Hotel (1)
Adakah bidadari kiraikan lembut sayapnya
dari celah-celah pilar sinar memagar kota?
Mengajak kita terjuni jurang ternganga curam
Gamit kita rangkul pulasan kefanaan
Adakah suara azan dikumandangkan
dari tingkat tertinggi ini bangunan
kala rindu terungku kita dalam kesenyapan
dan ingin berdoa dalam kedamaian
Di sini keajaiban kerja gelitik mata
mengantar-lambungkan kita ke sorga
bertegur saga dengan mimpi
dengan irama dunia tanpa dikenal orang jalanan
Dan perempuan berkaki ramping
menggelicik dari ketakwaan
terbungkus dalam pakaian duniawi
yang bebani dada mekar mereka
hingga seulas senyuman
adalah seseloki anggur yang tumpah
Dan di sinilah makanan dengan segala rasa
Dan di sinilah minuman dengan segala nama
Datangnya dari perut bumi tersaji
Adakah semua untuk dinikmati
pelenyap lapar dan dahaga
Ataukah menunjuk gelas
menjentik sofa dan kerlingan mata
pancaran bangga dalam berlupa?
Dan dalam busa alkohol serba ria
laki-perempuan menjelma
jadi warga Paria, Tokio atau Roma
Betapa kita payah menyigi
temukan seorang saja
warga Bukittinggi, Malang atau Jakarta
Betapa asing ruang ini bagiku
orang teratak gunung Singgalang
yang hidup dalam lagu alam
dibuai suling anak gembala
dan besar dalam renyai senja
serta didendangkan kicau burung pagi hari
Adakah hotel ini di tanah airku
ataukah milik segala bangsa, siapa saja
tanpa aku dihitung di dalamnya?
Hotel (2)
Di teras aku ketuk dinding hotel
bagai ketuk hatiku sendiri:
"Tunjukkan padaku balai-balai terbaik
dan sungai jernih-sejuk
dimana aku bisa mengalaikan tubuh
dan mereka-reka tibanya musim ke sawah"
Tapi mata-mata yang jamah wajahku
bagai suatu sindiran tertuju
pada martabatku, pada segala sahabat
laik aku lelatu serbu lampu beribu wat
Wahai, terbukalah tingkap
rahasia dalam diriku, biar sekejap
takut gairah, rentakkan kaki
tatap perempuan dengan mata birahi
Oo diriku hanyalah diriku
terbanting terhenyak dungu membatu
Dan dengan mata tertutup penuh harap
aku bayangkan itik pulang ke rumah
bayangkan sawah berlumpur basah
dan kekasih lemparkan bunga ke air mengalir
sentuh bajak dan mata cangkul
kemudian berbisik pada benih tersebar
lirih, tanpa kata, semata cinta
Dan ketika musik jazz membahana
Aku berdoa: Semoga bulan ini
kapal tiada lagi sarat penumpang
Aku 'kan kembali ke lembah hijau subur
ke kampungku di ranah Minang
kembali ayunkan cangkul
kembali gembalakan ternak
dan sempat bergurau bersama kekasih
di tengah padi bunting
di samping gubuk yang kubangun
di tanah sendiri, dengan tangan sendiri
Amin.
1964
Sumber: Horison (Juni, 1967)
Analisis Puisi:
Puisi "Hotel" karya Chairul Harun adalah karya sastra yang menggambarkan pengalaman dan refleksi penyair terhadap suasana dan dinamika kehidupan di sebuah hotel. Puisi ini terdiri dari dua bagian yang masing-masing menghadirkan nuansa dan pemikiran yang unik.
Puisi Bagian Pertama (Hotel 1)
- Tema Kesendirian dan Pencarian Makna: Puisi ini membuka dengan pertanyaan retoris tentang keberadaan bidadari di dalam hotel. Penyair merenungkan keajaiban dan kekaguman terhadap kehidupan di dalam hotel, di mana kerja yang luar biasa menciptakan suasana sorga. Namun, di balik kemegahan tersebut, terdapat kesendirian dan kekosongan yang terasa.
- Dialog Dengan Diri Sendiri: Penggunaan dialog internal atau dengan diri sendiri melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukan menciptakan kedalaman emosional dan konflik batin. Penyair merenungkan keberadaannya dan pertanyaan tentang hak dan keterlibatan dalam ruang ini.
- Kontras Antara Keindahan dan Kefanaan: Deskripsi keindahan, makanan, minuman, dan suasana hotel yang meriah memberikan kontras dengan kekosongan dan pertanyaan eksistensial. Penggunaan bahasa yang kuat menciptakan citra yang hidup dan mendalam.
- Identitas dan Keasingan: Penyair merasa asing di ruang hotel ini, terutama sebagai orang yang hidup dalam alam Minang. Identitasnya sebagai orang teratak gunung Singgalang dan kehidupan yang dijalani di alam alami kontras dengan keramaian dan kehidupan duniawi di hotel.
Puisi Bagian Kedua (Hotel 2)
- Dialog Dengan Hotel: Penyair melanjutkan dialog dengan hotel, mengungkapkan ketukan hati yang seperti ketukan dinding hotel. Permintaan untuk melihat "balai-balai terbaik" dan "sungai jernih-sejuk" mengungkapkan rindu akan kehidupan sederhana dan alam yang alami.
- Keinginan untuk Pulang: Penyair menyampaikan keinginan untuk pulang ke lembah hijau dan kampung halamannya di Minang. Keinginan ini tergambar melalui gambaran tentang itik pulang ke rumah, sawah berlumpur basah, dan kekasih yang melemparkan bunga ke air mengalir.
- Imajinasi tentang Kembali ke Desa: Dalam keadaan tertutup mata, penyair membayangkan momen-momen kehidupan di desa, seperti menyentuh bajak, berbicara dengan kekasih di tengah padi bunting, dan bergurau di samping gubuk. Imajinasi ini memunculkan rasa harap dan keinginan untuk kembali ke akar dan kehidupan yang sederhana.
- Doa untuk Kembali ke Tanah Sendiri: Puisi ditutup dengan doa untuk kembali ke tanah sendiri, ke Minang yang subur. Doa ini diungkapkan melalui harapan penyair untuk kembali mengalami kehidupan pertanian dan kebersamaan di tanah leluhurnya.
Puisi "Hotel" karya Chairul Harun adalah karya sastra yang kaya akan imaji, emosi, dan refleksi. Penyair berhasil menggambarkan ketegangan batin antara kehidupan mewah di hotel dan keinginan untuk kembali ke akar dan kehidupan sederhana di desa. Puisi ini tidak hanya menjadi kritik terhadap modernitas, tetapi juga merupakan bentuk ekspresi pribadi tentang kerinduan akan identitas dan kembali ke tanah leluhur.
Karya: Chairul Harun
Biodata Chairul Harun:
- Chairul Harun lahir di Kayutanam, Sumatra Barat pada bulan Agustus 1940.
- Chairul Harun meninggal dunia di Padang, Sumatra Barat pada tanggal 19 Februari 1998.