Puisi: Hanya Debu Melepas Rindu (Karya Budi Arianto)

Puisi "Hanya Debu Melepas Rindu" mengajak pembaca untuk merenung tentang bagaimana kita merasakan dan menghadapi rindu, serta bagaimana kita ...
Hanya Debu Melepas Rindu

(1)

Barangkali ini cara melepas rindu
setelah semusim memintal gelisah
pada pengembaraan masing-masing

"Kau sedang mabok tarian cinta,
sedang aku masih membangun rumah
dalam senyap cahaya"

(2)

Barangkali ini cara melepas rindu
beku dalam hening sebelum malam
selain angin menampar-nampar rerumputan
mencatat segala resah memaknai perjalanan pulang

"Bukan waktu membuat kelu,
tapi kenyataan membuat segala ada"

(3)

Barangkali ini cara melepas rindu
semacam kisah pejalan malam di persimpangan
sepakat tanpa kata
sementara kebisuan membelenggu sunyi

"Tak ada kata, tak ada cinta
selain kita yang menghamba,
kita yang merindu"

(4)

Barangkali ini cara melepas rindu
diam-diam menggenggam janji
menenteng gundah sepanjang musim
sambil mengeja waktu
kelak bertemu pada sesuatu

"Hanya debu tak lebih dari itu
begitulah kau menyebut aku"

Taman Budaya, Banda Aceh, 2009

Analisis Puisi:

Puisi "Hanya Debu Melepas Rindu" karya Budi Arianto adalah sebuah karya yang menggambarkan perasaan rindu yang mendalam, kesendirian, dan pencarian makna dalam perjalanan hidup. Dengan menggunakan bahasa yang penuh makna dan metafora yang kaya, puisi ini mengajak pembaca untuk merenung tentang cara manusia merasakan dan melepas rindu, serta bagaimana perasaan itu terbentuk dan hilang seiring berjalannya waktu. Setiap larik dalam puisi ini membawa pembaca pada suatu perjalanan emosional yang penuh dengan kebisuan, kesunyian, dan pencarian.

Rindu dalam Pengembaraan Waktu

Pada larik pertama, Budi Arianto membuka puisi ini dengan ungkapan yang menggambarkan rindu sebagai sesuatu yang melekat dalam perjalanan hidup. "Setelah semusim memintal gelisah / pada pengembaraan masing-masing" menggambarkan perjalanan waktu yang penuh dengan kegelisahan. Istilah "semusim" mengacu pada suatu periode waktu yang mungkin singkat, tetapi cukup untuk menumbuhkan perasaan rindu yang mendalam. Proses memintal gelisah ini juga menunjukkan bagaimana rindu tidak hanya tentang jarak fisik, tetapi juga perasaan yang terikat pada waktu dan pengalaman.

Dialog dalam puisi ini, "Kau sedang mabok tarian cinta, / sedang aku masih membangun rumah / dalam senyap cahaya," menunjukkan dua keadaan yang berbeda dalam menghadapi rindu. "Mabok tarian cinta" mencerminkan kegembiraan dan intensitas perasaan cinta yang membara, sementara "membangun rumah dalam senyap cahaya" menunjukkan ketenangan yang lebih introspektif, di mana seseorang sedang berusaha mencari tempat yang aman dalam diri dan waktu. Kontras ini menciptakan kesan bahwa rindu bisa diekspresikan dalam berbagai cara, sesuai dengan keadaan masing-masing individu.

Kehampaan dan Waktu yang Membekukan

Pada larik kedua, Budi Arianto kembali menggunakan metafora untuk menggambarkan rindu yang terasa beku dalam hening. "Beku dalam hening sebelum malam" menggambarkan suasana kesunyian yang mencekam, di mana perasaan rindu terasa begitu dalam dan mencekam, seolah waktu berhenti sejenak. Rindu yang beku ini seperti perasaan yang terjebak dalam kesunyian malam yang panjang, sebelum akhirnya angin datang "menampar-nampar rerumputan" dan "mencatat segala resah memaknai perjalanan pulang."

Di sini, angin dan rerumputan berfungsi sebagai simbol perjalanan hidup itu sendiri—sesuatu yang terus bergerak, namun seringkali tidak dapat menjelaskan perasaan kita yang terbendung. Rindu, dalam hal ini, tidak hanya tentang kenangan atau kehilangan, tetapi juga tentang perjalanan batin yang penuh dengan ketidakpastian. "Bukan waktu membuat kelu, / tapi kenyataan membuat segala ada" adalah pernyataan yang dalam, menyatakan bahwa perasaan rindu bukan hanya dipengaruhi oleh waktu, melainkan oleh kenyataan hidup yang tidak selalu sejalan dengan harapan dan impian kita.

Kebisuan yang Menyertai Rindu

Larik ketiga menekankan kesunyian dan kebisuan sebagai bagian dari perasaan rindu. "Tak ada kata, tak ada cinta / selain kita yang menghamba, / kita yang merindu" menunjukkan bahwa rindu bukanlah sesuatu yang bisa diungkapkan dengan kata-kata, tetapi lebih kepada perasaan yang terpendam dan hanya bisa dipahami oleh orang yang merasakannya. Tidak ada ekspresi verbal yang bisa menggambarkan intensitas perasaan tersebut. Bahkan cinta pun tidak dapat diucapkan dengan kata-kata, hanya bisa dirasakan melalui kehadiran yang hening dan penuh kebisuan.

Di sini, perasaan rindu menjadi sebuah bentuk penghambaan, di mana seseorang menyerahkan dirinya untuk merasakan perasaan tersebut, meski ia tidak tahu apakah ia akan bertemu dengan orang yang dirindukan atau tidak. Kebisuan ini menciptakan jarak antara dua orang yang merindu, tetapi juga memperlihatkan bahwa rindu itu adalah suatu bentuk keheningan yang tak terbantahkan. Rindu membawa kita pada kebisuan yang dalam, di mana tidak ada kata yang cukup untuk mengungkapkan apa yang kita rasakan.

Janji, Gundah, dan Debu sebagai Simbol Kehilangan

Pada larik keempat, Budi Arianto memperkenalkan unsur janji dan gundah, yang menggambarkan harapan dan kegelisahan dalam menghadapi masa depan. "Diam-diam menggenggam janji / menenteng gundah sepanjang musim" menunjukkan bahwa janji adalah sesuatu yang dipegang erat meskipun penuh dengan ketidakpastian. Janji ini seperti sesuatu yang terus dibawa dalam perjalanan hidup, seiring dengan perasaan gundah yang menyertainya. Meskipun janji itu ada, namun tidak ada kepastian kapan dan bagaimana janji itu akan ditepati.

Bagian terakhir, "Hanya debu tak lebih dari itu / begitulah kau menyebut aku," adalah puncak dari perenungan dalam puisi ini. Debu di sini melambangkan ketidakberdayaan, kehampaan, dan akhirnya kehilangan. Debu adalah sesuatu yang mudah menguap, tak terlihat, dan tak dapat diraba. Ini menjadi simbol dari perasaan yang hilang, harapan yang lenyap, dan rasa rindu yang pada akhirnya hanya tersisa sebagai kenangan yang pudar. Meski begitu, puisi ini menunjukkan bahwa meskipun hanya debu yang tersisa, ada suatu kekuatan dalam ingatan dan perasaan yang terus ada meskipun tak terungkapkan.

Puisi "Hanya Debu Melepas Rindu" karya Budi Arianto adalah karya yang penuh dengan refleksi tentang rindu, waktu, dan kehidupan. Dengan menggunakan metafora yang kuat dan bahasa yang indah, puisi ini menggambarkan bagaimana rindu bisa menjadi suatu perasaan yang sulit diungkapkan, tetapi tetap mengisi ruang dalam diri kita. Rindu dalam puisi ini tidak hanya tentang jarak fisik, tetapi juga tentang perjalanan batin yang penuh dengan kebisuan, kegelisahan, dan kehilangan. "Debu" yang disebutkan di akhir puisi menjadi simbol dari segala perasaan yang telah berlalu, tetapi tetap meninggalkan jejak dalam ingatan. Dengan demikian, puisi ini mengajak pembaca untuk merenung tentang bagaimana kita merasakan dan menghadapi rindu, serta bagaimana kita menghadapinya dalam perjalanan hidup yang terus berjalan.

Puisi Terbaik
Puisi: Hanya Debu Melepas Rindu
Karya: Budi Arianto
© Sepenuhnya. All rights reserved.