Sumber: Pidato Akhir Tahun Seorang Germo (1997)
Analisis Puisi:
Puisi "Haitikah Itu" karya F. Rahardi merupakan karya yang penuh dengan kritik sosial, mengungkapkan persoalan rasialisme, kekerasan, dan sejarah kelam kolonialisme yang masih membekas dalam kehidupan masyarakat. Melalui pilihan kata yang kuat dan repetitif, serta imaji yang mencolok, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan berbagai bentuk penindasan terhadap kelompok-kelompok tertentu, khususnya orang-orang yang dianggap sebagai "minoritas," dalam hal ini merujuk pada kaum kulit hitam atau "negro."
Mempertanyakan Identitas dan Stigma Rasial
Puisi ini dimulai dengan pertanyaan yang berulang, "haitikah negro itu?" yang langsung mengarah pada penegasan bahwa identitas "hitam" seringkali dihubungkan dengan penderitaan, kekerasan, dan penindasan. Kata "haitikah" yang diulang dengan cara yang hampir seperti mantra menunjukkan kecemasan atau kebingungan atas kenyataan bahwa kulit hitam selalu diasosiasikan dengan "yang tidak diinginkan." Dalam puisi ini, Rahardi tidak hanya mempertanyakan kondisi fisik orang kulit hitam, tetapi juga mempertanyakan konstruksi sosial yang melekat pada mereka.
Pemilihan kata-kata seperti "selalu hitam," "selalu menyeringai," dan "memamerkan ngilu giginya" menggambarkan gambaran tentang kulit hitam yang tidak dapat lepas dari citra negatif yang dibentuk oleh stereotip. Stereotip ini tidak hanya menciptakan ketidakadilan, tetapi juga menciptakan citra tubuh yang seolah-olah "tak pernah cukup," selalu berada dalam keadaan sakit, terancam, dan penuh penderitaan.
Rangkaian Imaji yang Menyakitkan: Kekerasan dan Eksploitasi
Banyak imaji dalam puisi ini menggambarkan kekerasan dan eksploitasi terhadap tubuh, baik itu tubuh manusia, hewan, maupun bahkan sejarah. Rahardi menyandingkan penderitaan fisik manusia dengan tindakan kekerasan terhadap ayam yang "disembelih" dan "dipanggang" dalam gambaran yang sangat eksplisit. Frasa seperti "ludahnya selalu darah," "kulitnya pecah dan sobek-sobek," serta "tulang-tulangnya retak dan rontok" menciptakan gambaran yang mengerikan dan penuh penderitaan, yang kemudian dihubungkan dengan nasib kaum kulit hitam yang terus-menerus dihancurkan dan diabaikan oleh sejarah dan sistem sosial.
Pada bagian lain, Rahardi juga menggunakan simbolisme yang kuat, seperti "Kentucky Fried Chicken," yang mungkin merujuk pada representasi budaya pop kapitalis yang memperjualbelikan identitas "kulit hitam" dalam bentuk yang ironis dan distorsi. Penderitaan fisik yang dihadirkan dalam puisi ini bukan hanya sebagai sebuah gambaran fisik, tetapi juga sebagai kritik terhadap cara-cara dimana budaya dominan mengkonsumsi dan mengeksploitasi citra orang kulit hitam, baik itu dalam makanan, hiburan, ataupun dalam cara-cara yang lebih halus.
Simbolisme Perbudakan dan Penindasan Sejarah
Melalui pertanyaan repetitif yang dimulai dengan "haitikah itu," Rahardi juga merujuk pada sejarah panjang perbudakan dan kolonialisme. Penyebutan "budak-budak Afrika," "harus patuh pada atlantik," serta "berkeringat di ladang tebu" mengingatkan kita pada perbudakan yang telah lama berlangsung di Amerika dan Eropa, serta bagaimana orang kulit hitam telah lama menjadi objek eksploitasi dalam sistem kolonial. Pemakaian kata "Atlantik" di sini menggambarkan perbudakan transatlantik, yang mengangkut orang-orang Afrika ke benua Amerika untuk bekerja di ladang-ladang perkebunan.
Sebagai tambahan, penyebutan "genderang," "tendangan boss-boss perancis," dan "tendangan boss-boss perancis" mengingatkan kita pada kekerasan yang terjadi dalam hubungan antara penjajah dan orang-orang yang dijajah. Rahardi dengan cerdas menggunakan istilah yang memuat sejarah kolonialisme untuk menyoroti bagaimana kekuasaan dan penindasan telah lama berlangsung dan terus meresap dalam struktur sosial.
Penggambaran Kekerasan dalam Media Populer dan Teknologi
Puisi ini juga dengan cerdik menyoroti bagaimana kekerasan dan penindasan terhadap orang kulit hitam sering dipelihara dan direproduksi dalam budaya populer. Frasa "harus ditonton di bioskop 21," "harus disimak di layar tivi," serta "harus dicetak dengan mesin web" menunjukkan bagaimana citra kekerasan terhadap orang kulit hitam—baik itu dalam bentuk film, media massa, atau hiburan populer—terus dipromosikan sebagai suatu bentuk normalisasi kekerasan.
Hal ini menggambarkan bagaimana orang kulit hitam sering kali diposisikan sebagai objek yang harus dilihat dan dinikmati dalam format yang sudah terkontaminasi oleh kekerasan. Dalam bioskop dan televisi, orang kulit hitam sering kali digambarkan dalam peran-peran tertentu—seperti penjahat, pembantu, atau korban—sehingga narasi kekerasan dan diskriminasi terhadap mereka seolah menjadi bagian dari hiburan yang bisa dikonsumsi oleh masyarakat.
Melalui puisi "Haitikah Itu", F. Rahardi berhasil menyoroti ketidakadilan rasial yang masih berlangsung hingga kini. Puisi ini menggambarkan tubuh yang terus-menerus dihancurkan—baik secara fisik maupun simbolik—oleh masyarakat, budaya populer, dan sejarah kolonial. Namun, melalui repetisi pertanyaan "haitikah itu?" Rahardi secara cerdas mengajak pembaca untuk merenung dan mempertanyakan kenapa hal ini terus terjadi, serta mengapa identitas orang kulit hitam selalu dikaitkan dengan penderitaan dan kekerasan.
Puisi ini bukan hanya sekedar kritik terhadap kondisi orang kulit hitam, tetapi juga mengajak kita untuk melihat lebih dalam tentang bagaimana rasialisme dan diskriminasi masih meresap dalam berbagai aspek kehidupan kita—baik itu dalam sejarah, media, budaya populer, maupun politik. Sebuah seruan untuk menghentikan siklus penindasan ini, untuk tidak lagi membiarkan individu atau kelompok mana pun dibelenggu oleh ketidakadilan yang diwariskan oleh sejarah.
Karya: F. Rahardi
Biodata F. Rahardi:
- F. Rahardi (Floribertus Rahardi) lahir pada tanggal 10 Juni 1950 di Ambarawa, Jawa Tengah.