Puisi: Lumut (Karya Oka Rusmini)

Puisi "Lumut" adalah sebuah perjalanan batin yang menggambarkan kedalaman perasaan, kerinduan, dan pencarian makna hidup. Oka Rusmini menggunakan ...
Lumut
1992

Pertemuan yang menjadi benih pulau, bongkahan karang dan pasir itu, kukenang seperti anak sungai yang melarutkan wujud perempuanku.

"Apa kabar percintaanmu? Sungaikah dia? Lautkah? Kematian panjang? Surga? Kebun bunga? Ladang? Tambang, atau hutan puisi?"

Aku melarutkan garam dalam darah. Kautitipkan hati. Huruf-huruf kautebarkan di seluruh ranjang tidurku. "Mungkin ini bangkai kenangan percintaanku. Kupikir aku mampu merangkaimu di lubang otakku. Huruf-hurufku, jadikan kalung, kirimkan. Akan kutanam di tubuhku. Aku tidak pandai mendongeng. Datanglah tanpa tubuh. Kubuka seratus pintu tubuhku, selagi tak bisa kaukerat kulitmu."

Aku mulai merangkai gelisah dan rasa takut. Muntahannya jadi pohon. Tumbuh di nadiku. Dalam sembunyi yang menyakitkan, aku melubangi hati. Bahkan kutanak pikiranku selagi lapar.

"Matamu menjelma laut hitam. Penyamunkah yang rajin mencangkul mata dan menebasmu? Kulihat api melingkari tubuh kurusmu. Memerasnya berkali-kali. Mari mendekat. Sentuh tubuhku. Kutuntun kau menjerang nasib. Berbungakah huruf-hurufku?"

Kaubangunkan aku dari tidur panjang itu, menguapkan tahun-tahun yang kupinjam. Tak lagi memiliki kaki, kupanjat sejarah yang terus berputar di ujung rambutku.

"Lelahkah kau? Terbang dengan sayap patah yang meleleh ditiup kisah percintaan. Lelakikah dia? Atau lumut yang mengisap mata air hidupmu? Mari mendekat. Biar kuhangatkan engkau. Dongengkah yang kaupinta? Atau tubuhku?"

Api itu terus menjilati tubuhku. Lelakikah kau?

"Mari menari dalam tidur panjangku. Kuteguk tubuhmu dalam gelap."

1999

Sumber: Pandora (2008)

Analisis Puisi:

Puisi "Lumut" karya Oka Rusmini mengajak pembaca untuk menyelami perasaan kompleks dan pengembaraan batin melalui serangkaian pertanyaan yang penuh makna. Puisi ini menggambarkan ketegangan antara kenangan, percintaan, dan pencarian makna dalam kehidupan, dengan bahasa yang simbolis dan puitis. Melalui penggunaan metafora yang kuat, puisi ini membuka ruang bagi pembaca untuk merenung tentang hubungan, waktu, dan tubuh sebagai tempat penyelaman perasaan.

Pertemuan yang Membentuk Kenangan dan Identitas

Puisi ini dimulai dengan gambaran tentang pertemuan yang membentuk kenangan yang dalam. "Pertemuan yang menjadi benih pulau, bongkahan karang dan pasir itu, kukenang seperti anak sungai yang melarutkan wujud perempuanku." Kata-kata ini menggambarkan bagaimana sebuah pertemuan bukan hanya sekadar kenangan, tetapi juga sebuah fondasi yang membentuk identitas diri, seperti aliran sungai yang melarutkan segalanya menjadi satu. Oka Rusmini menggunakan gambaran alam sebagai metafora untuk menggambarkan perasaan yang mengalir dan terus berkembang, sekaligus merujuk pada transformasi diri yang datang dengan waktu.

Pertanyaan tentang Percintaan dan Keberadaan

Salah satu ciri khas dari puisi ini adalah serangkaian pertanyaan yang muncul, yang tidak hanya mencari jawaban, tetapi juga memunculkan perenungan dalam diri pembaca. Misalnya, "Apa kabar percintaanmu? Sungaikah dia? Lautkah? Kematian panjang? Surga? Kebun bunga? Ladang? Tambang, atau hutan puisi?" Pertanyaan-pertanyaan ini mencerminkan pencarian akan makna dalam percintaan dan kehidupan. Percintaan dihadirkan sebagai sesuatu yang bisa berbentuk apapun—seperti sungai, laut, atau bahkan kematian—sebuah perjalanan yang penuh dengan perubahan dan ketidakpastian.

Selain itu, pertanyaan tentang percintaan ini membuka refleksi tentang bagaimana seseorang berhubungan dengan dirinya sendiri. Apakah percintaan itu menjadi sumber kehidupan, atau malah menjadi sesuatu yang membelenggu, seperti "hutan puisi" yang bisa menjadi labirin yang membingungkan.

Melarutkan Garam dalam Darah: Pengorbanan dan Penderitaan

Penyair kemudian melanjutkan dengan metafora yang lebih mendalam: "Aku melarutkan garam dalam darah. Kautitipkan hati. Huruf-huruf kautebarkan di seluruh ranjang tidurku." Garam dalam darah mengingatkan kita pada rasa sakit dan pengorbanan yang harus diterima dalam proses percintaan dan kehidupan itu sendiri. Garam adalah elemen yang bisa meresap dalam tubuh, dan seperti halnya luka yang bisa mengganggu, rasa sakit dalam diri disimbolkan sebagai larutan garam dalam darah.

Huruf-huruf yang tersebar di seluruh ranjang tidur menggambarkan bagaimana kata-kata dan kenangan terus mengisi ruang kosong dalam hidup penyair. Ranjang tidur menjadi tempat yang tidak hanya digunakan untuk tidur, tetapi juga untuk merenung, mencari makna, dan melacak perasaan yang tak terungkapkan. Dalam hal ini, tubuh dan kata-kata berfungsi sebagai alat untuk menemukan dan merangkai kenangan serta perasaan yang membentuk identitas diri.

Penderitaan dan Pencarian: Tubuh, Pikiran, dan Ketakutan

Teks puisi ini kemudian bergerak lebih dalam ke wilayah batin yang lebih gelap, dengan kalimat "Aku mulai merangkai gelisah dan rasa takut. Muntahannya jadi pohon. Tumbuh di nadiku. Dalam sembunyi yang menyakitkan, aku melubangi hati." Penderitaan dan ketakutan yang dirasakan penyair digambarkan dengan metafora tumbuhan yang tumbuh dalam tubuhnya, melambangkan bagaimana perasaan tersebut mengakar dan merasuk dalam setiap bagian tubuh. Muntahan yang berubah menjadi pohon bisa diartikan sebagai hasil dari ketegangan batin yang tumbuh dan berkembang, namun juga membawa rasa sakit dan penderitaan yang sulit untuk dilepaskan.

Bagian ini menggambarkan ketegangan yang tak terhindarkan antara pengingkaran dan penerimaan, antara keinginan untuk mengungkapkan perasaan dan ketidakmampuan untuk melakukannya secara langsung. Keinginan untuk melepaskan diri dari ketakutan dan penderitaan tampaknya terhambat oleh kenyataan tubuh yang dibatasi oleh waktu dan tempat.

Kehilangan dan Kerinduan: Api yang Terus Menjilat

Di bagian lain puisi ini, Oka Rusmini mengajak pembaca untuk merasakan kekosongan yang muncul akibat kehilangan, dengan kata-kata "Api itu terus menjilati tubuhku. Lelakikah kau?" Api ini dapat diartikan sebagai perasaan kerinduan dan kecemasan yang terus membakar tubuh penyair, seolah perasaan tersebut tidak pernah bisa padam. Pertanyaan tentang apakah "dia" adalah seorang lelaki atau sesuatu yang lebih abstrak—seperti lumut yang mengisap mata air hidupmu—merujuk pada pencarian tentang apa yang benar-benar memberikan kehidupan bagi penyair, ataukah justru sesuatu yang menyedot energi dan membuatnya terperangkap.

Puisi "Lumut" adalah sebuah perjalanan batin yang menggambarkan kedalaman perasaan, kerinduan, dan pencarian makna hidup. Oka Rusmini menggunakan bahasa yang penuh dengan simbolisme dan metafora untuk menyelami kompleksitas hubungan, percintaan, dan perasaan batin yang tak terungkapkan. Pertanyaan-pertanyaan dalam puisi ini tidak hanya mengarah pada percintaan, tetapi juga pada pencarian diri dan pemahaman akan dunia yang penuh dengan kebingungan dan ketidakpastian.

Melalui puisi ini, pembaca diundang untuk merenung dan menggali makna lebih dalam dari kata-kata yang tersebar, seolah-olah mencarikan kunci untuk membuka pemahaman tentang hidup dan perasaan yang tersembunyi di balik tubuh dan pikiran kita. Sebuah karya yang mengajak kita untuk terus bertanya dan mencari, meski sering kali jawabannya tidak dapat ditemukan dengan mudah.

Oka Rusmini
Puisi: Lumut
Karya: Oka Rusmini

Biodata Oka Rusmini:
  • Oka Rusmini lahir di Jakarta pada tanggal 11 Juli 1967.
© Sepenuhnya. All rights reserved.