Lagu Hati yang Gelisah
Kudengar suara embun jatuh di daun pisang, kudengar letup api dalam kompor di belakang, kudengar suara jantung berdetak begitu keras jauh di dada.
Aku khawatirkan semakin jauh saja membawa tik tak kian lemah bagai langkah kuda lari ke sana dan anjing pemburu yang tinggal menghadangku degan gigi-giginya. Bisa jadi agar nyaliku jadi kecil dan mengoyak-ngoyak tubuh sendiri dengan rakus yang dalam.
Dengan demikian bisa kubagikan hatiku pada mereka semuanya: anak-anak kecil yang tidur di jembatan penyeberangan, orang tua yang sedang minum es di pinggir jalan, anak-anak di rumah mereka sendiri main kapal-kapalan, bapak-bapak tua teranggung-angguk di kursi goyang atau perempuan-perempuan tidak bernama yang bergantung di bis kota.
Atau mungkin juga mereka bakal mendorong hatiku ke luar jendela jatuh di pinggir kali teronggok bagai tai sapi.
1975
Sumber: Horison (April, 1978)
Analisis Puisi:
Puisi "Lagu Hati yang Gelisah" karya Adri Darmadji Woko merupakan sebuah refleksi tentang keresahan batin yang disampaikan melalui suara-suara kehidupan sehari-hari. Dalam puisi ini, penyair menyelami kegelisahan dan kecemasan dalam hati, yang terungkap melalui deskripsi halus dan penuh makna. Melalui penggunaan suara sebagai alat penyampaian perasaan, puisi ini menggambarkan keterhubungan antara individu dan lingkungan, serta pergulatan batin yang ada di dalam diri penyair.
Mendengarkan Suara-suara Kehidupan
Puisi ini dimulai dengan deskripsi tentang berbagai suara yang ada di sekitar penyair. "Kudengar suara embun jatuh di daun pisang, kudengar letup api dalam kompor di belakang, kudengar suara jantung berdetak begitu keras jauh di dada." Penggunaan suara dalam puisi ini berfungsi tidak hanya untuk menggambarkan suasana, tetapi juga untuk menunjukkan bagaimana penyair terhubung dengan dunia di sekitarnya. Setiap suara—baik itu embun yang jatuh, api yang menyala, atau detak jantung—menjadi simbol dari perasaan yang muncul di dalam diri penyair. Suara-suara tersebut menciptakan suasana yang intens, seolah-olah menggambarkan bagaimana dunia luar dan dunia batin saling berinteraksi.
Suara detak jantung yang keras dalam dada adalah gambaran dari kecemasan dan kegelisahan yang semakin menguat dalam hati. Dengan menggunakan suara sebagai medium, penyair mampu menggambarkan ketegangan batin yang dialaminya secara lebih mendalam, mengajak pembaca untuk merasakan kegelisahan yang melanda.
Perasaan Kecemasan yang Membesar
Salah satu tema utama dalam puisi ini adalah rasa kecemasan yang semakin membesar. Penyair menyatakan, "Aku khawatirkan semakin jauh saja membawa tik tak kian lemah bagai langkah kuda lari ke sana dan anjing pemburu yang tinggal menghadangku degan gigi-giginya." Di sini, penyair menggambarkan perasaan takut dan gelisah dengan membandingkan detak waktu (tik tak) yang semakin melemah dengan langkah kuda yang semakin menjauh. Perasaan terjebak dan terkejar oleh sesuatu yang tidak bisa dihentikan, seperti anjing pemburu yang mengintai, menambah ketegangan dalam puisi ini.
Perasaan cemas ini menggambarkan ketidakberdayaan penyair terhadap waktu dan situasi yang menekan. Metafora "gigi-gigi anjing" juga menunjukkan ancaman atau ketakutan yang terus mengintai, seolah-olah kecemasan itu bisa menggigit dan merusak ketenangan jiwa.
Menghadapi Kegelapan Batin
Penyair tidak hanya merasakan ketakutan fisik, tetapi juga pergulatan batin yang mendalam. "Bisa jadi agar nyaliku jadi kecil dan mengoyak-ngoyak tubuh sendiri dengan rakus yang dalam." Di sini, kecemasan dan ketakutan menjadi begitu kuat sehingga bisa merusak diri sendiri. Kalimat ini menggambarkan bagaimana perasaan batin yang tidak terkontrol dapat menghancurkan kepercayaan diri, membuat seseorang merasa terjebak dalam kehampaan dan keputusasaan.
Penyair menggambarkan rasa takut yang sangat dalam, hingga menyebabkan seseorang merasa terpecah dan saling mengoyak dirinya. Perasaan ini seolah menunjukkan betapa rapuhnya jiwa yang dilanda kegelisahan yang tidak bisa lagi dikendalikan.
Empati Terhadap Orang Lain
Namun, meskipun hati penyair sedang dilanda kegelisahan, ia berusaha untuk membagikan perasaannya kepada orang-orang di sekitarnya. "Dengan demikian bisa kubagikan hatiku pada mereka semuanya: anak-anak kecil yang tidur di jembatan penyeberangan, orang tua yang sedang minum es di pinggir jalan, anak-anak di rumah mereka sendiri main kapal-kapalan, bapak-bapak tua teranggung-angguk di kursi goyang atau perempuan-perempuan tidak bernama yang bergantung di bis kota." Dalam bagian ini, penyair berusaha untuk merasakan dan berbagi dengan orang-orang yang hidup di sekitar kehidupannya, terutama mereka yang hidup dalam ketidakpastian dan kesulitan.
Penyair menggambarkan berbagai gambaran orang yang terpinggirkan, baik itu anak-anak di jalanan, orang tua yang kesepian, atau perempuan-perempuan yang terabaikan. Semua ini menunjukkan bagaimana perasaan batin yang gelisah bisa saling berhubungan dengan pengalaman orang lain, yang juga berada dalam kesendirian dan kesusahan. Penyair seolah ingin menyatakan bahwa meskipun ia dilanda kegelisahan, ada pula perasaan empati dan solidaritas terhadap orang lain yang juga menghadapi kesulitan dalam hidup mereka.
Kehilangan dan Penerimaan
Pada akhirnya, puisi ini mengarah pada kesimpulan yang lebih gelap, dengan gambaran hati yang dilemparkan ke luar jendela dan jatuh di pinggir kali, "bagai tai sapi." Gambarannya yang suram ini menunjukkan bagaimana hati yang sudah terhimpit kegelisahan bisa berakhir dalam kehampaan dan ketidakberdayaan. "Tai sapi" di sini berfungsi sebagai simbol dari sesuatu yang tidak dihargai atau terbuang begitu saja, yang menunjukkan perasaan kehilangan dan kerendahan diri penyair.
Namun, gambarannya juga bisa diartikan sebagai bentuk penerimaan terhadap nasib, bahwa segala perasaan batin yang kuat dan mengganggu pada akhirnya akan terbuang begitu saja, menjadi bagian dari kehidupan yang lebih besar, yang tidak bisa dihindari.
Puisi "Lagu Hati yang Gelisah" karya Adri Darmadji Woko adalah sebuah perjalanan batin yang penuh dengan kegelisahan, kecemasan, dan perasaan takut yang mendalam. Melalui deskripsi suara dan metafora yang kuat, penyair mampu menggambarkan pergulatan batin yang dialaminya. Puisi ini juga mengajak pembaca untuk merasakan empati terhadap orang lain yang juga hidup dalam kesulitan, sekaligus mengingatkan kita tentang keterhubungan antara diri kita dengan dunia luar.
Adri Darmadji Woko berhasil membawa pembaca untuk meresapi kegelisahan dan ketakutan dalam diri seorang individu, tetapi juga mengajak kita untuk tidak melupakan orang-orang yang hidup di sekitar kita—yang juga mungkin merasakan hal yang sama. Puisi ini menonjolkan tema-tema kesendirian, ketakutan, dan empati, yang menghubungkan kehidupan individu dengan kehidupan sosial yang lebih luas.
Karya: Adri Darmadji Woko
Biodata Adri Darmadji Woko:
- Adri Darmadji Woko lahir pada tanggal 28 Juni 1951 di Yogyakarta.