Puisi: Majlis Makan Malam (Karya Toto ST Radik)

Puisi "Majlis Makan Malam" memotret bagaimana situasi yang penuh kegembiraan dan kesopanan dapat berubah menjadi ketegangan yang mengguncang ...
Majlis Makan Malam dan Letupan di Masjid Istiqlal

Ketika lidah sibuk mengganyang 20 tusuk satay, ayam
bakar, laksa johor, semangka, dan teh susu dalam
majlis makan malam di Saujana yang amat berhormat
Deto' Haji Abdul Ghani Othman, seseorang menikam
telinga kiriku: Istiqlal diletupkan sebutir bom, tuan!

Seketika itu juga, di tengah tarian dan nyanyian
melayu yang mendayu-dayu, hidangan di atas meja
menjelma bangkai dan genangan darah. Malam mengerut
angin memusing, menghisap seluruh kesadaranku. Seribu
mulut berdengungan seperti lebah gila, ditingkah suara
tawa yang berdenging tajam. Aku muntah. Tubuhku pun
meletup. Kepingan-kepingannya beterbangan, melesat
melintas pulau dan lautan. Jatuh berkaparan di lantai dasar
masjid di antara kaca-kaca yang berpecahan dan sengatan
bau belerang.

Johor Bahru Malaysia, 1999

Catatan:
Saujana: Kediaman resmi YAB Menteri Besar Johor.

Analisis Puisi:

Puisi "Majlis Makan Malam" karya Toto ST Radik menyuguhkan sebuah karya yang penuh dengan imaji dan simbolisme yang kuat. Puisi ini menggambarkan sebuah momen sosial yang biasa—sebuah jamuan makan malam di sebuah majlis kehormatan—yang mendadak terdistorsi menjadi kekerasan, ketegangan, dan kekacauan yang tragis. Melalui penggunaan metafora yang tajam dan peralihan dramatis, puisi ini memotret bagaimana situasi yang penuh kegembiraan dan kesopanan dapat berubah menjadi ketegangan yang mengguncang kesadaran seseorang.

Kehidupan Sosial yang Tampak Biasa: Makan Malam di Saujana

Puisi ini dimulai dengan gambaran tentang sebuah acara makan malam yang tampak biasa, yakni hidangan lezat seperti sate, ayam bakar, laksa Johor, semangka, dan teh susu yang disajikan dalam suasana yang sopan dan terhormat. Kalimat pertama "Ketika lidah sibuk mengganyang 20 tusuk satay, ayam bakar, laksa johor, semangka, dan teh susu dalam majlis makan malam di Saujana yang amat berhormat" memperkenalkan suasana yang tampak penuh keceriaan dan kehormatan. Makan malam ini dipenuhi dengan kebiasaan sosial yang elegan, dihadiri oleh tokoh penting seperti Deto' Haji Abdul Ghani Othman. Namun, suasana ini segera terganggu oleh sebuah informasi yang mengguncang.

Perubahan Mendalam: Teror yang Mengganggu Kenyamanan

Kehidupan yang tampaknya biasa ini segera diguncang dengan informasi yang mengejutkan: "Istiqlal diletupkan sebutir bom, tuan!" Di sini, kita melihat kontras yang tajam antara kesenangan duniawi dalam acara makan malam dan ancaman kekerasan yang datang dari luar, menciptakan kegelisahan yang tak terduga. Kalimat ini membawa pembaca keluar dari kenyamanan makan malam yang damai ke dalam ketegangan dan kecemasan yang mendalam.

Kedamaian malam itu yang biasanya dipenuhi dengan "tarian dan nyanyian melayu yang mendayu-dayu" kini terbalik menjadi sesuatu yang jauh lebih gelap dan suram. Hidangan yang tadinya lezat, seperti semangka dan sate, tiba-tiba berubah menjadi "bangkai dan genangan darah." Di sini, Toto ST Radik menggunakan imaji yang kuat untuk menggambarkan perasaan ketakutan, kehilangan, dan kehancuran yang mengikutinya.

Kekacauan dan Kekerasan: Tubuh yang Meletup

Momen ini berlanjut dengan pergolakan batin yang menggambarkan rasa keterkejutan, ketakutan, dan kesadaran yang hancur. "Malam mengerut angin memusing, menghisap seluruh kesadaranku." Di sini, angin yang memusingkan dan menghisap kesadaran menggambarkan hilangnya ketenangan dan pemahaman diri, yang digantikan oleh rasa kebingungannya. Reaksi tubuh yang dilukiskan dengan kata-kata "Aku muntah. Tubuhku pun meletup. Kepingan-kepingannya beterbangan" menggambarkan kehancuran fisik dan mental yang melanda pembicara. Tubuh yang meletup menunjukkan disintegrasi dan kehancuran, sebuah respons fisik terhadap trauma yang mendalam.

Kepingan tubuh yang beterbangan, "melintas pulau dan lautan", memperlihatkan bagaimana kekerasan dan ketegangan ini tidak hanya terbatas pada satu tempat atau peristiwa, tetapi menyebar ke seluruh dunia—meresap ke dalam setiap lapisan kehidupan, melintasi batas-batas geografi dan eksistensi.

Bergemuruh dalam Kegelapan: Pecahan dan Belerang

Di bagian akhir, puisi ini membawa pembaca pada sebuah gambaran yang sangat kuat dan penuh emosi. Kepingan tubuh yang meledak jatuh "berkaparan di lantai dasar masjid di antara kaca-kaca yang berpecahan dan sengatan bau belerang." Gambar ini menciptakan suasana yang kacau dan penuh kehancuran. Masjid, yang seharusnya menjadi simbol kedamaian dan tempat ibadah, kini menjadi latar belakang dari sebuah tragedi besar. Pecahan kaca dan bau belerang menciptakan kesan kehancuran yang sangat dramatis.

Belerang sendiri sering kali diasosiasikan dengan bau kematian, yang mengindikasikan bahwa peristiwa tersebut bukan hanya fisik, tetapi juga memiliki dimensi psikologis dan emosional yang dalam—menghancurkan kedamaian batin dan mengguncang keyakinan serta kesadaran pembicara.

Puisi "Majlis Makan Malam" bukan hanya sebuah gambaran tentang peristiwa teror atau kekerasan, tetapi juga sebuah kritik terhadap ketidakpedulian dan kerentanannya masyarakat terhadap ancaman eksternal yang bisa muncul kapan saja. Makanan yang awalnya menyenangkan menjadi metafora untuk kenyamanan dan kebahagiaan hidup yang mudah terganggu oleh kekerasan dan ketegangan politik yang tidak terduga. Puisi ini mengingatkan kita bahwa dunia yang penuh kemewahan dan ketenangan kadang kala dapat terbalik oleh peristiwa yang lebih besar dari yang kita bayangkan.

Melalui karya ini, Toto ST Radik berhasil menggambarkan transisi dari ketenangan menuju kehancuran, dari kebahagiaan menuju ketakutan yang melanda seluruh tubuh dan pikiran pembicara. Puisi ini adalah refleksi dari realitas sosial dan politik yang terus berkembang, yang menantang pembaca untuk mempertanyakan kekuatan kekerasan, ketegangan, dan ketidakadilan dalam dunia kita.

Puisi: Majlis Makan Malam dan Letupan di Masjid Istiqlal
Puisi: Majlis Makan Malam dan Letupan di Masjid Istiqlal
Karya: Toto ST Radik

Biodata Toto ST Radik:
  • Toto Suhud Tuchaeni Radik lahir pada tanggal 30 Juni 1965 di desa Singarajan, Serang.
© Sepenuhnya. All rights reserved.