Puisi: Laut Bali (Karya Wayan Jengki Sunarta)

Puisi "Laut Bali" karya Wayan Jengki Sunarta mengingatkan kita akan tanggung jawab sosial dan ekologis yang melekat pada kehidupan kita.
Laut Bali

sisa cahaya. arus waktu
larut dalam kadar darahmu

dalam kadar darahmu
laut tak jemu mengigau
pilu
seperti sedu
peri peri penipu

kau hitung jejak, kelahiran itu, pada pasir
sisa cahaya merembes dari pusar
kawanan bocah muncul dari rekah karang
menawarimu kalung kalung kulit kerang
pada matanya
kau lihat pesisir bali menangis
bukit bukit kapur terkikis
pantai pantai tereklamasi

perahu bercadik melaju
seperti masa lalu
seorang tua menegurmu:

"kembalilah ke laut, cucuku
laut adalah ibu,
awal dan akhir waktumu
seperti nadimu"

kau masih tafakur
tubuh pelaut tua itu
perlahan larut dalam air garam

dalam kalbu laut
kau berpusar mengikuti arus waktu
sisa sisa cahaya merintih:

"ucapkan mantram leluhur pelaut
agar angin jinak, ombak jinak, ikan jinak
dan turunanmu jadi bijak!"

1999

Sumber: Impian Usai (2007)

Analisis Puisi:

Puisi "Laut Bali" karya Wayan Jengki Sunarta adalah sebuah karya yang penuh simbolisme dan emosi, menggambarkan hubungan manusia dengan laut, tradisi leluhur, dan realitas modern yang memengaruhi ekosistem Bali.

Laut sebagai Simbol Kehidupan dan Waktu

Puisi ini dibuka dengan ungkapan "sisa cahaya. arus waktu larut dalam kadar darahmu." Laut diidentifikasi sebagai medium waktu yang terus mengalir, menyimpan jejak-jejak kehidupan dan sejarah. Dalam perspektif ini, laut bukan hanya sebuah bentang alam, tetapi juga simbol asal-usul manusia dan perjalanan waktu yang melingkupinya.

Frasa "dalam kadar darahmu" mempertegas hubungan biologis dan spiritual manusia dengan laut, seolah laut adalah bagian integral dari tubuh dan jiwa manusia.

Keindahan yang Terancam: Kritik terhadap Ekosistem Bali

Dalam baris:

“kau lihat pesisir bali menangis, bukit bukit kapur terkikis, pantai pantai tereklamasi.”

Penyair menggambarkan realitas kerusakan lingkungan di Bali. Penggundulan bukit kapur, reklamasi pantai, dan jejak pembangunan yang tak terkendali menjadi refleksi dari kehilangan keindahan alami pulau ini. Pesisir Bali yang menangis adalah simbol kesedihan alam akibat ulah manusia.

Di tengah kritik ini, hadir gambaran bocah-bocah yang menawar kalung kulit kerang. Mereka mencerminkan keberlanjutan tradisi lokal, tetapi juga keterdesakan masyarakat pesisir yang berjuang di tengah perubahan ekologi dan sosial.

Tradisi Leluhur dan Dialog Spiritual

Salah satu kekuatan puisi ini adalah hubungan manusia dengan leluhur melalui laut. Dalam kalimat:

“kembalilah ke laut, cucuku. laut adalah ibu, awal dan akhir waktumu, seperti nadimu.”

Figur seorang tua dalam puisi ini berfungsi sebagai medium leluhur yang menegaskan bahwa laut adalah ibu kehidupan, sumber segala sesuatu, dan tempat kembali. Frasa ini mengandung ajakan untuk menghormati laut sebagai bagian dari siklus spiritual dan ekologis.

Mantra leluhur yang disebutkan di akhir puisi menekankan pentingnya melestarikan tradisi sebagai upaya untuk menjaga harmoni alam:

“ucapkan mantram leluhur pelaut agar angin jinak, ombak jinak, ikan jinak, dan turunanmu jadi bijak!”

Laut sebagai Cermin Keprihatinan dan Perubahan

Laut dalam puisi ini tidak hanya menjadi tempat keindahan tetapi juga tempat kegelisahan. Penyair menghidupkan laut sebagai entitas yang terus mengigau pilu seperti kesedihan peri-peri penipu. Ini adalah gambaran bagaimana laut menyimpan luka akibat eksploitasi dan perubahan yang dilakukan oleh manusia.

Perpaduan antara peri penipu dan kawanan bocah menunjukkan dualitas laut: tempat harapan dan kesedihan, tradisi dan kerusakan, masa lalu dan masa kini.

Dimensi Spiritual dan Pesan Moral

Puisi ini mengandung pesan spiritual yang dalam. Ajakan untuk mengucapkan mantra leluhur adalah simbol untuk kembali kepada akar kebijaksanaan tradisional yang menghormati alam. Dalam budaya Bali, laut memiliki dimensi sakral yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari, dan penyair dengan halus menyampaikan pentingnya menjaga keseimbangan tersebut.

Pesan moral puisi ini adalah bahwa manusia harus bersikap bijak dalam menghadapi laut. Laut bukan hanya tempat mencari kehidupan, tetapi juga tempat perlindungan spiritual yang membutuhkan penghormatan dan perlakuan bijaksana.

Struktur dan Diksi: Menghidupkan Imaji Laut

Struktur puisi yang terdiri dari baris-baris pendek memberikan nuansa reflektif. Diksi seperti "sisa cahaya," "arus waktu," "rekah karang," dan "perahu bercadik" menciptakan imaji visual yang kuat. Gaya bahasa puitis ini membawa pembaca ke dalam suasana melankolis dan penuh renungan.

Relevansi dalam Konteks Modern

Puisi ini relevan di tengah tantangan modern yang dihadapi Bali, termasuk pariwisata massal dan kerusakan lingkungan. Wayan Jengki Sunarta mengingatkan kita untuk tidak melupakan akar spiritual dan ekologis Bali di tengah modernitas.

Puisi ini juga relevan secara global, mengingatkan kita akan pentingnya menjaga keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian alam.

Puisi "Laut Bali" karya Wayan Jengki Sunarta adalah puisi yang penuh makna, menggambarkan hubungan manusia dengan laut sebagai ibu kehidupan, sumber spiritual, dan refleksi dari waktu yang terus berjalan.

Dengan mengangkat isu kerusakan lingkungan, tradisi leluhur, dan spiritualitas, puisi ini menjadi seruan bagi manusia untuk kembali menghormati laut sebagai entitas yang sakral. Dalam setiap baitnya, puisi "Laut Bali" mengingatkan kita akan tanggung jawab sosial dan ekologis yang melekat pada kehidupan kita.

Wayan Jengki Sunarta
Puisi: Laut Bali
Karya: Wayan Jengki Sunarta

Biodata Wayan Jengki Sunarta:
  • Wayan Jengki Sunarta lahir pada tanggal 22 Juni 1975 di Denpasar, Bali, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.