Puisi: Kepada Istri (Karya Korrie Layun Rampan)

Puisi "Kepada Istri" mengingatkan bahwa suara-suara dari pinggiran tetap memiliki kekuatan untuk membangkitkan kesadaran dan menginspirasi perubahan.

Puisi Kepada Istri


Kutulis puisi ini
Saat perjalanan ke Palangka Raya
Menghadiri Rakernas MADN yang ke II
Membicarakan perjuangan Dayak semesta

Kutulis puisi ini
Di sela-sela pidato dan diskusi
Yang hangat dan kadang tajam seperti pisau besi
Dayak bangun dari tidur di abad-abad bahari

Kutulis puisi ini
Dengan mengutip suara diskusi
"Dayak tak mau lagi jadi objek
Dipinggirkan dari tanah nenek-moyang sendiri!"

Suara peserta entah dari Sukamara
atau dari Kasongan. "Kita telah bosan
Jadi penonton tak mendapat apa-apa
Di tanah merdeka!" lanjutnya berapi-api

Kata-kata lainnya meluncur tajam, "Saya protes terhadap
pernyataan, 'Bahwa hukum adat ada di bawah hukum formal.'
Bukankah hukum adat sama kedudukannya dengan hukum
formal lainnya seperti hukum pidana dan perdata?"

Diskusi makin panas. Pemakalah menjawab mengambang.
Tentu saja mereka bukan pengambil keputusan. Itu yang
membuat peserta makin penasaran. "Kami ingin kepastian,"
kata seorang peserta, "Mudahkan kami mendapatkan sertifikat!"

Katanya lagi. "Seperti kebijakan pada transmigrasi. Ini kami
penduduk asli seperti belum mengeyam kemerdekaan.
Susahnya bukan main kalau mengurus itu dan ini.
Apalagi kalau mengurus tanah dan izin bangunan!"

"Apakah kami harus merdeka sendiri?" seseorang yang tak
jelas menyebutkan namanya. "Borneo merdeka?" lanjutnya
"Kami senang dengan NKRI. Tapi kami selalu dibuat tak senang
Disusahkan oleh kebijakan. Oleh aparat yang suka korupsi!" katanya

"Kami dipinggirkan ke hutan oleh nepotisme. Oleh kolusi antara
pejabat negara dengan kaum kolutor. Kami dimiskinkan secara
struktural. Kami memohon ini dan itu. Tak pernah didengar
Bahkan tanah kami dirampas untuk tambang dan sawit!"

"Itu betul," kata pembicara lainnya yang segera merebut mik.
"Anak-anak kami tak bisa sekolah. Mereka yang lulus SD hanya
membantu orangtua di ladang. Tak ada anak-anak kami yang
bisa masuk polisi, tentara, IPDN, bank, atau jabatan
strategis lainnya. Kami hanya menonton dengan hati menangis!"

Kutulis puisi ini
Dengan mencatat kata-kata diskusi. "Itu sebabnya kami mohon
Rakernas ini membuat rekomendasi dengan batas waktu pasti
Agar pemerintah pusat tahu bahwa Dayak itu ada!" katanya.

"Dayak memang ada," peserta lainnya angkat bicara
Bukankah Dayak sudah ada sebelum ada Indonesia?" lanjutnya
"Itu sebabnya Dayak sakit hati diperlakukan secara tidak semestinya
"Seperti pelayan di rumah sendiri!"

"Ini persoalan hak," sambut peserta entah dari Tanah Bumbu
atau dari Murung Raya. "Hak kita belum diberikan.
Tapi kewajiban harus kita penuhi.
Itu namanya penipuan dan pemerasan!" katanya bersemangat.
"Bukankah tujuan negara itu mensejahterakan rakyatnya?"

"Benar demikian, saudaraku!" kata peserta dari Samarinda atau Berau
"Kita harus berjuang meminta ke pemerintah provinsi. Atau
Pemerintah kota maupun pemerintah kabupaten. Untuk
memudahkan kita berinvestasi. Jangan seperti sekarang ini

Harus melewati seribu pintu." Suaranya serak mungkin karena
Emosi. "Kita memang tak ada kekuatan. Pinjam bank saja susah.
Karena tak ada beking. Semua sekarang ini harus ada beking
Tanpa beking kita akan terlunta-lunta!"

Kutulis puisi ini dalam suasana emosi
Peserta Rakernas memuja Dayak yang terpinggirkan
Menangisi ketertinggalan sepanjang usia terlilit kemiskinan
Mencoba mencari solusi keluar dari keterpurukan

Kutulis puisi ini untuk istriku tercinta
Sebagai Dayak aku miris duduk di kursi panas kehidupan
Mengalirkan napas pemikiran
Di ruang-ruang peradaban

Aku ingat kata-kata teman seperjalanan
"Kalau Borneo merdeka
Bukankah kekayaannya berlimpah ruah?
Tapi kita sesungguhnya tak mau berpisah dari NKRI?

Kita mau bersatu
Tapi NKRI selalu membuat kita sengsara
Apalagi kehidupan di perbatasan
Hidup memalukan seperti pengemis ke negara tetangga!"

Kutulis puisi ini
Untuk istriku tercinta
Aku akan pergi ke Tumbang Anoi
Napak tilas perjanjian penghentian pengayauan

Kutulis puisi ini
Sebagai Dayak penyair
Aku cinta padamu istriku Dayak tercantik
Bunga terindah Tamiang Layang

Kata-kata tak berhenti di sini
Tapi Rakernas akan menutup pintu
Aku akan segera pulang memelukmu
Di cahaya pagi cinta kita yang satu!

Palangka Raya, Swiss Belhotel Danum, 31/8/2013

Sumber: Dayak! Dayak! Di manakah Kamu? (2014)

Analisis Puisi:

Puisi "Kepada Istri" karya Korrie Layun Rampan adalah sebuah karya sastra yang sarat dengan makna politik, budaya, dan cinta. Puisi ini tidak hanya menjadi refleksi kehidupan masyarakat Dayak, tetapi juga mengungkapkan suara perjuangan dalam menghadapi ketimpangan sosial dan ketidakadilan di tanah sendiri. Dengan alunan kata yang personal dan emosional, Rampan menyajikan kritik sosial dalam bingkai cinta kepada sang istri dan tanah kelahirannya, Kalimantan.

Narasi Perjuangan Dayak

Puisi ini diawali dengan narasi tentang Rakernas (Rapat Kerja Nasional) MADN (Majelis Adat Dayak Nasional). Suasana diskusi yang hangat dan kadang memanas menjadi latar utama yang menggambarkan keresahan masyarakat Dayak. Mereka menuntut hak-hak yang selama ini terpinggirkan, seperti kesetaraan hukum adat, hak atas tanah nenek moyang, hingga akses terhadap pendidikan dan pekerjaan.

Ungkapan seperti:

“Kami telah bosan jadi penonton tak mendapat apa-apa di tanah merdeka!”

menggambarkan rasa frustrasi masyarakat Dayak terhadap marginalisasi yang mereka alami. Rampan menggunakan suara peserta diskusi sebagai representasi dari kegelisahan kolektif, memperlihatkan bagaimana mereka merasa dijauhkan dari kesejahteraan yang dijanjikan oleh kemerdekaan Indonesia.

Ketimpangan dan Marginalisasi

Puisi ini juga menyoroti ketimpangan struktural yang dialami oleh masyarakat Dayak. Mereka sering kali diabaikan dalam pembangunan dan kebijakan negara, meskipun hidup di tanah yang kaya akan sumber daya alam. Dalam bait berikut:

“Kami dipinggirkan ke hutan oleh nepotisme. Oleh kolusi antara pejabat negara dengan kaum kolutor. Kami dimiskinkan secara struktural,”

Rampan menyuarakan kritik terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme yang memperburuk keadaan masyarakat Dayak. Tanah mereka dirampas untuk tambang dan perkebunan kelapa sawit, sementara hak-hak dasar mereka, seperti pendidikan dan akses ekonomi, masih terabaikan.

Cinta dalam Bingkai Perjuangan

Meski tema besar puisi ini adalah perjuangan masyarakat Dayak, Rampan tidak melupakan sisi personal dalam karyanya. Ia menulis puisi ini untuk istrinya, yang digambarkan sebagai:

“Bunga terindah Tamiang Layang.”

Cinta kepada sang istri menjadi semacam oase dalam perjalanan yang penuh gejolak. Ini memberikan keseimbangan emosional dalam puisi, memperlihatkan sisi humanis dari sang penyair yang meskipun berada di tengah perjuangan, tetap merindukan kebahagiaan sederhana bersama orang yang dicintainya.

Makna Simbolis dan Harapan

Puisi ini juga sarat dengan simbolisme. Perjalanan ke Tumbang Anoi, misalnya, mengingatkan pada sejarah penting masyarakat Dayak dalam perjanjian penghentian tradisi mengayau. Simbol ini menggambarkan harapan untuk rekonsiliasi dan persatuan, baik di antara masyarakat Dayak sendiri maupun dalam hubungan mereka dengan pemerintah pusat.

Selain itu, ada semangat untuk tetap bersatu dalam bingkai NKRI meskipun penuh tantangan:

“Kalau Borneo merdeka, bukankah kekayaannya berlimpah ruah? Tapi kita sesungguhnya tak mau berpisah dari NKRI.”

Ini menunjukkan bahwa masyarakat Dayak tetap memegang teguh cinta terhadap tanah air, meskipun sering kali dibuat kecewa oleh kebijakan yang tidak berpihak pada mereka.

Puisi "Kepada Istri" adalah puisi yang menyuarakan berbagai lapisan perasaan: mulai dari kegelisahan sosial, kritik politik, hingga cinta yang intim. Dengan gaya bahasa yang lugas namun penuh emosi, Korrie Layun Rampan berhasil menyampaikan perjuangan masyarakat Dayak yang tidak hanya bersifat lokal, tetapi juga mencerminkan isu universal tentang keadilan, hak asasi, dan cinta terhadap tanah air. Puisi ini menjadi pengingat bahwa suara-suara dari pinggiran tetap memiliki kekuatan untuk membangkitkan kesadaran dan menginspirasi perubahan.

Korrie Layun Rampan
Puisi: Kepada Istri
Karya: Korrie Layun Rampan

Biodata Korrie Layun Rampan:
  • Korrie Layun Rampan adalah seorang penulis (penyair, cerpenis, novelis, penerjemah), editor, dan kritikus sastra Indonesia berdarah Dayak Benuaq.
  • Korrie Layun Rampan lahir pada tanggal 17 Agustus 1953 di Samarinda, Kalimantan Timur.
  • Korrie Layun Rampan meninggal dunia pada tanggal 19 November 2015 di Rumah Sakit PGI Cikini, Jakarta Pusat.

Anda mungkin menyukai postingan ini

  • Hujan Sebelum Kemarauhujan adalah kitaaku rintik, kau rindunyaberteduh di halaman puisidan masa lalu yang enggan permisisetia menunggu matahariterbit dari kelopak matamugenggamanku…
  • Ponsel PintarPonsel, yang dijual mahal di toko-toko,Yang dibawa ke mana-mana,Yang menggenggam dunia, sejarah, jarak, garis dan kitaTak bosan-bosannya menggoda siapa saja,Seperti Tu…
  • Tentang RenggangMerindukanmu menghadirkan luka yang kubalut tawaMenertawai kebodohan tentang harapBahwa semua kembali semulaBerbunga-bunga dan bahagiaLembar kisah kian berdebuMence…
  • NostalgiaJalan ini pernah kita lewatiBercengkerama di sepanjangnyaHujan dan terik tak dirasaKali ini ada yang bedaEntah karena suasanaAtau hadirmu yang tiadaKini akan kutapaki lagi…
  • Ziarah Pahlawandi depan makam seorang pahlawanhatiku perih tertusuk pengkhianatankemerdekaan ternyata hanya bayanganrakyat kecil melata di republik dagelan2021Analisis Puisi:Puisi …
  • Belajar kepada Pohonsungguh arif dan bijaksanakalau kau belajar kepada pohontumbuh, bertahan, dan berdoakuat serta tegar dalam guncanganpohon berdiri tegak mencatat sejarahkisah-ki…
© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.