Puisi: Kunang-Kunang (Karya Joko Pinurbo)

Puisi "Kunang-Kunang" mengajarkan kita tentang pentingnya kenangan dalam hidup kita. Kenangan bukan hanya sekadar ingatan masa lalu, tetapi juga ...
Kunang-Kunang

Ketika kecil ia sering diajak ayahnya bergadang
di bawah pohon cemara di atas bukit. Ayahnya
senang sekali menggendongnya menyeberangi sungai,
menyusuri jalan setapak berkelok-kelok dan menanjak.
Sampai di puncak, mereka membuat unggun api,
berdiang, menemani malam, menjaring sepi. Ia sangat
girang melihat kunang-kunang berpendaran.

"Kunang-kunang itu artinya apa, Yah?"
"Kunang-kunang itu artinya kenang-kenang."
Ia terbengong, tidak paham bahwa ayahnya sedang
mengajarinya bermain kata.

Bila ia sudah terkantuk-kantuk, si ayah segera
mengajaknya pulang, dan sebelum sampai di rumah,
ia sudah terlelap di gendongan. Ayahnya
menelentangkannya di atas amben, lalu menaruh
seekor kunang-kunang di atas keningnya.

Saat ia pamit pergi mengembara, ayahnya membekalinya
dengan sebutir kenang-kenang dalam botol.
"Pandanglah dengan mesra kenang-kenang ini saat kau
sedang gelap atau mati kata, maka kunang-kunang
akan datang memberimu cahaya."

Kini ayahnya sudah ringkih dan renta.
"Aku ingin ke bukit melihat kunang-kunang. Bisakah
kau mengantarku ke sana?" pintanya.

Malam-malam ia menggendong ayahnya menyusuri
jalan setapak menuju bukit.
"Apakah pohon cemara itu masih ada, Yah?"
tanyanya sambil terengah-engah.
"Masih. Kadang ia menanyakan kau dan kukatakan
saja: Oh, dia sudah jadi pemain kata."

"Nah, kita sudah sampai, Yah. Mari bikin unggun."
Si ayah tidak menyahut. Pelukannya semakin erat.
"Tunggu, Yah. Kunang-kunang sebentar lagi datang."
Si ayah tidak membalas. Tubuhnya tiba-tiba memberat.
Ia pun mengerti, si ayah tak akan bisa berkata-kata lagi.

Pelan-pelan ia lepaskan ayahnya dari gendongan.
Ketika ia baringkan jasadnya di bawah pohon cemara,
seribu kunang-kunang datang mengerubunginya,
seribu kenang-kenang bertaburan di atas tubuhnya.
"Selamat jalan, Yah. In paradisum deducant te angeli."

2010

Sumber: Baju Bulan (2013)

Analisis Puisi:

Puisi "Kunang-Kunang" karya Joko Pinurbo adalah karya yang menyentuh, menggambarkan perjalanan kehidupan seorang anak yang tumbuh dalam kasih sayang orang tua, lalu berhadapan dengan kenyataan kehilangan orang yang sangat dicintainya. Puisi ini dengan indah menggunakan simbolisme kunang-kunang untuk menggambarkan kenangan, cinta, dan harapan yang mengiringi perjalanan hidup. Melalui pilihan kata yang sederhana namun mendalam, Pinurbo membawa pembaca untuk merenungkan hubungan antara ayah dan anak, serta makna dari kenangan yang diwariskan antar generasi.

Simbolisme Kunang-Kunang: Kenang-Kenangan yang Tak Terlupakan

Kunang-kunang dalam puisi ini tidak hanya sekadar serangga yang bersinar di malam hari, tetapi juga menjadi simbol dari kenangan yang menerangi kehidupan. Sejak kecil, sang anak diajari oleh ayahnya untuk memaknai kunang-kunang sebagai "kenang-kenang," sebuah permainan kata yang mengandung makna dalam. Sebuah kenangan yang akan terus hidup meski waktu terus berjalan.

Pada malam hari, ketika ayah dan anak berada di bawah pohon cemara di atas bukit, kunang-kunang menjadi penanda bahwa meskipun malam itu sunyi dan sepi, ada cahaya yang datang untuk menghilangkan kegelapan. Cahaya kunang-kunang ini tidak hanya memberikan penerangan fisik, tetapi juga simbol dari kenangan yang akan tetap hidup di dalam hati, menerangi saat-saat gelap atau kehilangan.

Kenangan menjadi sesuatu yang abadi, tidak hanya sebagai ingatan masa lalu, tetapi juga sebagai sumber kekuatan di masa depan. Ketika sang anak mengembara dan menghadapi kesulitan, ayahnya memberikan sebutir "kenang-kenang" dalam botol sebagai bekal. Ini adalah warisan dari sang ayah, sebuah benda yang mengingatkan anaknya untuk selalu ingat akan cahaya yang diberikan oleh kenangan tersebut. Kunang-kunang, yang dulunya menjadi penuntun bagi sang anak di malam gelap, kini menjadi simbol dari semua kenangan yang akan selalu ada untuknya.

Perjalanan Ayah dan Anak: Cinta yang Menyertai Sepanjang Hidup

Puisi ini menggambarkan perjalanan emosional antara seorang ayah dan anak, dari masa kecil hingga usia tua. Ayah dalam puisi ini adalah sosok yang penuh kasih, yang mengajak anaknya melihat dunia dengan cara yang berbeda—melalui "permainan kata" yang sederhana namun penuh makna. Ketika anak itu masih kecil, ayahnya menggendongnya melewati sungai dan jalan setapak berkelok-kelok, memberi contoh tentang bagaimana hidup harus dijalani dengan penuh perhatian dan rasa cinta.

Namun, seiring berjalannya waktu, peran antara ayah dan anak berganti. Ketika sang ayah sudah tua dan renta, anaknya kini menggendongnya, membawanya kembali ke bukit untuk melihat kunang-kunang yang dulu mereka nikmati bersama. Ada ironi yang mendalam dalam perubahan peran ini—dulu ayah yang menggendong anaknya, kini anaklah yang menggendong ayahnya. Perubahan ini menggambarkan siklus kehidupan yang tak terhindarkan: masa muda yang penuh energi, digantikan oleh masa tua yang rapuh.

Kehilangan dan Kenangan yang Abadi

Puncak dari puisi ini adalah momen yang sangat emosional, yaitu ketika sang ayah akhirnya meninggal dunia. Setelah membawa ayahnya ke bukit dan berharap kunang-kunang akan datang, sang anak akhirnya menyadari bahwa ayahnya tidak akan bisa berkata-kata lagi. Ini adalah momen yang penuh dengan kesedihan, namun juga dengan penerimaan. Kehilangan orang yang kita cintai adalah bagian dari perjalanan hidup yang tidak bisa dihindari, tetapi kenangan yang ditinggalkan akan tetap hidup.

Ketika sang anak melepaskan ayahnya dari gendongan dan membaringkannya di bawah pohon cemara, seribu kunang-kunang datang mengerubungi tubuh sang ayah. Di sini, kunang-kunang kembali muncul, kali ini sebagai simbol dari kenangan yang bertaburan di atas tubuh sang ayah, yang kini sudah tak bernyawa. Seribu kunang-kunang ini menggambarkan betapa besar kenangan yang ditinggalkan oleh sang ayah—kenangan yang akan terus menyinari hidup sang anak, meskipun sang ayah telah pergi.

Di bagian akhir puisi, sang anak mengucapkan doa kepada ayahnya, "In paradisum deducant te angeli," yang berarti "Semoga malaikat membimbingmu menuju surga." Ini adalah doa penuh harapan dan cinta, sebagai pengingat bahwa meskipun ayahnya telah meninggalkan dunia ini, kenangannya akan tetap hidup, dan ia akan selalu dihormati dalam ingatan dan hati sang anak.

Menggali Makna Puisi dalam Kehidupan Sehari-hari

Puisi "Kunang-Kunang" mengajarkan kita tentang pentingnya kenangan dalam hidup kita. Kenangan bukan hanya sekadar ingatan masa lalu, tetapi juga sumber kekuatan dan penerangan yang membantu kita melalui masa-masa sulit. Sama seperti kunang-kunang yang memberikan cahaya di malam hari, kenangan yang kita miliki dapat menjadi penerang ketika kita merasa kehilangan arah.

Selain itu, puisi ini juga menyentuh tema tentang peran orang tua dalam kehidupan anak-anak mereka. Ayah dalam puisi ini bukan hanya sekadar memberi perlindungan fisik, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang akan terus dikenang. Ketika kita semakin dewasa, kita mungkin harus berperan sebagai pengganti orang tua kita yang sudah tua dan renta, namun cinta dan kenangan yang ditinggalkan oleh mereka tetap akan ada, memberikan cahaya dalam hidup kita.

Puisi "Kunang-Kunang" adalah sebuah puisi yang menggugah perasaan, menyentuh inti dari hubungan antara orang tua dan anak, serta menggambarkan bagaimana kenangan dan cinta dapat bertahan meskipun waktu terus berlalu. Dengan menggunakan simbolisme yang kuat, Joko Pinurbo berhasil menciptakan sebuah karya yang menggambarkan perjalanan hidup yang penuh dengan keindahan, tantangan, dan, akhirnya, kehilangan. Namun, meskipun kehilangan itu nyata, kenangan yang ditinggalkan akan terus hidup dan memberi cahaya bagi mereka yang ditinggalkan.

"Puisi: Kunang-Kunang (Karya Joko Pinurbo)"
Puisi: Kunang-Kunang
Karya: Joko Pinurbo

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.