Puisi: Kereta Kelas Kambing (Karya Saraswati Sunindyo)

Puisi "Kereta Kelas Kambing" karya Saraswati Sunindyo merupakan sebuah kritik tajam terhadap ketidakadilan sosial yang terjadi dalam kehidupan ...
Kereta Kelas Kambing

Penuh tak penuh — selalu penuh
di pintu masuk orang berdesakan
penumpang bukan penumpang berjejal-jejal
panas — macet
laki-laki terhimpit
perempuan terhimpit
anak-anak terinjak-injak
kepala terbentur dinding besi
badan terbungkuk kiri-kanan depan-belakang
tangan terjepit
kaki terinjak-injak
perempuan berteriak-teriak
laki-laki berteriak-teriak
anak-anak diam ketakutan
atau menangis menjerit-jerit

Loket ada dua
jual karcis dan jual tempat duduk
orang lari dari loket ke loket
walau tempat duduk sudah lama terjual habis
loket karcis tetap terbuka lebar
orang lari
orang berjubal
duduk tak duduk soal nanti

Kereta kelas kambing
paling padat
paling murah
semua berebut naik
semua panik
semua mau duduk
semua cari bangku kosong
orang naik turun dari gerbong ke gerbong
orang bingung harus naik gerbong yang mana
rombongan pencopetpun ikut bersama mereka
laki-laki terhimpit
perempuan terhimpit
anak-anak terinjak-injak
perempuan berteriak-teriak
laki-laki berteriak-teriak
anak-anak diam ketakutan
atau menangis menjerit-jerit
tangan para pencopetpun menari-nari
mumpung orang orang lagi panik

Ini kereta kelas kambing
yang punya hak duduk — bertahan karna haknya
yang tak punya hak — bertahan karna ingin duduk
Jakarta — Jogya bukan jarak dekat
siapa mau berdiri selama sepuluh jam
yang punya hak bisa duduk — kalau tahu haknya
yang tak punya hak — bisa duduk asal nekad dan tega
dan yang punya tempat duduk — bisa berdiri
kalau tak tahu haknya dan tak berani
Maka seorang lelaki mengaku guru sekolah
mengusir perempuan muda dengan anaknya
tuk berdiri
padahal sama-sama tak punya hak
dan si empunya bangku sudah lama diusir
menyerah — duduk di lantai
Kereta berangkat
Pak guru tersenyum di bangku yang didudukinya
katanya:
        "ini kereta kelas kambing
        kalau tak mau berebut
        naik saja kelas utama!"

Ini kereta kelas kambing
kambing memang bisa saling sepak
kalau lapangan rumput makin sempit
kambing memang bisa saling adu kepala
kalau diadu untuk perjudian
maka semua orang
terdesak
terhimpit
terinjak
laki-laki berteriak-teriak
perempuan berteriak-teriak
anak-anak diam ketakutan
atau menangis menjerit-jerit

Tak ada yang sempat bertanya
mengapa ada nama kelas kambing
mengapa ada kelas kambing

Sementara keesokan malamnya
di layar televisi
kebiasaan adu kambing
dilestarikan dalam upacara adat
dan dipertontonkan
sebagai
obyek
wisata

Jakarta, Juli 1988

Sumber: Horison (Februari, 1989)

Analisis Puisi:

Puisi "Kereta Kelas Kambing" karya Saraswati Sunindyo adalah sebuah karya sastra yang menggambarkan pengalaman penuh sesak dalam kehidupan masyarakat urban, terutama dalam sistem transportasi publik. Dengan penggunaan bahasa yang keras dan penuh ironi, Sunindyo menggambarkan kereta kelas ekonomi yang penuh sesak sebagai simbol ketidakadilan, ketimpangan sosial, dan perjuangan hidup dalam masyarakat. Puisi ini tidak hanya menyoroti kondisi fisik yang sempit dan kacau, tetapi juga mengungkapkan ketidaksetaraan dalam hak-hak sosial, menciptakan gambaran yang penuh konflik, kekerasan, dan kekacauan.

Penuh Sesak, Penuh Kepedihan: Gambaran Keras tentang Kereta Kelas Kambing

Puisi ini diawali dengan deskripsi situasi yang penuh dengan sesak, panik, dan kebingungan. "Penuh tak penuh — selalu penuh" mengacu pada keadaan kereta yang selalu dipenuhi penumpang, menggambarkan realitas transportasi umum yang tidak pernah kosong. Penumpang berdesakan di pintu masuk, laki-laki dan perempuan terhimpit, anak-anak terinjak-injak, hingga tubuh mereka terbungkuk, saling berdesak-desakan dalam ruang yang sempit. Ini menciptakan gambaran tentang kekacauan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat yang hidup di perkotaan.

Saraswati Sunindyo memanfaatkan kesesakan ini untuk menggambarkan tidak hanya ketidaknyamanan fisik, tetapi juga ketidakadilan sosial yang lebih mendalam. Kondisi ini menunjukkan bahwa kereta kelas ekonomi atau “kereta kelas kambing” adalah tempat di mana berbagai lapisan masyarakat yang miskin dan terpinggirkan harus berjuang untuk bertahan hidup dan mendapatkan tempat yang layak.

Kerebutan dan Ketimpangan Sosial

Kereta kelas kambing menjadi simbol dari sistem yang tidak adil. Dalam puisi ini, terdapat perbedaan yang jelas antara yang memiliki hak untuk duduk dan yang tidak. "Yang punya hak duduk — bertahan karna haknya" dan "yang tak punya hak — bertahan karna ingin duduk" memperlihatkan ketimpangan hak dalam masyarakat. Beberapa orang merasa berhak duduk karena status atau posisi mereka, sementara yang lain, meskipun tidak memiliki hak, berusaha untuk mendapatkan tempat dengan cara yang lebih kuat atau lebih nekad.

Gambaran tentang seorang lelaki yang mengaku guru sekolah dan mengusir seorang perempuan muda dengan anaknya untuk duduk di tempat yang bukan haknya, menambah ketegangan sosial dalam puisi ini. Ini menggambarkan bagaimana status sosial dan kekuasaan digunakan untuk menekan yang lebih lemah, meskipun dalam kenyataan, mereka sama-sama tidak memiliki hak yang sah atas kursi tersebut.

Kereta Kelas Kambing sebagai Metafora Ketidakadilan Sosial

Kereta yang sempit, penuh sesak, dan kacau ini menjadi metafora bagi ketidakadilan sosial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Kereta kelas kambing adalah tempat di mana semua orang harus berebut, terhimpit, dan terinjak-injak, baik secara fisik maupun secara sosial. Gambaran tentang perempuan yang berteriak, anak-anak yang ketakutan, dan laki-laki yang terhimpit menggambarkan ketidakberdayaan mereka dalam sistem yang menindas.

Selain itu, penggambaran kambing yang saling sepak dan adu kepala juga memberikan gambaran kekerasan dalam perjuangan hidup. Seperti kambing yang saling berkelahi karena terbatasnya ruang, manusia juga harus saling berebut tempat dan posisi, bahkan jika itu berarti menggunakan kekuatan atau penindasan terhadap orang lain. Di satu sisi, ini menggambarkan bagaimana perjuangan hidup yang keras dan penuh tekanan dapat membuat orang menjadi lebih agresif dan tidak peduli terhadap orang lain.

Pertanyaan tentang "Kelas Kambing" dan Ketidakpedulian terhadap Kehidupan Manusia

Puisi ini tidak hanya mencerminkan kekacauan fisik di dalam kereta, tetapi juga menyoroti kebiasaan masyarakat yang tidak peduli terhadap ketidakadilan yang terjadi. "Tak ada yang sempat bertanya mengapa ada nama kelas kambing, mengapa ada kelas kambing" adalah sebuah kritik terhadap apatisme sosial. Tidak ada yang peduli tentang mengapa kereta ini disebut kelas kambing, atau mengapa ada pembagian kelas yang menyebabkan ketimpangan dan kekacauan. Hal ini menunjukkan bagaimana masyarakat sering kali menerima ketidakadilan sebagai sesuatu yang sudah menjadi bagian dari kehidupan, tanpa bertanya atau berusaha untuk memperbaikinya.

Kritik ini semakin diperparah dengan gambaran bahwa keesokan malamnya, kebiasaan adu kambing yang penuh kekerasan dan eksploitasi dipertontonkan sebagai "obyek wisata" di layar televisi. Ironinya, kekerasan yang terjadi di dalam kereta dan dalam kehidupan sehari-hari dijadikan tontonan, bahkan sebagai hiburan yang dianggap biasa. Puisi ini menggambarkan bahwa ketidakpedulian terhadap penderitaan manusia sering kali diperparah oleh media yang memanfaatkan kekerasan dan ketimpangan sosial sebagai bentuk hiburan.

Puisi "Kereta Kelas Kambing" karya Saraswati Sunindyo merupakan sebuah kritik tajam terhadap ketidakadilan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat perkotaan. Dengan menggambarkan kondisi sesak dan penuh sesak dalam kereta kelas ekonomi, Sunindyo menunjukkan betapa kerasnya perjuangan hidup dalam ketidaksetaraan, di mana yang lemah dan terpinggirkan harus bertahan hidup dengan cara yang sering kali tidak adil. Puisi ini juga mengajak pembaca untuk merenung tentang ketidakpedulian sosial yang mengakar dalam masyarakat, yang sering kali menerima ketidakadilan dan kekerasan sebagai hal yang wajar.

Saraswati Sunindyo
Puisi: Kereta Kelas Kambing
Karya: Saraswati Sunindyo

Biodata Saraswati Sunindyo:
  • Saraswati Sunindyo lahir pada tanggal 4 Mei 1954 di Madiun, Jawa Timur, Indonesia
© Sepenuhnya. All rights reserved.