Puisi: Kubur (Karya Gunoto Saparie)

Puisi "Kubur" karya Gunoto Saparie menggambarkan rasa kehilangan mendalam, kesepian, dan kerinduan terhadap seseorang yang telah tiada.
Kubur

di dalam kesunyian kubur
kau pasti lelap tertidur
memeluk tanah air
sampai batas terakhir

aku pun terkenang padamu
ketika melalui hari-hari risau
namun kini aku tak bisa menggapaimu
tak dapat, sayang, aku menyentuhmu

di dalam kelengangan kubur
kau pasti damai terbujur
di dalam kesepian kubur
sia-sia kasih ini, tangan ini, terulur…

2021

Analisis Puisi:

Puisi "Kubur" karya Gunoto Saparie adalah karya sastra yang menggambarkan rasa kehilangan mendalam, kesepian, dan kerinduan terhadap seseorang yang telah tiada. Dengan bahasa yang sederhana namun penuh emosi, puisi ini mengajak pembaca merenungkan tentang kematian, kenangan, dan keterbatasan manusia dalam menghadapi perpisahan.

Kesunyian Kubur: Metafora Kehidupan Setelah Mati

Baris pembuka puisi ini memperkenalkan suasana kesunyian kubur:

"Di dalam kesunyian kubur
Kau pasti lelap tertidur
Memeluk tanah air
Sampai batas terakhir."

Kubur di sini menjadi simbol akhir kehidupan, tempat di mana seseorang beristirahat dengan tenang. Frasa "lelap tertidur" menggambarkan keadaan damai setelah kehidupan yang penuh dengan gejolak. Ungkapan "memeluk tanah air" memiliki makna mendalam, yaitu pengembalian tubuh manusia kepada tanah yang melahirkannya.

Frasa "sampai batas terakhir" menegaskan finalitas kematian sebagai akhir dari perjalanan manusia. Dengan kesederhanaannya, bait ini menciptakan suasana reflektif dan mendorong pembaca untuk merenungkan makna kehidupan dan kematian.

Kerinduan yang Tak Terjangkau

Pada bait kedua, penyair mengungkapkan perasaan kehilangan dan kerinduan:

"Aku pun terkenang padamu
Ketika melalui hari-hari risau
Namun kini aku tak bisa menggapaimu
Tak dapat, sayang, aku menyentuhmu."

Puisi ini menggambarkan bagaimana kenangan menjadi jembatan antara yang hidup dan yang telah tiada. Namun, kenangan tersebut juga menjadi sumber kesedihan, karena meskipun kenangan dapat membawa seseorang kembali dalam ingatan, ia tidak dapat menghapus batas antara hidup dan mati.

Ungkapan "tak bisa menggapaimu" dan "tak dapat, sayang, aku menyentuhmu" menunjukkan keterbatasan manusia dalam mengatasi perpisahan yang bersifat permanen. Perasaan ini mencerminkan kerinduan yang begitu mendalam, tetapi juga ketidakberdayaan yang menyakitkan.

Kelengangan dan Kesepian: Simbol Kehilangan yang Tak Terobati

Bait ketiga dan keempat semakin menekankan suasana kesepian yang dirasakan oleh penyair:

"Di dalam kelengangan kubur
Kau pasti damai terbujur
Di dalam kesepian kubur
Sia-sia kasih ini, tangan ini, terulur…"

Frasa "kelengangan kubur" dan "kesepian kubur" menggambarkan suasana hening yang mencekam, tempat di mana tidak ada lagi suara atau kehadiran. Bagi penyair, meskipun ia percaya bahwa yang telah pergi berada dalam kedamaian, ia tetap merasakan kehampaan yang tidak bisa diisi.

Ungkapan "sia-sia kasih ini, tangan ini, terulur…" mencerminkan upaya yang tak berarti untuk menjangkau yang sudah tiada. Ini menggambarkan perasaan tidak berdaya yang universal, dialami oleh siapa saja yang kehilangan orang yang dicintai.

Makna Simbolis dalam Puisi "Kubur"

Puisi ini tidak hanya berbicara tentang kematian secara harfiah, tetapi juga dapat dimaknai sebagai refleksi tentang perpisahan, baik yang bersifat fisik maupun emosional. Beberapa simbol utama dalam puisi ini antara lain:
  1. Kubur: Melambangkan akhir dari perjalanan manusia dan batas antara dunia yang hidup dan yang mati.
  2. Tanah Air: Mengingatkan pembaca akan hubungan manusia dengan tanah kelahirannya, dan bagaimana tubuh manusia akhirnya kembali ke alam.
  3. Kenangan: Menjadi satu-satunya hal yang menghubungkan antara yang hidup dengan yang telah pergi, meskipun tidak cukup untuk menghapus kesedihan.
  4. Tangan yang Terulur: Melambangkan usaha manusia untuk melawan keterbatasan dan kerinduannya yang mendalam, meskipun pada akhirnya usaha itu sia-sia.

Pesan Emosional dan Religius

Puisi "Kubur" juga dapat dimaknai sebagai refleksi spiritual. Kesadaran bahwa yang telah tiada berada dalam "damai" dan "lelap tertidur" dapat memberikan penghiburan bagi yang masih hidup. Ada nada penerimaan yang tersirat dalam puisi ini, meskipun rasa kehilangan tetap terasa begitu kuat.

Namun, pesan emosionalnya tetap mendominasi. Puisi ini menggambarkan betapa dalamnya luka yang ditinggalkan oleh kematian seseorang yang dicintai, dan bagaimana kenangan, meskipun berharga, tidak cukup untuk menggantikan kehadiran fisik orang tersebut.

Relevansi Puisi "Kubur" dengan Kehidupan Modern

Puisi ini relevan dengan pengalaman universal manusia dalam menghadapi kehilangan. Di era modern, di mana banyak orang sibuk dengan kehidupan sehari-hari, momen kehilangan sering kali menjadi pengingat akan pentingnya menghargai waktu dan hubungan dengan orang yang dicintai.

Puisi ini juga mengingatkan kita bahwa kematian adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan, dan meskipun menyakitkan, itu adalah sesuatu yang harus diterima dengan lapang dada.

Puisi "Kubur" karya Gunoto Saparie adalah puisi yang sederhana namun penuh makna. Dengan bahasa yang lugas, puisi ini berhasil menggambarkan perasaan kehilangan, kerinduan, dan kesepian yang dirasakan oleh seseorang yang ditinggalkan oleh orang terkasih.

Puisi ini tidak hanya menyentuh sisi emosional pembaca tetapi juga mengajak untuk merenungkan makna kehidupan, kematian, dan hubungan manusia dengan sesama. Melalui puisi ini, Gunoto mengingatkan kita bahwa meskipun kehilangan adalah bagian dari hidup, kenangan dan kasih sayang yang kita miliki tetap menjadi warisan yang abadi.

Gunoto Saparie
Puisi: Kubur
Karya: Gunoto Saparie

BIODATA GUNOTO SAPARIE

Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal yang ditempuh adalah Sekolah Dasar Kadilangu, Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, Akademi Uang dan Bank Yogyakarta, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Sedangkan pendidikan nonformal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab, Gemuh, Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab, Gemuh, Kendal.

Selain menulis puisi, ia juga mencipta cerita pendek, kritik sastra, esai, dan kolom, yang dimuat di sejumlah media cetak terbitan Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Brunei Darussalam, Malaysia, Australia, dan Prancis. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019). Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004). Novelnya Selamat Siang, Kekasih dimuat secara bersambung di Mingguan Bahari, Semarang (1978) dan Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019) yang menjadi nomine Penghargaan Prasidatama 2020 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.

Ia juga pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Sejumlah puisi, cerita pendek, dan esainya termuat dalam antologi bersama para penulis lain. Puisinya juga masuk dalam buku Manuel D'Indonesien Volume I terbitan L'asiatheque, Paris, Prancis, Januari 2012. Ia juga menulis puisi berbahasa Jawa (geguritan) di Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta), Tanahku (Semarang), Delik Hukum Jateng (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang), Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Faktual (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Otobursa Plus (Semarang), dan Redaktur Legislatif (Jakarta).

Saat ini ia menjabat Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah, dan Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Sebelumnya ia pernah menjabat Ketua Kelompok Studi Seni Remaja (KSSR) Kendal, Ketua Pelaksana Dewan Teater Kendal, Sekretaris Forum Komunikasi Studi Mahasiswa Kekaryaan (Fokusmaker) Jawa Tengah, Wakil Ketua Ormas MKGR Jawa Tengah, Fungsionaris DPD Partai Golkar Jawa Tengah, Sekretaris DPD Badan Informasi dan Kehumasan Partai Golkar Jawa Tengah, dan Sekretaris Bidang Kehumasan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah. 

Sejumlah penghargaan di bidang sastra, kebudayaan, dan jurnalistik telah diterimanya, antara lain dari Kepala Perwakilan PBB di Indonesia, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Penerangan, Menteri Luar Negeri, Pangdam IV/ Diponegoro, dan Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.