Puisi: Lelaki 56 Tahun di Madinah (Karya L.K. Ara)

Puisi: Lelaki 56 Tahun di Madinah Karya: L.K. Ara
Lelaki 56 Tahun di Madinah

kota Madinah
Senin sore di Minggu keempat Juni 1993
sinar matahari tetaplah panas
menuju mesjid Nabawi
untuk salat magrib
seorang lelaki 56 tahun
membeli dua qur'an
ketika meletakkan di tempat qur'an
di mesjid Nabawi
ia berniat untuk wakaf kakek dan nenek
yang sudah lama pulang ke rahmatullah

udara di dalam mesjid Nabawi
dingin sekali
selesai salat magrib
ia berebahkan diri
di atas permadani
rupanya ia ketiduran
begitu terjaga
salat isa akan tiba
karena itu ia buru-buru
ingin mengambil air wudhuk
tapi baru lima langkah
seorang tua datang
bertanya dalam bahasa
yang tak dimengertinya
untunglah orang tua
yang sedikit bungkuk itu
bertanya sambil menggerakkan tangan
ke wajah dan ke siku
yang ditafsirkan sebagai wudhuk
tempat wudhuk di sana
mari ikut saya
saya juga ingin berwudhuk mendengar kata wudhuk
orang tua itu mengangguk
dan ketika diajak ia ikut
ia menurut
lalu mereka berjalan
perlahan-lahan menuju pintu
dan akan segera ke tempat wudhuk

begitu tiba di pintu
lelaki 56 tahun mengambil sandal dari
plastik
lalu memakainya sambil turun ke halaman
ingat pada orang tua
ia menoleh rupanya sedang mengenakan
sandalnya
sambil melambai berkata
ke sini, tempat air wudhuk di sana
faham isyarat lelaki 56 tahun
orang tua itu mendekat
lalu mereka berjalan beriringan
perlahan-lahan mereka berjalan
mereka berjalan beriringan
di tempat yang agak tinggi
lelaki 56 tahun menunjuk ke arah timur
berkata kepada orang tua di sampingnya
itu tempat wudhuk
sambil mengajak bersama-sama ke sana
tiga langkah berjalan
lelaki 56 tahun menoleh
tetapi aneh
orang tua itu
sudah tak ada
raib

ketika ia ingat-ingat
wajah orang tua tadi
persis sama
dengan wajah kakeknya
yang wafat 30 tahun lalu

Madinah, 22 Juni l993

Analisis Puisi:

Puisi "Lelaki 56 Tahun di Madinah" karya L.K. Ara adalah sebuah narasi puitis yang memadukan pengalaman spiritual, nostalgia, dan keajaiban di kota suci Madinah. Puisi ini membawa pembaca pada perjalanan emosional seorang pria berusia 56 tahun yang mengalami momen refleksi mendalam di Masjid Nabawi.

Konteks dan Setting: Madinah sebagai Kota Suci

Puisi ini berlatar di Madinah, sebuah kota dengan makna religius yang mendalam bagi umat Islam.

"kota Madinah / Senin sore di Minggu keempat Juni 1993"

Penyebutan waktu dan tempat memberikan kesan dokumentasi yang nyata, membuat pembaca merasa bahwa ini adalah kisah pribadi penulis atau seseorang yang dikenal. Madinah sebagai setting menciptakan suasana spiritual yang langsung menghubungkan pembaca dengan nilai-nilai religius.

"udara di dalam mesjid Nabawi / dingin sekali"

Kontras antara panasnya matahari di luar dan dinginnya udara di dalam masjid mencerminkan ketenangan dan kesucian yang dimiliki Masjid Nabawi sebagai tempat ibadah.

Perjalanan Spiritual dan Wakaf

"seorang lelaki 56 tahun / membeli dua qur'an / ketika meletakkan di tempat qur'an / di mesjid Nabawi"

Tindakan mewakafkan Al-Qur'an untuk kakek dan nenek yang sudah meninggal menunjukkan penghormatan dan rasa cinta kepada leluhur. Perbuatan ini menggarisbawahi nilai amal jariyah dalam Islam, yaitu amalan yang pahalanya terus mengalir meski seseorang telah tiada.

Keajaiban dan Kehadiran yang Misterius

"seorang tua datang / bertanya dalam bahasa / yang tak dimengertinya"

Sosok orang tua yang muncul dengan bahasa yang tidak dimengerti menambah nuansa misteri dalam puisi ini. Interaksi ini memberikan kesan bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar kebetulan.

"tetapi aneh / orang tua itu / sudah tak ada / raib"

Kehilangan sosok orang tua tersebut secara tiba-tiba menciptakan suasana magis. Saat si lelaki menyadari bahwa wajah orang tua itu mirip dengan kakeknya yang telah wafat, muncul kesan keajaiban atau tanda ilahi.

Nostalgia dan Keterhubungan dengan Leluhur

"wajah orang tua tadi / persis sama / dengan wajah kakeknya / yang wafat 30 tahun lalu"

Nostalgia menjadi elemen penting dalam puisi ini. Lelaki 56 tahun tersebut mengaitkan kehadiran orang tua misterius itu dengan kakeknya, menciptakan rasa keterhubungan dengan dunia yang tidak kasat mata. Ini juga mencerminkan bahwa dalam budaya dan tradisi, kenangan akan leluhur sering kali muncul dalam momen-momen reflektif atau spiritual.

Tema Utama dalam Puisi

  1. Spiritualitas dan Keajaiban: Kehadiran sosok orang tua yang menghilang tiba-tiba menjadi simbol dari keajaiban yang kadang terjadi dalam perjalanan spiritual. Ini juga mencerminkan keyakinan bahwa hubungan manusia dengan leluhur bisa terasa nyata di tempat suci.
  2. Amal dan Doa untuk Leluhur: Tindakan wakaf Al-Qur'an menunjukkan pentingnya menghormati leluhur melalui doa dan amal. Ini adalah pengingat bagi pembaca tentang tanggung jawab terhadap mereka yang telah meninggal.
  3. Refleksi dan Renungan Hidup: Lelaki 56 tahun dalam puisi ini mungkin sedang merenungi hidupnya sendiri, sekaligus mengenang hubungan dengan keluarganya.

Gaya Bahasa dan Struktur Puisi

L.K. Ara menggunakan gaya naratif dalam puisinya, dengan alur cerita yang jelas. Pilihan kata yang sederhana namun puitis memberikan ruang bagi pembaca untuk merasakan pengalaman spiritual karakter utama. Repetisi seperti "mereka berjalan beriringan" memperkuat suasana tenang dan khusyuk.

Puisi "Lelaki 56 Tahun di Madinah" adalah karya yang memadukan narasi spiritual, nostalgia, dan keajaiban dengan latar kota Madinah yang sakral. Puisi ini mengajarkan tentang pentingnya menghormati leluhur, memperkuat spiritualitas, dan meresapi keajaiban yang mungkin terjadi dalam hidup.

Sepenuhnya Puisi
Puisi: Lelaki 56 Tahun di Madinah
Karya: L.K. Ara

Biodata L.K. Ara:
  • Nama lengkap L.K. Ara adalah Lesik Keti Ara.
  • L.K. Ara lahir di Kutelintang, Takengon, Aceh Tengah, 12 November 1937.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.