Jalan Terus
kata Suurhoff:
bung, jangan main-main politik
siapa berpolitik dia komunis
siapa komunis dia pengacau
bandit, perampok bajingan tengik.
kata POB:
bung, jangan masuk SOBSI
mari kita elus-elus sama majikan
senyum-senyum damai-damai
mogok itu jahat
siapa mogok dia komunis.
kata Amat buruh harian:
gua gak ngerti minis-minisan
gua gak doyan damai-kaburan
gua gak demen terror harga
imperialis jahat habis perkara!
aku Amat, dulu sampi perahan
sekarang merdeka, kata bung Karno
gua minta merdeka dari penjajahan
sepiring nasi.
Sumber: Rangsang Detik (1957)
Catatan:
Suurhoff: salah seorang pemimpin buruh negeri Belanda yang anti buruh berpolitik.
Analisis Puisi:
Puisi "Jalan Terus" karya Adi Sidharta adalah sebuah karya yang menggambarkan kondisi sosial dan politik yang penuh dengan tekanan terhadap kaum buruh, serta perjuangan mereka untuk mendapatkan hak-hak yang adil. Puisi ini mengangkat suara buruh yang berbicara atas ketidakadilan yang mereka hadapi, dengan menggunakan gaya bahasa yang lugas dan penuh sindiran. Dalam puisi ini, Sidharta menyuarakan kritik terhadap kekuasaan, sistem yang menindas, serta bagaimana kaum buruh harus tetap bertahan dan melanjutkan perjuangannya meskipun dihadapkan pada tantangan yang berat.
Suurhoff dan Penindasan terhadap Buruh
Puisi ini dimulai dengan kutipan kata-kata dari Suurhoff, yang merupakan seorang pemimpin buruh asal Belanda, tetapi dengan pandangan yang bertentangan dengan perjuangan buruh. Dalam puisi tersebut, Suurhoff mengatakan, "bung, jangan main-main politik, siapa berpolitik dia komunis, siapa komunis dia pengacau, bandit, perampok bajingan tengik." Kalimat ini menggambarkan sikap represif terhadap buruh yang terlibat dalam gerakan politik atau perjuangan kelas. Suurhoff, yang seharusnya menjadi pemimpin bagi kaum buruh, justru menuduh mereka yang berpolitik sebagai ancaman yang harus dihentikan, bahkan dengan cara yang keras.
Pernyataan Suurhoff ini menunjukkan bagaimana kelas penguasa, baik dalam konteks Belanda pada masa itu maupun di banyak tempat lainnya, sering kali memandang kaum buruh sebagai ancaman yang harus ditekan. Sidharta dengan cerdas menggunakan kata-kata ini untuk mengkritik ketidakadilan sistem yang berlaku, di mana buruh yang mencoba untuk memperjuangkan haknya justru dianggap sebagai musuh negara.
Kritik terhadap Keadaan Sosial dalam POB dan SOBSI
Selanjutnya, puisi ini mengutip kata-kata dari POB, sebuah organisasi buruh yang juga memiliki pandangan yang lebih moderat. POB mengajak buruh untuk berkompromi dengan majikan, mengatakan, "bung, jangan masuk SOBSI, mari kita elus-elus sama majikan, senyum-senyum damai-damai, mogok itu jahat, siapa mogok dia komunis." POB di sini menggambarkan sebuah pandangan yang lebih pasif dan kompromis, yang mengajak buruh untuk menghindari konflik dan memilih jalan damai meskipun tetap berada dalam ketidakadilan. Pendekatan ini sangat berbeda dengan suara buruh yang lebih radikal dan berani dalam memperjuangkan hak mereka.
Pernyataan ini mencerminkan dilema yang sering dihadapi oleh kaum buruh dalam berbagai sistem sosial dan politik. Di satu sisi, ada ajakan untuk berjuang secara damai, tetapi di sisi lain, ketidakadilan yang dialami oleh mereka semakin memperburuk kondisi hidup mereka. Sidharta dengan cerdas menggambarkan bagaimana berbagai pihak berusaha membungkam perjuangan buruh, baik dengan cara mengajak kompromi maupun dengan mengintimidasi mereka.
Amat: Suara Buruh yang Menuntut Keadilan
Bagian penting dari puisi ini adalah suara dari Amat buruh harian, yang berbicara dengan nada yang lebih lugas dan berani. Amat tidak tertarik dengan politik atau kompromi, dan dengan tegas mengatakan, "gua gak ngerti minis-minisan, gua gak doyan damai-kaburan, gua gak demen terror harga, imperialis jahat habis perkara!" Amat mewakili suara buruh yang tidak lagi ingin disibukkan dengan perdebatan politik yang tidak menyelesaikan masalah mereka. Bagi Amat, yang terpenting adalah memperoleh hak-hak dasar mereka sebagai buruh, seperti upah yang layak dan kondisi kerja yang manusiawi.
Amat juga menyuarakan ketidakpedulian terhadap politik yang tidak memberikan solusi nyata bagi kaum buruh. Ia menegaskan bahwa buruh tidak tertarik dengan politik yang hanya memperburuk keadaan mereka. Amat mewakili suara keras dari buruh yang merasa bahwa mereka telah dipinggirkan dalam percakapan politik dan sosial yang lebih besar. Baginya, perjuangan buruh adalah perjuangan untuk mendapatkan keadilan sosial yang nyata, tanpa terjebak dalam permainan politik yang tidak menguntungkan mereka.
Merdeka dari Penjajahan Ekonomi
Akhir dari puisi ini menjadi sangat kuat dengan kalimat "gua minta merdeka dari penjajahan sepiring nasi." Ini adalah seruan untuk membebaskan buruh dari bentuk penjajahan ekonomi yang terus-menerus mengikat mereka dalam sistem yang tidak adil. Sepiring nasi di sini adalah simbol dari kebutuhan dasar manusia, yang seharusnya dipenuhi tanpa ada sistem eksploitasi. Puisi ini dengan tegas menyuarakan bahwa merdeka berarti bebas dari penindasan ekonomi yang dilakukan oleh pihak yang lebih berkuasa, dalam hal ini adalah majikan atau penguasa yang hanya memikirkan keuntungan mereka sendiri.
Puisi "Jalan Terus" karya Adi Sidharta adalah sebuah karya yang menggugah dan penuh kritik terhadap kondisi sosial dan politik yang menindas kaum buruh. Melalui suara-suara yang berbeda, seperti Suurhoff, POB, dan Amat, Sidharta menggambarkan bagaimana buruh sering kali terjebak dalam dilema antara berkompromi atau berjuang untuk hak-hak mereka. Dalam puisi ini, buruh bukan hanya sekadar pekerja yang terpinggirkan, tetapi juga subjek yang memiliki suara yang kuat dalam memperjuangkan keadilan.
Puisi ini mengajak pembaca untuk merenung tentang perjuangan kaum buruh yang tidak hanya berjuang untuk politik, tetapi juga untuk mendapatkan kehidupan yang layak dan bebas dari penindasan. Dengan kalimat penutup yang penuh makna, puisi ini menyatakan bahwa kebebasan sejati adalah kebebasan dari penjajahan ekonomi yang terus menerus menekan kehidupan buruh.
Biodata Adi Sidharta:
- Adi Sidharta (biasa disingkat A.S. Dharta) lahir pada tanggal 7 Maret 1924 di Cibeber, Cianjur, Jawa Barat.
- Adi Sidharta meninggal dunia pada tanggal 7 Februari 2007 (pada usia 82 tahun) di Cibeber, Cianjur, Jawa Barat.
- Adi Sidharta memiliki banyak nama pena, antara lain Kelana Asmara, Klara Akustia, Yogaswara, Barmaraputra, Rodji, dan masih banyak lagi.