Lombang
(kepada pelukis sulaiman
yang melukis kuburan
di atas sahana)
tulang-tulang sejarah membukit
menitipkan jerit pada desir-desir cemara.
terbentang sabana
mengemban seribu nisan dan luka dahaga.
di sini keagungan telah dipahat entah oleh siapa
pada batu-batu tua
(tempat kini aku berkaca).
pada pasir
terselip rintih sejarah
terbungkus rahasia.
tiap hari matahari lewat di sini
menimba darah kenangan lama
lalu pergi seperti biasa
seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa.
seribu lidah telah tertanam di sini
tak bisa menjerit apalagi bicara.
Sumber: Horison (Maret-April, 1982)
Analisis Puisi:
Puisi "Lombang" karya D. Zawawi Imron merupakan sebuah karya yang sarat dengan simbolisme, sejarah, dan refleksi tentang peradaban manusia. Dengan gaya bahasa yang khas dan penuh kedalaman, Zawawi menggambarkan bagaimana warisan sejarah dan kenangan manusia terpendam di balik hamparan alam yang diam tetapi sarat makna.
Simbolisme dalam Puisi
Puisi ini menggunakan simbolisme yang kaya untuk menyampaikan pesan. Beberapa simbol utama yang dapat diinterpretasikan adalah:
Tulang-tulang sejarah
Tulang-tulang sejarah yang membukit melambangkan warisan masa lalu yang terus bertumpuk. Ia bukan hanya soal jasad manusia, tetapi juga ide, kenangan, dan tragedi yang membentuk peradaban. “Menitipkan jerit pada desir-desir cemara” memberikan kesan bahwa meskipun sejarah bisu, ia tetap memiliki cerita yang terpendam.Sabana dan seribu nisan
Sabana menjadi metafora dari bentangan luas kehidupan, sementara seribu nisan adalah penanda tragedi dan penderitaan yang pernah terjadi di tempat itu. Luka dahaga yang disebutkan mengisyaratkan bahwa ada kekurangan atau kehilangan yang dirasakan, baik secara fisik maupun spiritual.Batu-batu tua dan pasir
Batu-batu tua adalah saksi bisu dari perjalanan waktu, tempat manusia bisa bercermin tentang dirinya sendiri. Pasir, dengan rintih sejarah yang terbungkus rahasia, mencerminkan bahwa di bawah permukaannya ada cerita-cerita yang terkubur dan tak terungkap.
Keagungan yang Dipahat dan Keterasingan Manusia
Di baris “di sini keagungan telah dipahat entah oleh siapa”, Zawawi mengisyaratkan bahwa keagungan peradaban atau tempat tersebut bukanlah milik individu, melainkan hasil dari upaya kolektif atau bahkan takdir alam. Keterasingan muncul dalam frasa “tempat kini aku berkaca”, di mana manusia merasa kecil di hadapan sejarah besar yang tercipta sebelum dirinya.
Matahari sebagai Saksi Bisu
Baris “tiap hari matahari lewat di sini” menggambarkan matahari sebagai saksi atas peristiwa-peristiwa sejarah. Namun, sifatnya yang pergi seperti biasa, seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa menyoroti ketidakpedulian alam terhadap tragedi manusia. Alam tetap berjalan sesuai siklusnya, sementara manusia menanggung luka-luka emosional dan sejarah.
Keterbungkaman Lidah-Lidah Sejarah
Frasa “seribu lidah telah tertanam di sini” melukiskan bagaimana suara-suara dari masa lalu telah terbungkam. Lidah-lidah ini adalah simbol dari cerita, pendapat, dan kesaksian yang tidak dapat diungkapkan lagi. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan apa yang tersimpan di balik keheningan sejarah yang bisu.
Kritik terhadap Lupa Kolektif
D. Zawawi Imron juga tampaknya mengkritik sikap manusia yang sering kali melupakan masa lalu. Baris “seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa” menggambarkan bagaimana peristiwa besar, penderitaan, dan jerit sejarah terkubur begitu saja tanpa dipelajari atau diingat. Kritik ini relevan dalam konteks sosial, politik, dan budaya, di mana sering kali sejarah diabaikan atau bahkan diputarbalikkan.
Gaya Bahasa dan Struktur Puisi
Gaya bahasa yang digunakan Zawawi penuh dengan metafora dan personifikasi, menciptakan suasana yang melankolis dan reflektif. Struktur puisi yang tidak terlalu panjang, namun padat makna, membuat setiap kata memiliki bobot yang signifikan.
- Personifikasi: Matahari yang menimba darah kenangan dan pasir yang terselip rintih sejarah adalah contoh personifikasi yang menambah kekuatan visual dan emosional dalam puisi ini.
- Metafora: Tulang-tulang sejarah dan lidah-lidah yang tertanam adalah metafora yang kuat untuk menggambarkan bagaimana masa lalu dan suara-suara penting terpendam dalam diam.
Relevansi dan Refleksi
Puisi "Lombang" mengajak pembaca untuk merenungkan hubungan antara manusia, sejarah, dan alam. Dalam dunia modern, di mana peradaban terus berkembang, kita sering melupakan jejak-jejak masa lalu yang membentuk identitas kita.
Zawawi mengingatkan kita untuk tidak sekadar menjadi penonton, tetapi juga pelajar yang menggali makna dari sejarah yang terpendam. Melalui simbolisme yang kuat, puisi ini mengajarkan bahwa meskipun masa lalu mungkin tersembunyi, ia tetap berbicara kepada kita jika kita mau mendengar.
Puisi "Lombang" adalah puisi yang memadukan keindahan bahasa dengan kedalaman makna. D. Zawawi Imron berhasil menghadirkan sebuah karya yang tidak hanya memotret lanskap fisik tetapi juga lanskap emosional dan historis manusia.
Puisi ini mengingatkan kita akan pentingnya memahami dan menghormati sejarah, meskipun ia sering kali hadir dalam bentuk yang bisu dan tersembunyi. Lombang bukan hanya tentang tempat atau peristiwa, tetapi juga tentang perjalanan manusia dalam mencari makna hidup di tengah alur waktu yang terus berjalan.
Puisi: Lombang
Karya: D. Zawawi Imron
Biodata D. Zawawi Imron:
- D. Zawawi Imron lahir pada tanggal 1 Januari 1945 di desa Batang-batang, Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur, Indonesia.