Analisis Puisi:
Puisi "Ke Manakah Tujuan Kita, Cintaku?" karya Leon Agusta adalah sebuah karya puitis yang meresapi tema perjalanan, kenangan, kehilangan, dan harapan. Dengan gaya bahasa yang khas dan penuh simbolisme, puisi ini mengajak pembaca untuk merenung tentang makna hidup dan arah tujuan, serta bagaimana kita menghadapi masa lalu dan ketidakpastian masa depan. Dalam puisi ini, Agusta menggambarkan pergulatan batin antara pencarian makna dan kenyataan yang tak selalu sesuai harapan.
Perjalanan dan Tujuan Hidup
Puisi ini dimulai dengan sebuah pertanyaan yang berat:
"Ke manakah tujuan kita, cintaku?"
Pertanyaan ini mencerminkan keresahan tentang arah hidup, baik dalam konteks hubungan pribadi maupun eksistensi manusia secara umum. Pertanyaan tersebut membuka ruang untuk refleksi tentang ketidakpastian dalam hidup, di mana kita terus bergerak maju tanpa sepenuhnya mengetahui ke mana kita akan sampai.
"Perjalanan semakin jauh"
Baris ini menegaskan bahwa perjalanan hidup tidaklah singkat, tetapi panjang dan penuh tantangan. Setiap langkah yang kita ambil membawa kita lebih jauh dari titik awal, namun seringkali tanpa peta yang jelas menuju tujuan.
Kenangan dan Harapan yang Terbelenggu Masa Lalu
Pada bagian berikutnya, puisi ini membawa kita ke sebuah tempat penuh kenangan, yakni:
"Di kaki lembah tak bernama di sana kita akan istirahat"
Lembah tak bernama bisa menjadi simbol tempat yang penuh kenangan, namun juga misterius dan tidak pasti. Ini menunjukkan bahwa meskipun kita memiliki tempat untuk beristirahat, ada ketidakjelasan tentang masa depan atau arah yang harus ditempuh setelahnya.
"Bila malam menggelantung, kenangan akan menjemput harapan yang pernah ada dalam belenggu masa lalu"
Kenangan adalah hal yang tak terpisahkan dari kehidupan, dan puisi ini mengungkapkan bahwa kenangan akan selalu kembali, menyelimuti kita di saat-saat tertentu, bahkan ketika kita berusaha melepaskannya. Namun, harapan yang pernah ada seakan terjebak oleh masa lalu yang tidak bisa diubah.
Hilangnya Makna dan Kebingungan dalam Kehidupan
Puisi ini kemudian berpindah ke perasaan kehilangan arah dan tujuan.
"Kita pernah tahu di mana berada dan sampai di mana"
Ini menggambarkan sebuah masa ketika kita memiliki tujuan yang jelas, ketika kita tahu arah kita. Namun, dengan berjalannya waktu, kita mulai kehilangan rasa kepastian tersebut.
"Kini kita tak tahu bagaimana bisa belajar membaca di lorong-lorong jagal berjaga memenggal kenangan"
Lorong-lorong jagal yang dimaksudkan di sini menggambarkan tempat-tempat yang penuh dengan kekerasan, kesedihan, dan perasaan terasing. Kita seakan terjebak di dalamnya, tidak tahu harus ke mana, dan kesulitan untuk memahami situasi kita yang semakin tidak jelas. Kenangan yang seharusnya menjadi pelajaran justru menjadi sesuatu yang menghantui, dihilangkan oleh kekerasan waktu dan peristiwa.
Perubahan Zaman dan Kehilangan Kemampuan untuk Berkomunikasi
"Kaum pengembara. Menenggelamkannya dalam hutan semua tanda sudah mereka musnahkan"
Frasa ini menggambarkan perubahan zaman yang tidak hanya menghilangkan arah, tetapi juga menghancurkan jejak-jejak yang pernah ada. Tanda-tanda yang dulu menjadi petunjuk perjalanan kini sudah tidak ada lagi, terhapus oleh kekuatan yang lebih besar. Seperti kaum pengembara yang harus terus berjalan tanpa peta, kita terombang-ambing oleh dunia yang berubah dengan cepat.
"Tukang jagal akan tetap tukang jagal dengan lakunya"
Di sini, Leon Agusta menunjukkan bahwa meskipun dunia berubah, ada elemen-elemen yang tetap statis dan keras. Tukang jagal tetap akan menjadi tukang jagal, menggambarkan bahwa beberapa aspek dalam kehidupan, seperti kekerasan dan ketidakadilan, tidak akan pernah hilang, bahkan dalam masa perubahan.
Menulis Nyanyian dengan Suara Hujan: Harapan dan Keabadian
Meski puisi ini penuh dengan keraguan dan kehilangan, di bagian akhir, ada secercah harapan yang muncul.
"Tapi kita dapat menulis nyanyian dengan suara hujan berlaksa nada suara dari tujuh langit dan hutan"
Hujan sering dianggap sebagai simbol pembaruan dan pembersihan. Dalam puisi ini, hujan menjadi metafora untuk nyanyian yang dapat kita tulis, meskipun dalam keterbatasan dan kesulitan. Ada harapan bahwa meskipun dunia ini penuh ketidakpastian, kita masih bisa mengekspresikan perasaan dan harapan kita melalui cara yang sederhana namun mendalam.
"Saling bertanya bersahut-sahutan: ke mana?"
Di akhir puisi, pertanyaan yang sama kembali muncul, kali ini lebih universal. Bukan hanya pasangan yang bertanya satu sama lain, tetapi semua orang bertanya ke mana arah hidup ini. Namun, mungkin pertanyaan ini tidak memiliki jawaban yang pasti. Hal ini menunjukkan bahwa pencarian akan tujuan hidup adalah sesuatu yang terus berlangsung, dan mungkin kita tidak akan pernah benar-benar tahu ke mana kita akan pergi.
Puisi "Ke Manakah Tujuan Kita, Cintaku?" karya Leon Agusta adalah sebuah meditasi tentang kehidupan, perjalanan, dan pencarian makna. Melalui simbolisme dan metafora yang kuat, Agusta menyampaikan ketidakpastian yang kita hadapi dalam hidup dan hubungan. Namun, meskipun kita sering kali kehilangan arah, ada kekuatan dalam menulis dan berbicara, dalam menciptakan nyanyian meskipun dunia di sekitar kita tampak suram.
Puisi ini mengajarkan kita untuk terus bertanya, untuk terus mencari meskipun jawabannya tidak selalu ada. Mungkin perjalanan hidup memang tidak memiliki tujuan yang jelas, tetapi setiap langkah dan setiap pertanyaan membawa kita lebih dekat pada pemahaman tentang diri kita sendiri dan dunia di sekitar kita.
Puisi: Ke Manakah Tujuan Kita, Cintaku?
Karya: Leon Agusta
Biodata Leon Agusta:
- Leon Agusta (Ridwan Ilyas Sutan Badaro) lahir pada tanggal 5 Agustus 1938 di Sigiran, Maninjau, Sumatra Barat.
- Leon Agusta meninggal dunia pada tanggal 10 Desember 2015 (pada umur 77) di Padang, Sumatra Barat.
- Leon Agusta adalah salah satu Sastrawan Angkatan 70-an.