Analisis Puisi:
Puisi "Kereta Kelas Kambing" karya Saraswati Sunindyo adalah sebuah karya sastra yang menggambarkan pengalaman penuh sesak dalam kehidupan masyarakat urban, terutama dalam sistem transportasi publik. Dengan penggunaan bahasa yang keras dan penuh ironi, Sunindyo menggambarkan kereta kelas ekonomi yang penuh sesak sebagai simbol ketidakadilan, ketimpangan sosial, dan perjuangan hidup dalam masyarakat. Puisi ini tidak hanya menyoroti kondisi fisik yang sempit dan kacau, tetapi juga mengungkapkan ketidaksetaraan dalam hak-hak sosial, menciptakan gambaran yang penuh konflik, kekerasan, dan kekacauan.
Penuh Sesak, Penuh Kepedihan: Gambaran Keras tentang Kereta Kelas Kambing
Puisi ini diawali dengan deskripsi situasi yang penuh dengan sesak, panik, dan kebingungan. "Penuh tak penuh — selalu penuh" mengacu pada keadaan kereta yang selalu dipenuhi penumpang, menggambarkan realitas transportasi umum yang tidak pernah kosong. Penumpang berdesakan di pintu masuk, laki-laki dan perempuan terhimpit, anak-anak terinjak-injak, hingga tubuh mereka terbungkuk, saling berdesak-desakan dalam ruang yang sempit. Ini menciptakan gambaran tentang kekacauan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat yang hidup di perkotaan.
Saraswati Sunindyo memanfaatkan kesesakan ini untuk menggambarkan tidak hanya ketidaknyamanan fisik, tetapi juga ketidakadilan sosial yang lebih mendalam. Kondisi ini menunjukkan bahwa kereta kelas ekonomi atau “kereta kelas kambing” adalah tempat di mana berbagai lapisan masyarakat yang miskin dan terpinggirkan harus berjuang untuk bertahan hidup dan mendapatkan tempat yang layak.
Kerebutan dan Ketimpangan Sosial
Kereta kelas kambing menjadi simbol dari sistem yang tidak adil. Dalam puisi ini, terdapat perbedaan yang jelas antara yang memiliki hak untuk duduk dan yang tidak. "Yang punya hak duduk — bertahan karna haknya" dan "yang tak punya hak — bertahan karna ingin duduk" memperlihatkan ketimpangan hak dalam masyarakat. Beberapa orang merasa berhak duduk karena status atau posisi mereka, sementara yang lain, meskipun tidak memiliki hak, berusaha untuk mendapatkan tempat dengan cara yang lebih kuat atau lebih nekad.
Gambaran tentang seorang lelaki yang mengaku guru sekolah dan mengusir seorang perempuan muda dengan anaknya untuk duduk di tempat yang bukan haknya, menambah ketegangan sosial dalam puisi ini. Ini menggambarkan bagaimana status sosial dan kekuasaan digunakan untuk menekan yang lebih lemah, meskipun dalam kenyataan, mereka sama-sama tidak memiliki hak yang sah atas kursi tersebut.
Kereta Kelas Kambing sebagai Metafora Ketidakadilan Sosial
Kereta yang sempit, penuh sesak, dan kacau ini menjadi metafora bagi ketidakadilan sosial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Kereta kelas kambing adalah tempat di mana semua orang harus berebut, terhimpit, dan terinjak-injak, baik secara fisik maupun secara sosial. Gambaran tentang perempuan yang berteriak, anak-anak yang ketakutan, dan laki-laki yang terhimpit menggambarkan ketidakberdayaan mereka dalam sistem yang menindas.
Selain itu, penggambaran kambing yang saling sepak dan adu kepala juga memberikan gambaran kekerasan dalam perjuangan hidup. Seperti kambing yang saling berkelahi karena terbatasnya ruang, manusia juga harus saling berebut tempat dan posisi, bahkan jika itu berarti menggunakan kekuatan atau penindasan terhadap orang lain. Di satu sisi, ini menggambarkan bagaimana perjuangan hidup yang keras dan penuh tekanan dapat membuat orang menjadi lebih agresif dan tidak peduli terhadap orang lain.
Pertanyaan tentang "Kelas Kambing" dan Ketidakpedulian terhadap Kehidupan Manusia
Puisi ini tidak hanya mencerminkan kekacauan fisik di dalam kereta, tetapi juga menyoroti kebiasaan masyarakat yang tidak peduli terhadap ketidakadilan yang terjadi. "Tak ada yang sempat bertanya mengapa ada nama kelas kambing, mengapa ada kelas kambing" adalah sebuah kritik terhadap apatisme sosial. Tidak ada yang peduli tentang mengapa kereta ini disebut kelas kambing, atau mengapa ada pembagian kelas yang menyebabkan ketimpangan dan kekacauan. Hal ini menunjukkan bagaimana masyarakat sering kali menerima ketidakadilan sebagai sesuatu yang sudah menjadi bagian dari kehidupan, tanpa bertanya atau berusaha untuk memperbaikinya.
Kritik ini semakin diperparah dengan gambaran bahwa keesokan malamnya, kebiasaan adu kambing yang penuh kekerasan dan eksploitasi dipertontonkan sebagai "obyek wisata" di layar televisi. Ironinya, kekerasan yang terjadi di dalam kereta dan dalam kehidupan sehari-hari dijadikan tontonan, bahkan sebagai hiburan yang dianggap biasa. Puisi ini menggambarkan bahwa ketidakpedulian terhadap penderitaan manusia sering kali diperparah oleh media yang memanfaatkan kekerasan dan ketimpangan sosial sebagai bentuk hiburan.
Puisi "Kereta Kelas Kambing" karya Saraswati Sunindyo merupakan sebuah kritik tajam terhadap ketidakadilan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat perkotaan. Dengan menggambarkan kondisi sesak dan penuh sesak dalam kereta kelas ekonomi, Sunindyo menunjukkan betapa kerasnya perjuangan hidup dalam ketidaksetaraan, di mana yang lemah dan terpinggirkan harus bertahan hidup dengan cara yang sering kali tidak adil. Puisi ini juga mengajak pembaca untuk merenung tentang ketidakpedulian sosial yang mengakar dalam masyarakat, yang sering kali menerima ketidakadilan dan kekerasan sebagai hal yang wajar.
Puisi: Kereta Kelas Kambing
Karya: Saraswati Sunindyo
Biodata Saraswati Sunindyo:
- Saraswati Sunindyo lahir pada tanggal 4 Mei 1954 di Madiun, Jawa Timur, Indonesia