Helsinki 15/8/2005
Analisis Puisi:
Puisi "Helsinki" karya Oka Rusmini adalah karya yang mengangkat kritik tajam terhadap ketidakadilan sosial dan ketimpangan antara kehidupan yang bergelimang kemewahan di dunia Barat dan penderitaan yang dialami oleh masyarakat di negara-negara yang tertinggal. Dalam puisi ini, Rusmini dengan cermat menggunakan perbandingan antara dunia yang kaya dan makmur, yang ia gambarkan sebagai Helsinki, dengan dunia yang penuh penderitaan dan ketidakadilan, yang ia wakili dengan negerinya sendiri. Dengan bahasa yang penuh makna dan simbolisme, Oka Rusmini menggambarkan ketimpangan sosial yang terasa mencolok dan tidak terperikan.
Helsinki: Cermin Kehidupan yang Makmur
Puisi ini dimulai dengan penggambaran sebuah "benua besar" yang penuh kenyamanan dan kemewahan. Helsinki, yang diambil sebagai simbol negara maju di dunia Barat, digambarkan sebagai tempat di mana orang-orang hidup dengan nyaman, tidak pernah merasakan kesulitan atau kelaparan. "Di sebuah benua besar, matahari terbelah empat. Orang-orang hidup nyaman. Berbau wangi." Dalam kalimat ini, Rusmini menggambarkan dunia yang bersih dan nyaman, seakan segala sesuatu di sana sempurna. Tidak ada yang kurang, tidak ada yang menderita.
Masyarakat di Helsinki ini hidup dalam kemewahan, tinggal di rumah indah dengan penghangat yang membuat mereka terlindungi dari dinginnya angin. "Tak pernah merasakan ngilunya angin," kata Rusmini, menegaskan betapa nyaman dan aman kehidupan mereka. Mereka bahkan mengonsumsi makanan yang melimpah, "makan pagi dengan keju, susu dan roti." Kehidupan mereka seakan bebas dari segala masalah dan penderitaan yang biasa terjadi di negara-negara berkembang.
Namun, meskipun kesenangan ini tergambar begitu sempurna, ada kontras yang sangat tajam ketika kita melihat kehidupan di negara-negara dunia ketiga, yang digambarkan oleh Rusmini sebagai tempat yang penuh penderitaan dan ketidakadilan.
Perbandingan dengan Kehidupan di Negara Tertinggal
Setelah menggambarkan kehidupan yang ideal dan sempurna di Helsinki, Rusmini melanjutkan dengan menggambarkan kehidupan yang sangat berbeda di negerinya. Di sini, ia menekankan penderitaan yang dialami oleh rakyatnya. "Sementara kita di sini dilumat laut, dilahap angin, terkubur reruntuhan gedung." Kalimat ini menggambarkan betapa kerasnya kehidupan di tempat yang penuh kesulitan, di mana bencana alam, kemiskinan, dan ketidakadilan sosial membuat kehidupan terasa begitu tidak berarti. Laut yang melumat seluruh penjuru angin, serta reruntuhan gedung, menggambarkan kehancuran dan ketidakberdayaan yang melanda masyarakat.
Selanjutnya, Rusmini menyindir bagaimana para penguasa dan elit politik di negerinya tampak tidak peduli dengan penderitaan rakyat. "Di negeriku, sudah lama orang-orang belajar jadi anak wayang. Pemain peran." Frasa ini mengandung kritik terhadap para pemimpin dan pejabat yang hanya berperan sebagai boneka atau aktor yang melakukan apa yang diperintahkan oleh kekuasaan, tanpa memperhatikan rakyat kecil. "Kebanyakan jadi maling yang mengisap darah penonton," Rusmini menyatakan, menunjukkan betapa mereka memanfaatkan rakyat sebagai sumber keuntungan pribadi.
Kehidupan yang Tidak Adil dan Penindasan
Puisi ini terus mengungkapkan gambaran tentang ketidakadilan sosial. Rusmini menggambarkan bagaimana segala sesuatu yang ada di negeri ini, baik yang hidup maupun yang mati, diperdagangkan. "Segala yang hidup dan yang mati di negeriku laku dijual." Kalimat ini merujuk pada eksploitasi sumber daya alam yang tiada henti dan ketidakpedulian terhadap lingkungan hidup, yang hanya dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi dan politik segelintir orang. Bahkan kehidupan manusia dan anak-anak yang seharusnya dilindungi pun, dalam pandangannya, seakan tidak dihargai. "Di negeriku aku melihat anak-anak mati, dijejer seperti ikan tuna." Rusmini menyindir kenyataan tragis ini, di mana kehidupan anak-anak tidak lagi dianggap penting di tengah-tengah krisis sosial.
Kritik Terhadap Kebijakan dan Pemborosan
Puisi ini juga mengecam ketidakpedulian para pemimpin negara terhadap penderitaan rakyat. "Sementara bumi Jeumpa merintih. Kehabisan suara, kehilangan kata-kata." Dengan kata-kata ini, Rusmini mengungkapkan bahwa bumi yang penuh penderitaan ini kehilangan daya untuk bersuara, karena suara yang seharusnya berbicara untuk keadilan dan kebenaran telah dibungkam oleh kepentingan ekonomi dan politik. Bumi yang merintih adalah gambaran dari alam yang dihancurkan, namun suara penderitaan ini tidak lagi didengar oleh mereka yang berkuasa.
Selain itu, Rusmini juga menyoroti bagaimana para elit politik dan masyarakat yang memiliki kekuasaan cenderung hidup dalam kemewahan tanpa peduli pada keadaan rakyat. "Lalu tidur dengan lelap setelah tak lupa membubuhkan tanda-tangan." Kalimat ini menggambarkan betapa para elit ini bisa tidur nyenyak setelah mengambil keputusan-keputusan yang merugikan rakyat, sementara kehidupan mereka tetap berjalan dengan nyaman, jauh dari masalah yang ada di lapisan bawah masyarakat.
Puisi "Helsinki" karya Oka Rusmini adalah sebuah karya yang mengandung kritik sosial yang sangat kuat. Melalui perbandingan antara kehidupan di negara-negara maju dan negara-negara berkembang, Rusmini menggambarkan ketidakadilan yang terjadi di dunia. Dengan bahasa yang puitis dan penuh makna, ia mengecam ketimpangan sosial, eksploitasi sumber daya alam, serta kebijakan yang merugikan rakyat kecil. Puisi ini menggugah pembaca untuk merenungkan realitas yang ada di dunia ini, serta mendorong kita untuk lebih peduli pada nasib mereka yang tertindas. Keindahan dan kenyamanan yang ada di satu sisi dunia seharusnya tidak mengabaikan penderitaan dan ketidakadilan yang terjadi di sisi lainnya.
Biodata Oka Rusmini:
- Oka Rusmini lahir di Jakarta pada tanggal 11 Juli 1967.
