Puisi: Jalan Sunyi (Karya Gunoto Saparie)

Puisi "Jalan Sunyi" karya Gunoto Saparie menggambarkan perjalanan batin seorang individu dalam menghadapi kesendirian, keraguan, dan pencarian ...
Jalan Sunyi

kulalui jalan sunyi
lewat tengah malam
kulalui hari-hari
lengang dunia kelam

kulalui jalan menujumu
namun tak sampai-sampai
haruskah lewat jalan lain itu
haruskah menyusuri tepi pantai

kulalui jalan sunyi
jalan seorang penyair tua 
jalan berkelok dan mendaki
namun ternyata tak ke mana-mana

2021

Analisis Puisi:

Puisi "Jalan Sunyi" karya Gunoto Saparie adalah sebuah karya yang menggambarkan perjalanan spiritual dan emosional seseorang dalam menghadapi kehidupan. Melalui simbolisme jalan sunyi, penyair menuturkan refleksi mendalam tentang kesendirian, pencarian makna, dan keraguan eksistensial.

Jalan Sunyi: Simbol Kesendirian dan Perenungan

Puisi ini dimulai dengan frasa "kulalui jalan sunyi, lewat tengah malam," yang langsung membawa pembaca pada suasana yang sepi dan kontemplatif. Jalan sunyi menjadi metafora kesendirian dalam menjalani hidup, tempat seseorang merenungkan langkah-langkah yang telah diambil.

Waktu "tengah malam" menambah intensitas suasana sunyi, seolah mengisyaratkan momen di mana seseorang merasa benar-benar sendiri, jauh dari keramaian dunia. Ini adalah waktu perenungan terdalam, saat jiwa menghadapi dirinya sendiri tanpa distraksi.

Perjalanan Tanpa Tujuan yang Jelas

Bait kedua, "kulalui jalan menujumu namun tak sampai-sampai," menggambarkan kerinduan atau pencarian yang tidak berujung. Subjek puisi ini berjalan menuju sesuatu—entah itu Tuhan, cinta, atau makna hidup—tetapi merasa tidak pernah sampai pada tujuan yang diinginkan.

Pertanyaan retoris, "haruskah lewat jalan lain itu, haruskah menyusuri tepi pantai," mencerminkan kebimbangan dan keinginan untuk mencoba cara lain, meski tidak ada jaminan akan keberhasilan. Ini adalah gambaran universal tentang manusia yang sering merasa terjebak dalam keraguan di tengah pencarian mereka.

Jalan Penyair Tua: Simbol Kehidupan yang Melelahkan

Frasa "jalan seorang penyair tua" menambahkan lapisan emosional pada puisi ini. Penyair tua menjadi simbol seseorang yang telah banyak mengalami pahit manis kehidupan, tetapi tetap merasa terjebak dalam lingkaran yang sama. Jalan yang "berkelok dan mendaki" menunjukkan betapa sulit dan penuh tantangan perjalanan tersebut.

Namun, kesadaran bahwa jalan itu "ternyata tak ke mana-mana" menyoroti rasa putus asa atau kelelahan eksistensial. Ini menggambarkan paradoks kehidupan: meskipun penuh perjuangan, terkadang hasilnya tidak seperti yang diharapkan.

Eksistensialisme dalam Jalan Sunyi

Puisi ini mengandung elemen eksistensialisme, di mana manusia dihadapkan pada absurditas hidup. Penyair mencoba mencari tujuan, tetapi akhirnya menyadari bahwa perjalanan itu mungkin tidak memiliki akhir yang jelas atau memuaskan.

Kesadaran ini, meskipun pahit, juga mengajarkan tentang penerimaan. Dalam kesunyian dan keraguan, terdapat ruang untuk merenung dan menerima bahwa hidup tidak selalu memberikan jawaban yang pasti.

Gaya Bahasa yang Melankolis dan Puitis

Gunoto Saparie menggunakan bahasa sederhana namun penuh makna, menciptakan suasana melankolis yang menyentuh pembaca. Pemilihan kata seperti "sunyi," "lengang," dan "kelam" membangun suasana yang sendu, sementara pertanyaan retoris memperkuat rasa kebimbangan dan pencarian yang tak berujung.

Rima dan ritme dalam puisi ini terasa lembut, mencerminkan perjalanan perlahan seorang individu di jalan sunyi. Hal ini membuat puisi ini terasa personal dan universal sekaligus.

Relevansi dengan Kehidupan Modern

Puisi "Jalan Sunyi" sangat relevan dengan kehidupan modern, di mana banyak orang merasa terisolasi meskipun hidup di tengah keramaian. Kesendirian yang digambarkan dalam puisi ini adalah perasaan universal yang dirasakan oleh mereka yang mencari makna di tengah tuntutan dunia yang semakin materialistis.

Keraguan tentang arah hidup, seperti yang tergambar dalam puisi, juga menjadi refleksi bagi generasi yang sering kali merasa kehilangan arah di tengah berbagai pilihan yang ada.

Pesan dari Puisi Jalan Sunyi

Puisi ini mengingatkan kita bahwa perjalanan hidup tidak selalu membawa kita pada tujuan yang jelas. Namun, proses berjalan itu sendiri memiliki nilai yang penting. Melalui kesendirian dan perenungan, kita dapat lebih mengenal diri sendiri dan menerima ketidaksempurnaan hidup.

Kesunyian bukanlah hal yang harus ditakuti, melainkan peluang untuk berdialog dengan diri sendiri dan memahami kehidupan dari perspektif yang lebih mendalam.

Puisi "Jalan Sunyi" karya Gunoto Saparie adalah sebuah karya yang menggambarkan perjalanan batin seorang individu dalam menghadapi kesendirian, keraguan, dan pencarian makna hidup. Dengan gaya bahasa yang melankolis dan simbolisme yang kaya, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan perjalanan hidup mereka sendiri.

Meskipun terasa sendu, puisi ini memberikan ruang untuk penerimaan dan pemahaman bahwa dalam jalan sunyi, terdapat pelajaran berharga yang dapat membantu kita menjadi lebih bijaksana. Sebuah karya yang tidak hanya indah secara puitis, tetapi juga kaya secara filosofis.

Puisi Gunoto Saparie
Puisi: Jalan Sunyi
Karya: Gunoto Saparie

BIODATA GUNOTO SAPARIE

Gunoto Saparie lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal yang ditempuh adalah Sekolah Dasar Kadilangu, Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, Akademi Uang dan Bank Yogyakarta, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Sedangkan pendidikan nonformal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab, Gemuh, Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab, Gemuh, Kendal.

Selain menulis puisi, ia juga mencipta cerita pendek, kritik sastra, esai, dan kolom, yang dimuat di sejumlah media cetak terbitan Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Brunei Darussalam, Malaysia, Australia, dan Prancis. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981),  Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996),  Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019). Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004).  Novelnya Selamat Siang, Kekasih dimuat secara bersambung di Mingguan Bahari, Semarang (1978) dan Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019) yang menjadi nomine Penghargaan Prasidatama 2020 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.

Ia juga pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Sejumlah puisi, cerita pendek, dan esainya termuat dalam antologi bersama para penulis lain.  Puisinya juga masuk dalam buku Manuel D'Indonesien Volume I terbitan L'asiatheque, Paris, Prancis, Januari 2012. Ia juga menulis puisi berbahasa Jawa (geguritan) di Panjebar Semangat dan Jaya Baya.

Ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta), Tanahku (Semarang), Delik Hukum Jateng (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang), Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Faktual (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Otobursa Plus (Semarang), dan Redaktur Legislatif  (Jakarta).

Selain di bidang pers, ia pernah bekerja di bidang pendidikan, yaitu guru di SMP Yasbumi Cepiring, SMP PGRI Patebon, SMP Muhammadiyah Kendal, dan SMA Al-Farabi Pegandon. Ia pernah pula bekerja di CV Sido Luhur Kendal dan PT Aryacipta Adibrata Semarang.

Saat ini ia menjabat Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah, dan Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Sebelumnya ia pernah menjabat Ketua Kelompok Studi Seni Remaja (KSSR) Kendal, Ketua Pelaksana Dewan Teater Kendal, Sekretaris Forum Komunikasi Studi Mahasiswa Kekaryaan (Fokusmaker) Jawa Tengah, Wakil Ketua Ormas MKGR Jawa Tengah, Fungsionaris DPD Partai Golkar Jawa Tengah, Sekretaris DPD Badan Informasi dan Kehumasan Partai Golkar Jawa Tengah, dan Sekretaris Bidang Kehumasan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah. 

Sejumlah penghargaan di bidang sastra, kebudayaan, dan jurnalistik telah diterimanya, antara lain dari Kepala Perwakilan PBB di Indonesia, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Penerangan, Menteri Luar Negeri, Pangdam IV/ Diponegoro, dan Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah.

Gunoto Saparie juga sering diundang sebagai pembicara dalam kongres, simposium, dan seminar kesastraan. Ia pun sering membaca puisi di berbagai tempat dan juri lomba literasi yang diadakan lembaga pemerintah maupun swasta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.