Puisi: Kabar Terakhir (Karya Wayan Jengki Sunarta)

Puisi "Kabar Terakhir" karya Wayan Jengki Sunarta mengajak pembaca untuk memahami kerumitan perasaan dan perjalanan batin manusia dalam menghadapi ...
Kabar Terakhir

semenanjung dingin
kabar terakhir
dari perahu yang hilang
tiba lebih dini
aku menunggumu
di pucuk mercusuar
layar berhenti berkibar
tiada yang pasti pada hampar laut

angin mengusir camar-camar
ke lingkup kabut
apa yang mesti dimengerti sepi
hujan dini hari tadi
menghanyutkan waktu
ke dalam bejana mimpimu
semua akan berakhir
seperti kendi pecah
menyerpih dalam udara malam

patahan sayap camar belia
hinggap di jiwamu
setiap aksara yang tergurat
menjelma kisah hidupmu
makin suram
dalam kerumunan halimun

kau yang terkalahkan
yang melolong sepi dari kobaran api
yang menjelma abu
yang gemeretak saat laju perahu
semakin jauh dari jantungmu
yang membusuk perlahan
terimalah kabar ombak
terimalah takdir laut
seperti takdirmu sendiri
tiada yang bisa disembunyikan gelombang
dari jiwamu yang buta

tiada kisah akan tercipta di tepi pantaimu
yang melandai hingga ke ujung gaun putri jelita
yang menanti di ujung tanjung itu
mungkin bunga-bunga gugur ke dalam hatinya
dan kupu-kupu akan musnah
dalam genggaman tangannya
hanya hari yang mengerti
ke mana mesti menepi

aku telah buka rahasia sunyata
mengapa kau masih memeram hasrat
ingin tahu segala rahasia kematian
apakah tiada nyenyak lagi tidurmu
dalam rimbunan bambu
yang gemerisik setiap malam itu

kematian serupa gelombang menyergapmu
ketika kau lengah berenang di pantai
biarkan saja lemah tanganmu
menggapai matahari senja keemasan
sebelum sempurna cahayanya
merambati jalinan nadimu
kau akan dengar gemericik
omang-omang dalam pasir,
rintih buih, lagu ganggang,
dan doa syukur nelayan
yang luput dari mulut ombak

hari akan kembali tiba
sebelum kau pergi
dengan tawamu yang bahagia
dalam dekapan maut
yang begitu ngelangut
merindukan dirimu
di tepi pantai itu

barisan pohon waru menadahkan tangan
agar kau mampu membelainya
demi salam selamat tinggal yang mengesankan
cumi-cumi menyemburkan tinta kelamnya
demi menghangatkan tubuhmu
dalam selimut gelombang

pasrahkan dirimu
kita akan menjelma cahaya

2008

Analisis Puisi:

Puisi "Kabar Terakhir" karya Wayan Jengki Sunarta merupakan karya sastra yang kaya akan simbolisme, emosi, dan renungan tentang kehidupan, kematian, serta misteri lautan sebagai metafora alam semesta. Dengan gaya puitis yang penuh perenungan, puisi ini mengajak pembaca untuk memahami kerumitan perasaan dan perjalanan batin manusia dalam menghadapi ketidakpastian hidup.

Latar dan Tema Puisi

Latar dalam puisi ini berada di sekitar lautan, mercusuar, dan pantai, tempat-tempat yang sering menjadi simbol perbatasan antara dunia yang diketahui dan yang tidak diketahui. Laut, dalam karya ini, merepresentasikan ketidakterbatasan dan ketidakpastian hidup, sekaligus menjadi cerminan dari nasib yang tak terelakkan.

Tema yang dominan adalah perpisahan, keheningan, dan perjalanan menuju akhir yang tidak dapat dielakkan. Wayan Jengki Sunarta menggambarkan lautan bukan hanya sebagai ruang fisik, tetapi juga sebagai simbol perjalanan spiritual yang penuh rahasia.

Struktur dan Gaya Bahasa

Puisi ini terdiri dari bait-bait panjang yang menghadirkan citraan alam seperti angin, kabut, camar, hujan, dan ombak. Gaya bahasa yang digunakan melibatkan metafora mendalam, misalnya:

“Angin mengusir camar-camar ke lingkup kabut”

Menggambarkan keterasingan dan hilangnya sesuatu yang akrab ke dalam ketidakpastian.

“Semua akan berakhir seperti kendi pecah”

Merupakan metafora yang kuat tentang kefanaan dan ketidakabadian.

Bahasa yang digunakan penuh keindahan, menghidupkan suasana melalui detail alam yang melankolis. Imaji visual seperti patahan sayap camar belia dan cumi-cumi menyemburkan tinta kelamnya menciptakan kesan kuat tentang keterhubungan manusia dengan alam.

Kehidupan dan Kematian Sebagai Inti Puisi

Puisi ini berbicara tentang kematian bukan dengan nada muram, tetapi dengan penerimaan yang pasrah. Ungkapan seperti “Kematian serupa gelombang menyergapmu” dan “Terimalah takdir laut seperti takdirmu sendiri” menggarisbawahi pandangan eksistensial tentang kehidupan. Laut, dengan gelombang dan pasangnya, mencerminkan sifat kehidupan yang tidak dapat dihindari.

Namun, ada juga harapan dan keindahan dalam perpisahan ini, seperti pada bait terakhir yang menyebut “kita akan menjelma cahaya”. Ini adalah pengingat bahwa kematian, meski akhir dari keberadaan fisik, dapat menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar.

Interpretasi Mendalam

Puisi ini dapat diartikan sebagai refleksi pribadi sang penyair terhadap kefanaan. “Kabar terakhir” dalam puisi ini bisa dimaknai sebagai berita yang datang dari sesuatu yang telah berlalu, mengingatkan kita pada keterbatasan waktu dan kehidupan.

Setiap elemen alam, mulai dari camar hingga ombak, memiliki simbolisme yang berlapis. Camar yang terbang ke kabut menggambarkan kehilangan arah, sedangkan ombak yang menyentuh pantai melambangkan siklus kehidupan. Puisi ini juga membahas keinginan manusia untuk memahami rahasia hidup dan kematian, seperti dalam baris “Mengapa kau masih memeram hasrat ingin tahu segala rahasia kematian?”

Puisi "Kabar Terakhir" karya Wayan Jengki Sunarta adalah karya yang kaya makna, menggambarkan kehidupan, kematian, dan hubungan manusia dengan alam. Dengan gaya bahasa yang indah dan penuh simbolisme, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan perjalanan hidup dan menerima ketidakpastian dengan pasrah. Karya ini membuktikan bahwa puisi mampu menjadi jendela untuk melihat kedalaman emosi dan perenungan filosofis manusia.

Wayan Jengki Sunarta
Puisi: Kabar Terakhir
Karya: Wayan Jengki Sunarta

Biodata Wayan Jengki Sunarta:
  • Wayan Jengki Sunarta lahir pada tanggal 22 Juni 1975 di Denpasar, Bali, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.