Puisi: Kwatrin Bunga (Karya Gunoto Saparie)

Puisi "Kwatrin Bunga" karya Gunoto Saparie menggambarkan keindahan bunga-bunga di taman yang basah dan berembun, dengan sentuhan matahari pagi yang ..
Kwatrin Bunga

bunga-bunga di taman basah berembun
berkilau oleh lembut matahari pagi
mengapakah kau ingin bergegas pergi
berkemas menyambut guguran dedaunan

2021

Analisis Puisi:

Puisi "Kwatrin Bunga" karya Gunoto Saparie mengajak pembaca untuk merenung melalui gambaran alam yang sederhana namun sarat makna. Dalam puisi ini, Saparie menggambarkan keindahan bunga-bunga di taman yang basah dan berembun, dengan sentuhan matahari pagi yang lembut. Namun, ada sebuah pertanyaan yang mengundang perenungan mendalam: mengapa bunga-bunga yang indah tersebut harus segera pergi dan menyambut guguran dedaunan? Pertanyaan ini, meskipun terkesan ringan, menyentuh tema kehidupan, perubahan, dan ketidakabadian yang selalu menghampiri segala yang indah.

Gambaran Alam yang Indah dan Penuh Makna

Puisi ini dimulai dengan deskripsi yang sangat visual tentang bunga-bunga di taman yang basah dan berembun. Penggunaan kata-kata seperti "berkilau" dan "lembut" menggambarkan suasana pagi yang damai, penuh dengan keindahan alam yang penuh kehidupan. Bunga-bunga tersebut terlihat dalam kondisi segar, dilatari oleh sinar matahari pagi yang memberikan kesan lembut dan menyejukkan. Alam menjadi objek yang tidak hanya indah untuk dilihat, tetapi juga memberi perasaan damai dan penuh kedamaian.

Namun, di balik keindahan itu, ada sebuah kenyataan yang tidak bisa dihindari: perubahan yang tak terelakkan. Bunga-bunga yang sedang mekar dan bercahaya ini akan segera mengalami proses pergantian, yang menjadi pusat dari tema puisi ini. Puisi ini tidak hanya menggambarkan keindahan alam, tetapi juga menyampaikan makna mendalam tentang perjalanan waktu dan takdir yang ada dalam kehidupan.

Pertanyaan yang Menggugah: Perubahan dan Ketidakabadian

"Mengapakah kau ingin bergegas pergi / berkemas menyambut guguran dedaunan?" adalah pertanyaan utama dalam puisi ini. Puisi ini menggambarkan bunga yang sedang menikmati keindahan pagi, namun segera menyadari bahwa kehidupan ini bersifat sementara. Proses alam yang melibatkan guguran daun adalah simbol dari perputaran waktu yang terus berlangsung, dan bunga-bunga yang indah itu, yang kini bersinar dalam sinar matahari pagi, akan segera menghadap pada kenyataan gugurnya dedaunan. Hal ini menggambarkan kenyataan bahwa segala sesuatu, termasuk keindahan, akan berubah dan berakhir.

Pertanyaan yang diajukan dalam puisi ini mengundang refleksi tentang bagaimana kita, sebagai manusia, sering kali bergegas dalam menjalani hidup. Kita sering kali terlambat menghargai keindahan yang ada di sekitar kita karena terlalu sibuk dengan perencanaan masa depan atau takut akan perubahan yang datang. Bunga-bunga dalam puisi ini, meskipun indah, tak terelakkan akan menghadapi guguran dedaunan, sebuah simbol dari perubahan yang pasti akan datang, dan mungkin tidak bisa dihindari.

Metafora Alam sebagai Cermin Kehidupan

Gunoto Saparie menggunakan metafora alam untuk menggambarkan perjalanan kehidupan manusia. Bunga yang sedang mekar dengan anggun dapat dianggap sebagai simbol dari fase-fase indah dalam hidup kita, yang mungkin tidak berlangsung selamanya. Seiring berjalannya waktu, segala sesuatu akan mengalami perubahan, dan kita harus siap untuk menerima kenyataan bahwa keindahan dan kehidupan yang kita nikmati kini, mungkin akan segera berakhir, digantikan oleh fase berikutnya. Guguran dedaunan dalam puisi ini adalah gambaran dari perubahan yang terjadi dalam kehidupan, baik itu dalam bentuk transisi, kehilangan, atau pergantian yang kita alami dalam perjalanan hidup kita.

Selain itu, puisi ini juga mengingatkan kita tentang pentingnya menghargai setiap momen dalam kehidupan kita. Taman yang basah oleh embun dan sinar matahari yang lembut mengajarkan kita untuk menikmati setiap detik, karena keindahan dan kedamaian itu bersifat sementara. Seperti bunga yang harus menghadapi guguran dedaunan, kita juga akan menghadapi fase-fase kehidupan yang penuh dengan perubahan.

Keindahan Puisi yang Sederhana namun Penuh Makna

Meskipun puisi "Kwatrin Bunga" memiliki bentuk yang sederhana dan terdiri hanya dari empat baris, makna yang terkandung di dalamnya sangat dalam dan luas. Penggunaan bahasa yang puitis dan deskriptif berhasil membangkitkan gambaran visual yang kuat tentang alam yang indah, sekaligus memperkenalkan tema universal tentang perubahan dan ketidakabadian. Dengan cara yang halus, puisi ini mengajak pembaca untuk merenung, mengingatkan kita akan pentingnya menghargai waktu, dan menerima kenyataan bahwa setiap fase dalam hidup kita datang dan pergi sesuai dengan alur alam semesta.

Puisi "Kwatrin Bunga" karya Gunoto Saparie adalah karya sastra yang sederhana namun penuh makna. Dalam gambaran bunga-bunga yang basah oleh embun dan cahaya matahari pagi, kita diajak untuk merenung tentang perubahan, ketidakabadian, dan bagaimana kita seharusnya menghargai setiap momen yang kita jalani. Melalui pertanyaan yang dilontarkan dalam puisi ini, kita diajak untuk berpikir lebih dalam tentang kehidupan kita, perjalanan waktu, dan pentingnya menikmati keindahan yang ada tanpa terburu-buru. Seperti bunga yang pada akhirnya harus menyambut guguran dedaunan, kita juga harus siap menghadapi perubahan dalam kehidupan ini, dengan penuh penerimaan dan kesadaran bahwa setiap fase kehidupan memiliki keindahannya sendiri.

Gunoto Saparie
Puisi: Kwatrin Bunga
Karya: Gunoto Saparie


Biodata Gunoto Saparie:

Gunoto Saparie lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal yang ditempuh adalah Sekolah Dasar Negeri Kadilangu, Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Pertama Negeri Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Negeri Kendal, Akademi Uang dan Bank Yogyakarta, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Sedangkan pendidikan nonformal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab, Gemuh, Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab, Gemuh, Kendal.

Selain menulis puisi, ia juga mencipta cerita pendek, kritik sastra, esai, kolom, dan artikel tentang kesenian, ekonomi, politik, dan agama, yang dimuat di sejumlah media cetak terbitan Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Brunei Darussalam, Malaysia, Australia, dan Prancis. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), Mendung, Kabut, dan Lain-Lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019), dan Lirik (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2020).

Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004).

Novelnya Selamat Siang, Kekasih dimuat secara bersambung di Mingguan Bahari, Semarang (1978) dan Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019) yang menjadi nomine Penghargaan Prasidatama 2020 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.

Ia juga pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Sejumlah puisi, cerita pendek, dan esainya termuat dalam antologi bersama para penulis lain.

Puisinya juga masuk dalam buku Manuel D'Indonesien Volume I terbitan L'asiatheque, Paris, Prancis, Januari 2012. Ia juga menulis puisi berbahasa Jawa (geguritan) di Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Ia pernah menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta), Tanahku (Semarang), Delik Hukum Jateng (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang), Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Faktual (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Otobursa Plus (Semarang), dan Redaktur Legislatif (Jakarta). Kini ia masih aktif menjadi Redaktur Pelaksana Majalah Info Koperasi (Kendal), Majalah Justice News (Semarang), dan Majalah Opini Publik (Blora).

Saat ini Gunoto Saparie menjabat Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah, Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia ‘Satupena’ Jawa Tengah, dan Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Sebelumnya ia pernah menjabat Ketua Kelompok Studi Seni Remaja (KSSR) Kendal, Ketua Pelaksana Dewan Teater Kendal, Sekretaris Forum Komunikasi Studi Mahasiswa Kekaryaan (Fokusmaker) Jawa Tengah, Wakil Ketua Ormas MKGR Jawa Tengah, Fungsionaris DPD Partai Golkar Jawa Tengah, Sekretaris DPD Badan Informasi dan Kehumasan Partai Golkar Jawa Tengah, dan Sekretaris Bidang Kehumasan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah.

Sejumlah penghargaan di bidang sastra, kebudayaan, dan jurnalistik telah diterimanya, antara lain dari Kepala Perwakilan PBB di Jakarta dan Nairobi, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Penerangan, Menteri Luar Negeri, Menteri Lingkungan Hidup, Pangdam IV/ Diponegoro, dan Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah.
© Sepenuhnya. All rights reserved.