti kemapanan. Pandangan

matanya berat-keruh, bersikeras
melawan kantuk. Ia menyanyikan lagu
sebuah band terkenal dari luar negeri.

"Time of Your Life."

2015

Analisis Puisi:

Puisi "Malam Minggu di Jalan Braga" karya Agit Yogi Subandi adalah sebuah lukisan verbal tentang keintiman, kerinduan, dan renungan di salah satu jalan ikonik Kota Bandung. Melalui diksi yang penuh rasa dan suasana yang hidup, puisi ini membawa pembaca ke dalam perjalanan batin seorang penyair yang menyusuri waktu, ruang, dan hubungan manusia dengan kota.

Braga: Ruang Nostalgia dan Refleksi

Jalan Braga, dalam puisi ini, menjadi kanvas yang penuh cerita dan makna. Ia bukan sekadar jalan, melainkan sebuah tempat yang menyimpan jejak emosi, kenangan, dan kontradiksi kehidupan kota.

"Hembus angin rantau bawa dedaunan / kering tak berdaya ke jalanan."

Pembukaan ini menandai atmosfer yang melankolis. Dedaunan kering yang terhempas angin menjadi simbol perjalanan hidup yang rentan, sekaligus refleksi dari suasana hati yang sedang mencoba memahami kerumitan asmara dan kehidupan.

Asmara dan Keintiman yang Tak Sempurna

Puisi ini juga menyelami dinamika hubungan manusia, khususnya asmara. Penulis menggambarkan perjalanan bersama kekasih sebagai upaya untuk menenangkan rindu yang bercampur dengan rasa asing dan sungkan.

"Aku dan kekasihku berjalan-jalan / di trotoar Braga yang renta dirundung kalut."

Hubungan dalam puisi ini tidak digambarkan dengan romantisme yang berlebihan. Sebaliknya, ada kekalutan, perasaan asing, dan kecanggungan yang manusiawi. Trotoar Braga menjadi metafora perjalanan bersama yang tak selalu mulus, tetapi tetap berharga.

"dalam debar angin, baris pepohonan; kadang perih, menikam, kadang kedinginan."

Baris ini mencerminkan dinamika emosi yang fluktuatif dalam hubungan, dari kehangatan hingga rasa dingin yang menyakitkan.

Kota sebagai Tokoh dalam Puisi

Dalam puisi ini, Kota Bandung—khususnya Jalan Braga—tidak hanya menjadi latar tempat, tetapi juga karakter yang memengaruhi cerita.

Jalanan Braga sebagai Simbol Kehidupan Modern

"Lukisan-lukisan ingin bercerita, tapi jarang yang ingin mendengar."

Seni dan kehidupan di Jalan Braga seakan menjadi bagian dari ironi besar; karya yang berusaha berbicara namun tak selalu mendapatkan perhatian.

Konflik Kota dan Manusia

"Sepertinya kota hendak memisahkan kita / dengan diri kita?"

Baris ini menggambarkan alienasi yang dirasakan di tengah keramaian kota. Meskipun kota menyediakan ruang dan fasilitas, ia juga menciptakan jarak emosional antara manusia dengan dirinya sendiri.

Keramaian yang Sepi

"Orang-orang terus berjalan-berlintas-lintasan, menyerahkan kecut diri / kepada malam yang terang benderang."

Keramaian kota tidak menjamin kehangatan atau kebahagiaan. Sebaliknya, ia sering kali menjadi panggung bagi individu-individu yang merasa kesepian dan terasing.

Kontradiksi Antara Modernitas dan Tradisi

Puisi ini menyoroti benturan antara modernitas dan nostalgia, antara kemapanan dan pemberontakan.

"dibalut pakaian slogan ‘anti mapan.’"

Kehidupan modern di Braga dipenuhi oleh mereka yang mencoba melawan arus, baik melalui penampilan maupun sikap hidup. Namun, di balik itu semua, ada rasa hampa dan penantian tanpa akhir.

"Ada bayangan surga tapi tak mampu diraihnya."

Kalimat ini merefleksikan bagaimana modernitas sering kali menjanjikan kenyamanan, tetapi hanya sedikit yang benar-benar dapat mencapainya.

Penggunaan Imaji dan Simbolisme

Agit Yogi Subandi memperkaya puisinya dengan imaji yang kuat dan simbolisme yang mendalam.

Imaji Visual

"Jalan membentang warna merkuri, harimau-harimau dikurung sorot lampu."

Baris ini menciptakan gambaran kota yang terang oleh lampu jalan, tetapi sekaligus terasa seperti penjara bagi para penghuninya.

Simbolisme Kehidupan Kota

Pengamen, pelukis, dan penjual rokok menjadi simbol kehidupan keras yang penuh perjuangan di kota besar.

Imaji Auditori

"Ia menyanyikan lagu sebuah band terkenal dari luar negeri. ‘Time of Your Life.’"

Lagu ini memperkuat suasana melankolis dan reflektif, sekaligus menjadi pengingat akan momen-momen yang berlalu.

Nada dan Suasana Puisi

Nada dalam puisi ini adalah melankolis, dengan suasana yang campur aduk antara nostalgia, alienasi, dan penerimaan. Agit Yogi Subandi berhasil menangkap esensi kehidupan kota yang penuh ironi: terang namun sepi, ramai namun asing.

Puisi "Malam Minggu di Jalan Braga" adalah potret mendalam tentang hubungan manusia dengan kota, dengan dirinya sendiri, dan dengan sesama. Agit Yogi Subandi menangkap keintiman dan keterasingan dalam satu waktu, menunjukkan bagaimana kota seperti Braga bisa menjadi ruang bagi cinta, refleksi, dan pencarian makna.

Melalui penggunaan imaji yang kuat dan suasana yang hidup, puisi ini mengingatkan kita bahwa di balik gemerlap dan keramaian kota, ada cerita-cerita kecil yang berjuang untuk didengar. Kota, seperti halnya manusia, adalah kontradiksi: penuh janji, tetapi juga menyimpan luka dan keheningan.

Puisi Terbaik
Puisi: Malam Minggu di Jalan Braga
Karya: Agit Yogi Subandi

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.