Puisi: Leher (Karya Arif Bagus Prasetyo)

Puisi "Leher" karya Arif Bagus Prasetyo mengajak pembaca untuk merenungkan kehidupan, kematian, dan hubungan manusia dengan kegelapan yang tak ...
Leher

Tidur. Tinggalkan aku mabuk bersama akar dan tempayak, suara yang menembus jangat bumi dan mengerat batu lahat riwayatmu yang dipahat dengan nyawa. Kureguk arak bangkai dari lambung sumur tua, terhuyung menyusuri lorong cacing yang berlendir dan bergaung bagai lonceng tengah malam memanggilku bersembahyang di lehermu yang menganga. Tapi urat-urat lumut di tanganku berkeringat merambati gagang parang, isi perut hewan kurban dan monumen tegak terpancung -- kerabat kegelapan yang terkubur awan debu pelupukmu. Dan semilir bau busuk menyeruak dari bibir mata air yang mencecap getah bunga kata-kata musim semi air mata.

Tidurlah. Percuma kau berduka. Tak ada mayat-mayat atau gurat pada nisan. Tinggal aku yang tersungkur melamunkan dengkur leher membangkitkan akar-akar dan tempayak di jakunmu menyelusup mimpi-mimpi mencekikmu dan membuat kau tersengal kau tersedak memuntahkan jerit daging tulang darah dia datang memotongmu dia datang malam itu mencincangmu!

1997

Analisis Puisi:

Puisi "Leher" karya Arif Bagus Prasetyo merupakan sebuah karya yang kaya akan imaji, penuh kegelapan, dan sarat dengan simbol-simbol yang memancing perenungan mendalam tentang kehidupan, kematian, dan ketegangan eksistensial manusia. Melalui permainan diksi yang tajam dan suasana yang suram, puisi ini menyajikan pengalaman membaca yang menggetarkan dan mengundang banyak interpretasi.

Atmosfer Puisi: Kegelapan dan Kekerasan

Sejak baris pertama, puisi ini sudah menanamkan suasana yang penuh tekanan dan gelap:
Mabuk dan Akar Kematian: Frasa “mabuk bersama akar dan tempayak” menggambarkan kondisi manusia yang terjebak dalam siklus kegelapan, kehancuran, dan pembusukan. Mabuk dalam konteks ini bisa dimaknai sebagai pelarian dari kenyataan yang pahit atau perenungan mendalam yang menjerumuskan ke dalam absurditas hidup.
Kekerasan yang Melekat: Imaji “gagang parang, isi perut hewan kurban” mencerminkan kekerasan baik secara fisik maupun simbolis. Parang menjadi simbol penghancuran, baik terhadap tubuh maupun jiwa. Puisi ini berulang kali membawa pembaca ke suasana yang penuh konflik antara kehidupan dan kematian, seperti dalam “lonceng tengah malam memanggilku bersembahyang di lehermu yang menganga”.

Simbol Leher: Pusat Kehidupan dan Kematian

Leher dalam puisi ini menjadi simbol utama yang membawa makna berlapis:
  • Leher sebagai Sumber Kehidupan: Leher, dengan jakun dan saluran pernapasan, adalah pusat kehidupan. Dalam puisi ini, leher digambarkan sebagai sesuatu yang rapuh, terbuka (menganga), dan menjadi tempat bersemayamnya mimpi-mimpi yang menakutkan. Frasa “akar-akar dan tempayak di jakunmu” menandakan bahwa leher adalah tempat di mana kehidupan dan kematian bertemu, sebuah ruang antara yang selalu terancam.
  • Leher sebagai Objek Kekerasan: Dalam budaya simbolik, leher sering kali diasosiasikan dengan kerentanan, tempat di mana kehidupan bisa diakhiri dengan satu tindakan brutal. Puisi ini menekankan kerentanan itu dengan gambaran kekerasan seperti “dia datang memotongmu, dia datang malam itu mencincangmu”.

Tema Kehancuran dan Kesia-siaan

Puisi ini penuh dengan pesan tentang kehancuran yang tidak dapat dihindari dan ketidakberdayaan manusia menghadapi kekuatan yang lebih besar.
  • Kehancuran yang Tak Terhindarkan: Frasa seperti “percuma kau berduka” menunjukkan kesia-siaan duka cita dalam menghadapi takdir. Tidak ada nisan atau tanda-tanda kematian yang nyata, tetapi kehancuran tetap hadir melalui bau busuk, akar-akar, dan tempayak yang melambangkan pembusukan.
  • Kesadaran Eksistensial: “Tinggal aku yang tersungkur melamunkan dengkur leher” menandakan kesadaran manusia yang penuh derita dan terjebak dalam siklus penderitaan. Puisi ini menggambarkan kondisi eksistensial manusia yang selalu dihantui oleh kematian dan kehancuran, baik secara fisik maupun spiritual.

Imaji Surreal dan Kekacauan Simbolik

Arif Bagus Prasetyo menggunakan imaji yang surreal untuk menciptakan suasana yang mencekam dan penuh teka-teki.
  • Arak Bangkai dan Sumur Tua: “Kureguk arak bangkai dari lambung sumur tua” menggambarkan pengalaman yang ganjil dan absurd. Arak bangkai adalah simbol kehancuran yang tertelan, sementara sumur tua mencerminkan kedalaman jiwa manusia yang gelap dan penuh misteri.
  • Bunga Kata-Kata dan Getah Air Mata: Frasa “getah bunga kata-kata musim semi air mata” menggambarkan paradoks antara keindahan dan kesakitan. Kata-kata bisa menjadi bunga yang indah, tetapi juga membawa getah yang pahit, sama seperti air mata yang lahir dari emosi mendalam.

Gaya Bahasa: Eksplorasi Diksi dan Narasi Fragmentaris

Puisi "Leher" menunjukkan keahlian Arif Bagus Prasetyo dalam menggunakan diksi yang kuat dan struktur narasi yang tidak linear.
  • Diksi yang Kuat dan Berlapis: Setiap kata dalam puisi ini dipilih dengan cermat untuk menciptakan suasana yang gelap dan intens. Kata-kata seperti “bangkai,” “tempayak,” “mencecap,” dan “getah” memperkuat imaji kehancuran dan pembusukan.
  • Narasi yang Fragmentaris: Puisi ini tidak mengikuti alur linear, melainkan menggunakan potongan-potongan imaji yang saling bertautan. Hal ini menciptakan pengalaman membaca yang menantang tetapi juga memuaskan, karena pembaca diajak untuk merangkai sendiri makna dari setiap baris.

Tafsir dan Pesan yang Tersirat

Puisi ini dapat ditafsirkan sebagai refleksi mendalam tentang siklus hidup manusia, ketidakberdayaan, dan hubungan manusia dengan kekuatan tak terlihat.
  • Eksistensialisme dan Ketidakberdayaan: Manusia dalam puisi ini digambarkan sebagai makhluk yang kecil dan rapuh, terjebak dalam kekuatan yang lebih besar. Kehidupan menjadi sesuatu yang absurd, penuh penderitaan, dan tidak selalu memiliki makna yang jelas.
  • Kritik terhadap Kekerasan dan Kehancuran: Imaji kekerasan dalam puisi ini mungkin juga bisa ditafsirkan sebagai kritik terhadap realitas sosial yang penuh konflik, di mana kekerasan dan kehancuran menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia.
Puisi "Leher" karya Arif Bagus Prasetyo adalah sebuah karya yang menggugah dan penuh makna. Melalui simbolisme yang kaya, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan kehidupan, kematian, dan hubungan manusia dengan kegelapan yang tak terhindarkan.

Dengan gaya bahasa yang tajam dan eksplorasi imaji yang unik, puisi ini menunjukkan bahwa sastra tidak hanya berfungsi sebagai sarana ekspresi, tetapi juga sebagai ruang untuk merenungkan kompleksitas keberadaan manusia. Membaca Leher adalah pengalaman yang mendalam, yang meninggalkan jejak di benak pembaca tentang betapa rapuh dan misteriusnya kehidupan ini.

Sepenuhnya Puisi
Puisi: Leher
Karya: Arif Bagus Prasetyo
© Sepenuhnya. All rights reserved.