Puisi: Jalan Lengang (Karya Juniarso Ridwan)

Puisi "Jalan Lengang" karya Juniarso Ridwan menggambarkan perjalanan kehidupan yang penuh dengan kesunyian dan ketidakpastian, di mana setiap ...
Jalan Lengang

sepeda-sepeda tua berkarat,
    di sepanjang jalan memucat,
hanya lengang mengalir

di ujung jalan menanjak,
        ada pelataran sebuah basilika,
    gerimis membentuk lingkaran senja,
dan bulu matamu meneteskan sepi

di hutan-hutan albino,
        ada lembah subur tubuhmu,
di sana api berdendang,
    lalu urat-urat berdenyut,
        mengitari puting beranting

(jelas, kamu tak suka. Kamu tak rela)

di atas aspal berdebu,
    serpihan muasal membeku,
daun-daun busuk berserakan,
        dan hanya jejak sepatumu,
    tersisa dari tiupan angin.

2005

Analisis Puisi:

Puisi "Jalan Lengang" karya Juniarso Ridwan menggambarkan perjalanan kehidupan yang penuh dengan kesunyian dan ketidakpastian, di mana setiap detail kecil memiliki makna yang dalam dan penuh perasaan. Dalam puisi ini, Ridwan memanfaatkan simbolisme yang kuat untuk menggambarkan situasi batin dan perasaan yang tidak terungkapkan, serta mengajak pembaca untuk merenung tentang ruang kosong, kehilangan, dan kenangan yang hilang.

Sepeda Tua dan Jalan yang Memucat

Puisi ini dimulai dengan gambaran sepeda-sepeda tua berkarat yang melintasi jalan yang memucat dan lengang:

"sepeda-sepeda tua berkarat,
di sepanjang jalan memucat,
hanya lengang mengalir"

Gambar sepeda-sepeda tua ini memberikan kesan nostalgia, mengingatkan pembaca pada waktu yang telah berlalu dan sebuah perjalanan yang telah usang. Jalan yang "memucat" dan "lengang" memperlihatkan bahwa waktu telah membawa perubahan dan ketenangan yang sunyi. Ketidakhadiran kehidupan di sekitar jalan ini menciptakan ruang kosong yang diisi dengan kesendirian, mungkin sebuah refleksi tentang perjalanan hidup yang kadang terasa sepi dan tanpa arah. Sepeda-sepeda yang berkarat dan jalan yang memucat ini menunjukkan bahwa kehidupan, meskipun terus bergerak, sering kali meninggalkan bekas yang sulit untuk dihapuskan.

Pelataran Basilika dan Gerimis Senja

Melangkah lebih dalam, puisi ini membawa kita menuju sebuah pelataran basilika yang terletak di ujung jalan yang menanjak. Di sini, gerimis membentuk lingkaran senja, dan "bulu matamu meneteskan sepi". Gambar basilika dan senja memberikan kesan religius dan sakral, namun juga diliputi kesendirian. Basilika yang suci dan senja yang melingkupi menambah kedalaman perasaan dalam puisi ini—sebuah perasaan yang tak terungkapkan, yang mungkin mencerminkan perasaan hampa yang timbul dalam pencarian spiritual atau pencarian diri.

"di ujung jalan menanjak,
ada pelataran sebuah basilika,
gerimis membentuk lingkaran senja,
dan bulu matamu meneteskan sepi"

Gerimis dan senja yang membentuk lingkaran memberikan kesan waktu yang terus berputar tanpa henti, mengingatkan kita pada siklus hidup dan perasaan yang selalu kembali ke titik yang sama. Sementara "bulu matamu meneteskan sepi" memberikan nuansa kesedihan yang mendalam, mungkin juga tentang seseorang yang kehilangan atau merindukan sesuatu yang tidak bisa kembali.

Hutan Albino dan Lembah Subur Tubuh

Lanjut ke bagian yang lebih suram dan gelap, puisi ini membawa kita ke "hutan-hutan albino" dan "lembah subur tubuhmu." Di sini, simbolisme tubuh yang subur bertemu dengan api yang berdendang, menciptakan gambaran yang penuh dengan ketegangan dan gairah yang terbakar. Ada ketegangan antara kehidupan dan kematian, antara kesuburan dan kehancuran, yang tercermin dalam gambaran tubuh dan api.

"di hutan-hutan albino,
ada lembah subur tubuhmu,
di sana api berdendang,
lalu urat-urat berdenyut,
mengitari puting beranting"

Hutan albino yang tampak putih dan sepi memberi kesan ketidakmurnian dan keterasingan, sementara tubuh yang subur menjadi tempat bagi api yang berdendang—simbol dari kehidupan, gairah, dan perasaan yang membara. "Urat-urat berdenyut" dan "mengitari puting beranting" memberi kesan sensual, namun juga mengandung nuansa ketegangan dan ketidaknyamanan, mencerminkan kompleksitas hubungan antara manusia dan tubuh, antara rasa yang tak terungkapkan dan dunia luar yang penuh dengan ketidakpastian.

Kekosongan dan Jejak yang Tertinggal

Bagian akhir puisi ini menggambarkan kekosongan yang ditinggalkan setelah semua itu berlalu. Jalan berdebu, daun-daun busuk, dan jejak sepatumu yang tersisa adalah tanda bahwa waktu telah berlalu tanpa banyak yang tertinggal, selain kenangan yang membeku dan menghilang. Di sini, jejak sepatu yang tersisa dari tiupan angin menjadi simbol dari perasaan yang telah pergi, meninggalkan ruang kosong yang tak bisa diisi lagi.

"di atas aspal berdebu,
serpihan muasal membeku,
daun-daun busuk berserakan,
dan hanya jejak sepatumu,
tersisa dari tiupan angin."

Jejak yang tersisa hanyalah sebuah kenangan, sesuatu yang telah lewat dan akan segera terlupakan. Gambaran daun-daun busuk yang berserakan menambah kesan bahwa kehidupan kadang berlalu dengan sia-sia, meninggalkan kita dengan kenangan yang mungkin tidak bisa diubah atau diperbaiki.

Puisi "Jalan Lengang" karya Juniarso Ridwan menggambarkan perjalanan hidup yang penuh dengan kesendirian, ketegangan, dan kesepian. Meskipun ada banyak gambaran visual yang kuat dalam puisi ini—seperti sepeda tua berkarat, basilika yang sunyi, dan hutan albino—semua itu berfungsi untuk mengungkapkan perasaan batin yang tak terungkapkan. Puisi ini menggugah pembaca untuk merenung tentang jalan yang kita tempuh dalam kehidupan, perasaan yang kita simpan, dan kenangan yang akhirnya hilang bersama waktu. Dalam keheningan itu, hanya ada jejak-jejak yang tertinggal, sebagai pengingat dari semua yang telah berlalu.

Puisi: Jalan Lengang
Puisi: Jalan Lengang
Karya: Juniarso Ridwan

Biodata Juniarso Ridwan:
  • Juniarso Ridwan lahir di Bandung, Jawa Barat, pada tanggal 10 Juni 1955.
© Sepenuhnya. All rights reserved.