Puisi: Iradat Ilahi (Karya Rifa'i Ali)

Puisi "Iradat Ilahi" karya Rifa'i Ali mengungkapkan sebuah perjalanan batin yang memahami hidup sebagai sebuah anugerah, meskipun dia lahir dalam ...
Iradat Ilahi
kepada Ibunda Syarifah

Menggunung syukurku bagiMu Tuhan,
Lapang dadaku terkuak angan
Demi kumaklumi iradat Rahman
Melahirkan aku di kesengsaraan.

Aku diserahkan tiada berkain
Ke dalam pangkuan ibu yang miskin;
Biasa bermandi cucuran ‘ain
Milik ibuku tiada yang lain.

Kalau aku dikirimkan Allah
Sebagai hadiah ke ibu lemah,
Inilah tanda, ini isyarah
Ujud hidupku penyumbat susah.

Bukan penindih ibu yang letih,
Penambah pedih pelukai perih,
Malah pembela sebagai Almasih,
Begini iradat Tuhan Pengasih.

Serongkok condong wajib kutupang,
Tiris atap sisipkan tulang,
Lantai roboh bahu penyandang,
Pantang mengerang tanggungkan sorang.

Demikian warisan segala nabi,
Diriku termaktub sunnah Ilahi:
Lahir ke bumi penungkat umi
Kalau tak puteranya siapa lagi.

Sumber: Kata Hati (1941)

Analisis Puisi:

Puisi "Iradat Ilahi" karya Rifa'i Ali adalah sebuah karya yang menggugah, mengungkapkan rasa syukur yang mendalam dan pemahaman terhadap takdir Tuhan yang tidak selalu berjalan mulus, namun penuh makna. Puisi ini menyelami relasi antara manusia dengan Tuhan, dan bagaimana setiap langkah hidup, meskipun tampak penuh kesulitan, merupakan bagian dari iradat (kehendak) Tuhan yang lebih besar. Dalam puisi ini, Rifa'i Ali mengungkapkan sebuah perjalanan batin yang memahami hidup sebagai sebuah anugerah, meskipun dia lahir dalam kesusahan.

Syukur yang Dalam kepada Tuhan

Puisi ini dimulai dengan ungkapan syukur yang mendalam kepada Tuhan, yang digambarkan oleh Rifa'i Ali sebagai sebuah bentuk penerimaan terhadap takdir hidup:

"Menggunung syukurku bagiMu Tuhan, / Lapang dadaku terkuak angan / Demi kumaklumi iradat Rahman / Melahirkan aku di kesengsaraan."

Rifa'i Ali menyampaikan bahwa meskipun dia dilahirkan dalam kesengsaraan, dia tetap mengungkapkan rasa syukurnya kepada Tuhan. Ini menunjukkan penerimaan penuh terhadap takdir dan iradat Tuhan, yang sering kali membawa manusia ke dalam situasi yang tidak terduga. Dengan kata lain, puisi ini menunjukkan bahwa setiap peristiwa, baik yang menyenangkan maupun yang penuh penderitaan, merupakan bagian dari rencana Tuhan yang lebih besar, yang harus diterima dengan lapang dada.

Kelahiran dalam Kesederhanaan: Penerimaan Takdir Tuhan

Dalam puisi ini, Rifa'i Ali menggambarkan kelahirannya dalam keadaan yang sangat sederhana dan penuh kekurangan:

"Aku diserahkan tiada berkain / Ke dalam pangkuan ibu yang miskin; / Biasa bermandi cucuran ‘ain / Milik ibuku tiada yang lain."

Kehidupan yang sederhana, bahkan kurangnya materi, bukanlah sebuah beban bagi sang pembicara. Ali menggunakan gambaran tentang lahir tanpa pakaian, dengan ibu yang miskin dan hanya memiliki air mata sebagai harta untuk menggambarkan bahwa kehidupan yang penuh keterbatasan tidak menghalangi rasa syukur dan cinta terhadap hidup. Dalam konteks ini, puisi ini berbicara tentang betapa ketidakmampuan materi tidak mengurangi makna hidup dan keberadaan yang lebih tinggi.

Peran dan Tanggung Jawab dalam Kehidupan

Rifa'i Ali melanjutkan dengan menjelaskan bahwa meskipun hidup dimulai dalam kesederhanaan, dia tidak melihat dirinya sebagai beban. Sebaliknya, dia melihat dirinya sebagai anugerah dan penyumbang kebaikan bagi ibunya yang lemah dan tidak mampu:

"Kalau aku dikirimkan Allah / Sebagai hadiah ke ibu lemah, / Inilah tanda, ini isyarah / Ujud hidupku penyumbat susah."

Ali menjelaskan bahwa kehadirannya di dunia adalah sebuah hadiah dari Tuhan yang tidak hanya dimaksudkan untuk memberi beban, melainkan untuk membantu meringankan kesusahan. Kehadiran dirinya sebagai anak tidak dimaksudkan untuk menambah penderitaan ibu, melainkan sebagai pelipur lara dan pembela bagi ibunya yang lemah. Puisi ini menekankan pentingnya peran setiap individu dalam keluarga, terutama anak, yang hadir untuk memberikan cinta, perhatian, dan penguatan.

Tanggung Jawab dan Keteguhan dalam Menjalani Hidup

Rifa'i Ali menekankan pentingnya tanggung jawab dalam menjalani hidup yang penuh tantangan. Dalam bagian ini, dia berbicara tentang tugas dan kewajiban yang harus dijalani dengan kesungguhan:

"Serongkok condong wajib kutupang, / Tiris atap sisipkan tulang, / Lantai roboh bahu penyandang, / Pantang mengerang tanggungkan sorang."

Rifa'i Ali menunjukkan bahwa hidup bukanlah hal yang mudah, namun harus dijalani dengan keberanian dan keteguhan. Ketika hidup penuh dengan ujian, dia menyatakan bahwa dia siap untuk memikul beban dan tidak mengeluh. Ini merupakan gambaran dari kesanggupan untuk bertanggung jawab, meskipun terkadang kehidupan terasa berat. Ali menunjukkan bahwa kita harus menghadapi setiap kesulitan dengan keteguhan, dan tidak membiarkan diri kita jatuh dalam keluhan yang sia-sia.

Warisan Nabi dan Keterhubungan dengan Ilahi

Sebagai penutup, Rifa'i Ali menggambarkan dirinya sebagai bagian dari warisan para nabi, mengikuti jejak mereka dalam menjalani hidup yang penuh pengabdian kepada Tuhan:

"Demikian warisan segala nabi, / Diriku termaktub sunnah Ilahi: / Lahir ke bumi penungkat umi / Kalau tak puteranya siapa lagi."

Rifa'i Ali menutup puisinya dengan pernyataan bahwa hidupnya adalah bagian dari warisan para nabi, mengikuti sunnah Ilahi yang penuh pengabdian dan kesungguhan. Kehidupan di dunia ini, meskipun penuh dengan kesulitan, merupakan bagian dari takdir Ilahi yang lebih besar, yang harus diterima dan dijalani dengan penuh rasa syukur.

Puisi "Iradat Ilahi" karya Rifa'i Ali adalah sebuah renungan mendalam tentang kehidupan, takdir, dan rasa syukur kepada Tuhan. Meskipun hidup dimulai dalam kesederhanaan dan penuh tantangan, Ali mengajarkan bahwa setiap individu memiliki peran yang besar untuk meringankan kesulitan orang lain, khususnya keluarga. Kehadiran dirinya bukanlah beban, melainkan hadiah bagi ibunya yang lemah. Puisi ini juga mengingatkan kita untuk tidak mengeluh dalam menghadapi kehidupan, namun untuk menjalani setiap tantangan dengan keteguhan dan keberanian, karena hidup adalah bagian dari takdir Tuhan yang penuh hikmah dan makna.

Puisi: Iradat Ilahi
Puisi: Iradat Ilahi
Karya: Rifa'i Ali

Biodata Rifa'i Ali:
  • Rifa'i Ali lahir di Padang Panjang, Sumatra Barat, pada tanggal 24 April 1909.
  • Rifa'i Ali adalah salah satu Sastrawan Angkatan Pujangga Baru.

Anda mungkin menyukai postingan ini

  • Kepada Bunda Terkenang di hati mengarang sari, Yang kupetik dengan berahi Dalam kebun jantung hatiku, Buat perhiasan Ibunda-Ratu. Sumber: Madah Kelana (1931)Analisis Pu…
  • Melankolia Seperti barisan mahoni di tepi jalan Tubuhku tegak sepanjang ceruk subuh Dan bayang hitamku terkapar di aspal Menekuri arah kendaraan dan merkuri …
  • Harian Rakyatkerja dari impiannya, indonesia bebasdalam darahnya sisa malarianamun hidupnya baja ditempa kerasdan direbutnya kemenangan dengan tiga-benderaPintu besar, 25 Januari 1…
  • Sahabat dua kali dimamah maut oleh cinta hidup tertambat baru berarti mereguk hidup jika derita duka sahabat. Berlin, April 1959Sumber: Sa…
  • Pakter Tuakputih tuak putih tobabersandar pada malam larutmari minum, bung, menyelami dukatandus gunung sebelum ikan melautParapat, 5 November 1956Sumber: yang Tak Terbungkamkan (1…
  • Percayalah O, Tuan (Kepada pemimpin-pemimpin di tanah pembuangan) Percayalah, O, Tuan, percayalah! Kami tidak akan melupakan jasa, Amal mulia,…
© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.