Analisis Puisi:
Puisi "Kwatrin buat HLS" karya Gunoto Saparie merupakan sebuah karya yang menciptakan ruang refleksi tentang pendidikan, tradisi, dan perjalanan kehidupan seorang santri. Dalam puisi ini, Saparie menggunakan simbol dan kata-kata yang sarat makna, menciptakan gambaran tentang kehidupan yang penuh kesederhanaan, namun kaya akan nilai-nilai kehidupan.
Pendidikan dan Tradisi dalam Puisi
Puisi ini dimulai dengan kalimat yang mengajak pembaca untuk memasuki dunia yang terbentuk melalui kata-kata:
"atas nama puisi kau sebut titik-titik penamu"
Frasa ini langsung mengarahkan perhatian pada peran penting kata-kata dalam hidup manusia. Titik-titik penamu menjadi simbol dari harapan dan impian yang dituliskan oleh penyair, dan dalam konteks puisi ini, titik-titik tersebut juga bisa diartikan sebagai jalan atau proses yang dilalui oleh santri dalam pencarian ilmu. Kata "atas nama puisi" sendiri mengingatkan kita bahwa puisi bukan hanya tentang bentuk atau estetika, tetapi tentang proses penyampaian makna yang mendalam.
Selanjutnya, Saparie mengungkapkan rangkaian abjad yang seolah mengajak pembaca untuk kembali ke masa-masa awal pendidikan:
"alif ba ta, alif ba ta, ba ta tsa, ba ta tsa"
Abjad-abjad ini, yang sangat erat kaitannya dengan pelajaran pertama dalam dunia pendidikan, mengingatkan kita pada tahap awal pembelajaran yang sederhana namun fundamental. Dengan mengulang-ulang abjad ini, penyair seolah ingin menegaskan bahwa pendidikan adalah sebuah proses yang terus-menerus, berulang, dan penuh kesabaran. Proses menghafal alif ba ta, sebagai bagian dari pendidikan tradisional, juga merupakan cerminan dari ketekunan dan kesederhanaan seorang santri yang menjalani kehidupan dengan penuh keteguhan hati.
Perjalanan Santri dalam Dunia yang Kecil namun Penuh Makna
Pada bagian selanjutnya, Saparie mengungkapkan gambaran kehidupan seorang santri yang sederhana namun penuh dengan pembelajaran yang mendalam:
"bersama kusnin asa aku mengaji sajak-sajakmu dunia kecil seorang santri di musala dekat rumahmu"
Dengan kalimat ini, Saparie menggambarkan kehidupan seorang santri yang penuh dengan pembelajaran dan pengajaran, baik yang berbentuk sajak-sajak yang dihafal maupun kehidupan sederhana yang dijalani. "Musala dekat rumahmu" menjadi simbol dari kedekatan kehidupan spiritual dan keseharian, tempat di mana seorang santri mengaji, beribadah, dan bertumbuh dalam nilai-nilai agama. Musala sebagai ruang kecil ini tidak hanya menjadi tempat berdoa, tetapi juga ruang di mana seorang santri menemukan makna dalam kehidupan yang sederhana.
Dalam konteks ini, "dunia kecil seorang santri" bisa dipahami sebagai gambaran dunia yang terbatas secara fisik, tetapi sangat luas dalam makna dan kedalaman pemahaman. Dunia seorang santri memang tidak banyak berkelana, namun setiap detil kecil dalam kehidupannya adalah bagian dari pembelajaran yang terus berkembang.
Simbolisme dalam "Kwatrin buat HLS"
Puisi ini menyentuh tema-tema yang sangat personal bagi pembaca yang akrab dengan tradisi pendidikan pesantren. Penggunaan simbol "alif ba ta" mengingatkan kita pada cara pengajaran tradisional yang masih berlangsung hingga sekarang, di mana nilai-nilai agama dan pendidikan dikaji secara mendalam sejak usia dini. Dengan menyebutkan "kusnin asa," Saparie juga memberi penghormatan terhadap proses pembelajaran yang penuh dengan kesederhanaan, di mana kata-kata dan sajak-sajak menjadi alat utama untuk mengajarkan makna dan pemahaman.
Keberadaan "musala dekat rumahmu" mempertegas peran penting tempat ibadah dalam membentuk karakter dan pemahaman spiritual seseorang. Musala bukan hanya sebagai tempat fisik, tetapi juga sebagai ruang spiritual yang kaya akan nilai-nilai kehidupan, tempat di mana seorang santri meresapi makna hidup.
Melalui puisi "Kwatrin buat HLS", Gunoto Saparie tidak hanya menggambarkan kehidupan seorang santri, tetapi juga menggali kedalaman makna yang terkandung dalam setiap kata dan proses pendidikan yang dijalani. Puisi ini menunjukkan bahwa kehidupan seorang santri, meskipun terlihat sederhana dan kecil, sesungguhnya penuh dengan makna dan pembelajaran yang akan terus berkembang sepanjang hidup.
Dengan memilih untuk mengangkat dunia pendidikan tradisional, Saparie memberi kita gambaran tentang betapa pentingnya tradisi, kata-kata, dan pembelajaran dalam membentuk identitas seseorang. Puisi "Kwatrin buat HLS" adalah pengingat bagi kita untuk tidak meremehkan setiap langkah kecil dalam pendidikan, karena dari situlah berbagai kebijaksanaan dan pemahaman hidup dapat tumbuh dan berkembang.
Karya: Gunoto Saparie
GUNOTO SAPARIE. Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal Sekolah Dasar Kadilangu Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, dan Akademi Uang dan Bank Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Pendidikan informal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab Gemuh Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab Gemuh Kendal.
Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).
Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004) dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).
Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004). Ia pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015).
Puisi-puisinya terhimpun dalam berbagai antologi bersama para penyair Indonesia lain, termasuk dalam Kidung Kelam (Seri Puisi Esai Indonesia - Provinsi Jawa Tengah, 2018).
Saat ini ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta) dan Tanahku (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang). Sempat pula bekerja di bidang pendidikan, konstruksi, dan perbankan. Aktif dalam berbagai organisasi, antara lain dipercaya sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah (FKWPK), Pengurus Yayasan Cinta Sastra, Jakarta, dan Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah. Sebelumnya sempat menjadi Wakil Ketua Seksi Budaya dan Film PWI Jawa Tengah dan Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Jawa Tengah. Sering diundang menjadi pembaca puisi, pemakalah, dan juri berbagai lomba sastra di Indonesia dan luar negeri.
Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004) dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).
Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004). Ia pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015).
Puisi-puisinya terhimpun dalam berbagai antologi bersama para penyair Indonesia lain, termasuk dalam Kidung Kelam (Seri Puisi Esai Indonesia - Provinsi Jawa Tengah, 2018).
Saat ini ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta) dan Tanahku (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang). Sempat pula bekerja di bidang pendidikan, konstruksi, dan perbankan. Aktif dalam berbagai organisasi, antara lain dipercaya sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah (FKWPK), Pengurus Yayasan Cinta Sastra, Jakarta, dan Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah. Sebelumnya sempat menjadi Wakil Ketua Seksi Budaya dan Film PWI Jawa Tengah dan Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Jawa Tengah. Sering diundang menjadi pembaca puisi, pemakalah, dan juri berbagai lomba sastra di Indonesia dan luar negeri.