Puisi: Haitikah Itu (Karya F. Rahardi)

Puisi "Haitikah Itu" mengajak pembaca untuk merenungkan berbagai bentuk penindasan terhadap kelompok-kelompok tertentu, khususnya orang-orang yang ...
Haitikah Itu

haitikah negro itu
hingga harus selalu hitam
selalu menyeringai
memamerkan ngilu giginya
negrokah itu
yang gusinya selalu bengkak
ludahnya selalu darah

haitikah itu
atau ayam hingga
selalu disembelih
selalu dicabut bulu-bulunya
lalu diiris dagingnya lalu
dilumuri garam lalu
dipanggang dan dihidangkan
panas-panas
kentucky fried chicken kah itu
atau voodo
atau genderangkah itu
yang gemuruh yang
terus-terusan dipukul
terus-terusan ditampar terus-terusan
berjingkrak padahal
kulitnya pecah
dan sobek-sobek dan
tulang-tulangnya retak dan rontok
dan serpihnya mengapung
digaplok ombak
laut karibia

haitikah
negro-negro itu
hingga tak boleh putih tak boleh
merah tak boleh hijau

haitikah negro itu
yang harus hitam
harus lapar harus sakit
harus mati berkali-kali
harus dikubur berkali-kali
lalu digali berkali-kali
zombikah itu
atau teknologi canggih
dari holywood hingga
harus ditonton di bioskup 21
harus disimak di layar tivi
harus dicetak dengan mesin web
haitikah head line koran itu
hingga harus bolong-bolong
kena peluru padahal
dia bukan mafia bukan indian
bukan ninja mengapa
harus ditembak harus diancam
digiring ke pojok gang lalu
diplester mulutnya diikat
kakinya tangannya ditempel
bom
lalu harus menunggu
harus tegang

haitikah itu atau
masih budak-budak afrika
yang harus patuh pada atlantik
harus berkeringat di ladang tebu
budakkah itu atau genderang
atau tendangan boss-boss perancis
atau ayam goreng atau sejarah
ratusan tahun
atau film horor
hingga harus selalu takut
selalu deg-degan dan gelap
sambil capek dan ngantuk

haitikah itu hingga
harus gemuruh harus berdarah
harus negro
harus hitam
haitikah itu?

Jakarta, 1994

Sumber: Pidato Akhir Tahun Seorang Germo (1997)

Analisis Puisi:

Puisi "Haitikah Itu" karya F. Rahardi merupakan karya yang penuh dengan kritik sosial, mengungkapkan persoalan rasialisme, kekerasan, dan sejarah kelam kolonialisme yang masih membekas dalam kehidupan masyarakat. Melalui pilihan kata yang kuat dan repetitif, serta imaji yang mencolok, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan berbagai bentuk penindasan terhadap kelompok-kelompok tertentu, khususnya orang-orang yang dianggap sebagai "minoritas," dalam hal ini merujuk pada kaum kulit hitam atau "negro."

Mempertanyakan Identitas dan Stigma Rasial

Puisi ini dimulai dengan pertanyaan yang berulang, "haitikah negro itu?" yang langsung mengarah pada penegasan bahwa identitas "hitam" seringkali dihubungkan dengan penderitaan, kekerasan, dan penindasan. Kata "haitikah" yang diulang dengan cara yang hampir seperti mantra menunjukkan kecemasan atau kebingungan atas kenyataan bahwa kulit hitam selalu diasosiasikan dengan "yang tidak diinginkan." Dalam puisi ini, Rahardi tidak hanya mempertanyakan kondisi fisik orang kulit hitam, tetapi juga mempertanyakan konstruksi sosial yang melekat pada mereka.

Pemilihan kata-kata seperti "selalu hitam," "selalu menyeringai," dan "memamerkan ngilu giginya" menggambarkan gambaran tentang kulit hitam yang tidak dapat lepas dari citra negatif yang dibentuk oleh stereotip. Stereotip ini tidak hanya menciptakan ketidakadilan, tetapi juga menciptakan citra tubuh yang seolah-olah "tak pernah cukup," selalu berada dalam keadaan sakit, terancam, dan penuh penderitaan.

Rangkaian Imaji yang Menyakitkan: Kekerasan dan Eksploitasi

Banyak imaji dalam puisi ini menggambarkan kekerasan dan eksploitasi terhadap tubuh, baik itu tubuh manusia, hewan, maupun bahkan sejarah. Rahardi menyandingkan penderitaan fisik manusia dengan tindakan kekerasan terhadap ayam yang "disembelih" dan "dipanggang" dalam gambaran yang sangat eksplisit. Frasa seperti "ludahnya selalu darah," "kulitnya pecah dan sobek-sobek," serta "tulang-tulangnya retak dan rontok" menciptakan gambaran yang mengerikan dan penuh penderitaan, yang kemudian dihubungkan dengan nasib kaum kulit hitam yang terus-menerus dihancurkan dan diabaikan oleh sejarah dan sistem sosial.

Pada bagian lain, Rahardi juga menggunakan simbolisme yang kuat, seperti "Kentucky Fried Chicken," yang mungkin merujuk pada representasi budaya pop kapitalis yang memperjualbelikan identitas "kulit hitam" dalam bentuk yang ironis dan distorsi. Penderitaan fisik yang dihadirkan dalam puisi ini bukan hanya sebagai sebuah gambaran fisik, tetapi juga sebagai kritik terhadap cara-cara dimana budaya dominan mengkonsumsi dan mengeksploitasi citra orang kulit hitam, baik itu dalam makanan, hiburan, ataupun dalam cara-cara yang lebih halus.

Simbolisme Perbudakan dan Penindasan Sejarah

Melalui pertanyaan repetitif yang dimulai dengan "haitikah itu," Rahardi juga merujuk pada sejarah panjang perbudakan dan kolonialisme. Penyebutan "budak-budak Afrika," "harus patuh pada atlantik," serta "berkeringat di ladang tebu" mengingatkan kita pada perbudakan yang telah lama berlangsung di Amerika dan Eropa, serta bagaimana orang kulit hitam telah lama menjadi objek eksploitasi dalam sistem kolonial. Pemakaian kata "Atlantik" di sini menggambarkan perbudakan transatlantik, yang mengangkut orang-orang Afrika ke benua Amerika untuk bekerja di ladang-ladang perkebunan.

Sebagai tambahan, penyebutan "genderang," "tendangan boss-boss perancis," dan "tendangan boss-boss perancis" mengingatkan kita pada kekerasan yang terjadi dalam hubungan antara penjajah dan orang-orang yang dijajah. Rahardi dengan cerdas menggunakan istilah yang memuat sejarah kolonialisme untuk menyoroti bagaimana kekuasaan dan penindasan telah lama berlangsung dan terus meresap dalam struktur sosial.

Penggambaran Kekerasan dalam Media Populer dan Teknologi

Puisi ini juga dengan cerdik menyoroti bagaimana kekerasan dan penindasan terhadap orang kulit hitam sering dipelihara dan direproduksi dalam budaya populer. Frasa "harus ditonton di bioskop 21," "harus disimak di layar tivi," serta "harus dicetak dengan mesin web" menunjukkan bagaimana citra kekerasan terhadap orang kulit hitam—baik itu dalam bentuk film, media massa, atau hiburan populer—terus dipromosikan sebagai suatu bentuk normalisasi kekerasan.

Hal ini menggambarkan bagaimana orang kulit hitam sering kali diposisikan sebagai objek yang harus dilihat dan dinikmati dalam format yang sudah terkontaminasi oleh kekerasan. Dalam bioskop dan televisi, orang kulit hitam sering kali digambarkan dalam peran-peran tertentu—seperti penjahat, pembantu, atau korban—sehingga narasi kekerasan dan diskriminasi terhadap mereka seolah menjadi bagian dari hiburan yang bisa dikonsumsi oleh masyarakat.

Melalui puisi "Haitikah Itu", F. Rahardi berhasil menyoroti ketidakadilan rasial yang masih berlangsung hingga kini. Puisi ini menggambarkan tubuh yang terus-menerus dihancurkan—baik secara fisik maupun simbolik—oleh masyarakat, budaya populer, dan sejarah kolonial. Namun, melalui repetisi pertanyaan "haitikah itu?" Rahardi secara cerdas mengajak pembaca untuk merenung dan mempertanyakan kenapa hal ini terus terjadi, serta mengapa identitas orang kulit hitam selalu dikaitkan dengan penderitaan dan kekerasan.

Puisi ini bukan hanya sekedar kritik terhadap kondisi orang kulit hitam, tetapi juga mengajak kita untuk melihat lebih dalam tentang bagaimana rasialisme dan diskriminasi masih meresap dalam berbagai aspek kehidupan kita—baik itu dalam sejarah, media, budaya populer, maupun politik. Sebuah seruan untuk menghentikan siklus penindasan ini, untuk tidak lagi membiarkan individu atau kelompok mana pun dibelenggu oleh ketidakadilan yang diwariskan oleh sejarah.

F. Rahardi
Puisi: Haitikah Itu
Karya: F. Rahardi

Biodata F. Rahardi:
  • F. Rahardi (Floribertus Rahardi) lahir pada tanggal 10 Juni 1950 di Ambarawa, Jawa Tengah.

Anda mungkin menyukai postingan ini

  • Surat Katak Duh, gerimis yang meniris pelipis. Aku tak ingin menangis dan mengiris kupingku tipis-tipis. Anggur-anggur tak lagi manis. Dan gadis-gadis mencopot mawar …
  • Mengayak Dedak Telah kujaga rindumu, supaya kau tetap tampak baka, tampak bahagia. Musim telah berubah. Bunga berganti buah, dan aku tak ingin kau jadi sampah, sepert…
  • Penciuman Gagak Aku telah mencium bau bangkai yang begitu nyata. Berhari-hari mendatang pasti datang perang panjang dan pertumpahan darah. Tidak. Tidak, saudaraku…
  • Monolog Gemek untuk Jerapah Kau tinggikan lehermu hingga 1.000 kaki supaya kau karib dengan mukjizat dan para malaekat. Kusembunyikan diriku dalam ceruk tanah agar a…
  • Pandangan Elang Bangsatlah para serigala yang mengajar perang kepada kabilah-kabilah satwa di hutan sana. Bangsatlah celeng-celeng yang mengajar rasa rakus kepada sekalian…
  • Hidangan Buya menyesap kuah sup buntut. Jarak tuwung Dan mulut Buya begitu rapatnya. Tidak. Tak ada jarak Antara tuwung dan mulut Buya, bahkan. Mungkin renyah keru…
© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.