Puisi: Guru dan Murid Dilarang Masuk ke dalam Sekolah yang Terbakar (Karya Afrizal Malna)

Puisi "Guru dan Murid Dilarang Masuk ke dalam Sekolah yang Terbakar" mengingatkan kita akan pentingnya kebebasan berpikir dan keberanian untuk ...
Guru dan Murid Dilarang Masuk ke dalam Sekolah yang Terbakar

Sebuah truk mengangkut bayangan, lebih banyak lagi bayangan dari sebuah jalan dari sebuah truk. Bayangan itu seperti mengenalmu dan berusaha mengenalmu, seperti ada tulisan yang tak bisa dihapus pada keningmu yang demam.

Manusia dilarang masuk dilarang berdiri di situ, dilarang memberi rantai di leher anjing dan memasang perangkap tikus. Dan kau mulai mengerti kenapa harus mengucapkan assalamualaikum untuk masuk ke negeri ini. Sebuah truk seperti anakmu masuk sebagai pegawai Bank Dunia, dan seorang tentara keningnya seperti stempel pada punggung sapi yang memasuki ruang jagal.

Aku tak percaya pada tanganku sendiri yang pagi ini telah membakar ratusan sekolah di kotaku sendiri, sekolah untuk anak-anakku sendiri. Aku tak percaya pada tanganku yang telah menyalakan api, aku tak percaya pada api yang telah membakar sekolah itu, aku tak percaya pada sekolah yang terbakar itu, aku tak percaya pada peristiwa yang telah membakar pikiranku, pergi dan tak mau melihatmu lagi yang penuh dengan kawat berduri di wajahmu. Aku tak percaya berita yang datang dari botol-botol kecap di warung soto dekat rumahmu.

Guru dan murid-murid dilarang masuk ke dalam sekolah yang terbakar. Membiarkan lidah sendiri menjadi ular di depan cermin. Aku tak percaya pada negeri di mana kata-kata telah dibakar. Tetapi guru dan murid-murid tetap memasuki sekolah yang terbakar itu sambil membawa segenggam tanah untuk menyelamatkan kapur tulis, dan tetap menulis bayangan sebuah kebebasan, punggung dan kakinya dan lehernya. Dan papan tulis dari punggung api. Dan api ingin melihat wajahmu, ingin melihat air mukamu, ingin melihat tatapan matamu.

Dan api ingin membuat sebuah kampung, seperti kampung yang telah melahirkanmu. Dan api menuliskan kembali semua kalimat-kalimat ini dalam rahim ibumu, sebelum anak-anak pergi ke jalan, melihat bayangan truk melintas pergi dan bekas air mata di telapak tangan.

Analisis Puisi:

Puisi "Guru dan Murid Dilarang Masuk ke dalam Sekolah yang Terbakar" karya Afrizal Malna menghadirkan dunia simbolik yang penuh kegelisahan, ironi, dan kritik terhadap realitas sosial. Dengan gaya khas yang melibatkan pengaburan batas antara imaji dan makna literal, Afrizal mengajak pembaca untuk merenungkan kondisi pendidikan, kebebasan, dan kemanusiaan dalam konteks yang lebih luas.

Dunia Simbolik dan Imaji dalam Puisi

Afrizal Malna dikenal dengan puisi-puisinya yang sarat simbol dan imaji yang membaur antara yang nyata dan absurd. Dalam puisi ini, "sekolah yang terbakar" menjadi pusat metafora yang mengandung berbagai makna:
  • Krisis Pendidikan: Sekolah yang terbakar dapat dilihat sebagai simbol dari kehancuran sistem pendidikan. Larangan bagi guru dan murid untuk masuk ke dalam sekolah yang terbakar menunjukkan ketidakberdayaan masyarakat menghadapi keruntuhan nilai-nilai pendidikan.
  • Api sebagai Simbol Kekuasaan dan Kehancuran: Api dalam puisi ini memiliki banyak wajah. Ia adalah perusak, tetapi juga pencipta ulang. “Aku tak percaya pada tanganku sendiri yang pagi ini telah membakar ratusan sekolah” adalah pengakuan tragis dari individu yang terlibat dalam penghancuran, tetapi juga menyadari absurditas dan dosa dari tindakannya.
  • Bayangan sebagai Kenangan dan Penjaga Identitas: Frasa “sebuah truk mengangkut bayangan” menunjukkan bagaimana kenangan, identitas, dan sejarah menjadi beban yang terus dibawa oleh masyarakat. Bayangan ini seperti menandai kita, tak bisa dihapus, mencerminkan identitas yang tetap melekat meskipun dihantam oleh berbagai perubahan.

Kritik Sosial dan Pendidikan

Puisi ini dapat dibaca sebagai kritik terhadap sistem sosial dan pendidikan yang terjebak dalam lingkaran kekerasan dan ketidakadilan. Afrizal tidak hanya berbicara tentang institusi pendidikan secara harfiah, tetapi juga sistem nilai dan pengetahuan yang diajarkan.
  • Kebebasan yang Terbakar: “Guru dan murid-murid tetap memasuki sekolah yang terbakar itu sambil membawa segenggam tanah untuk menyelamatkan kapur tulis” adalah gambaran kegigihan dalam mempertahankan kebebasan berpikir, meskipun di tengah situasi yang menghancurkan. Kapur tulis, yang melambangkan alat pengajaran, menjadi simbol kecil dari harapan dan perlawanan.
  • Ironi Kehancuran yang Diciptakan Sendiri: Pengakuan “Aku tak percaya pada tanganku sendiri yang pagi ini telah membakar ratusan sekolah di kotaku sendiri” mengungkap ironi bahwa kehancuran sering kali berasal dari dalam. Tindakan ini mungkin mencerminkan bagaimana sistem pendidikan dirusak oleh orang-orang yang seharusnya melindunginya.

Gaya Bahasa dan Struktur Puisi

Afrizal Malna menggunakan gaya bahasa yang fragmentaris, seolah-olah narasi dibangun dari serpihan-serpihan pemikiran dan perasaan.
  • Pengulangan dan Penegasan: Penggunaan frasa seperti “Aku tak percaya...” secara berulang menciptakan nada kegelisahan dan refleksi mendalam. Pengulangan ini menegaskan absurditas dan ironi dari situasi yang digambarkan.
  • Metafora Kompleks: Metafora yang digunakan Afrizal sering kali terbuka untuk berbagai interpretasi. Misalnya, “membiarkan lidah sendiri menjadi ular di depan cermin” dapat diartikan sebagai pengkhianatan terhadap kebenaran atau kegagalan untuk berkomunikasi dengan jujur.
  • Penggabungan Imaji Urban dan Tradisional: Puisi ini juga mencerminkan penggabungan imaji modern, seperti truk dan Bank Dunia, dengan elemen-elemen tradisional, seperti assalamualaikum dan kampung. Ini menciptakan kontras antara yang global dan lokal, antara kemajuan dan kehancuran.

Makna Kebebasan dalam Puisi

Salah satu tema utama dalam puisi ini adalah kebebasan—baik kebebasan berpikir, berbicara, maupun bertindak.
  • Kata-Kata yang Dibakar: Frasa “Aku tak percaya pada negeri di mana kata-kata telah dibakar” menyoroti bagaimana kebebasan berekspresi sering kali ditekan dalam sistem yang tidak adil. Pendidikan, yang seharusnya menjadi alat pembebasan, malah dihancurkan.
  • Guru dan Murid sebagai Simbol Perlawanan: Guru dan murid yang tetap masuk ke sekolah yang terbakar membawa tanah untuk menyelamatkan kapur tulis menunjukkan bahwa meskipun kebebasan dibatasi, ada upaya perlawanan dan harapan yang terus hidup.

Relevansi Puisi dalam Konteks Modern

Puisi ini sangat relevan dalam konteks saat ini, di mana pendidikan dan kebebasan sering kali menjadi korban dari konflik sosial, politik, dan ekonomi. Afrizal Malna mengingatkan bahwa kebebasan berpikir adalah inti dari pendidikan, dan tanpa itu, sistem pendidikan hanyalah kerangka kosong.
  • Kritik terhadap Sistem yang Rusak: Puisi ini dapat dibaca sebagai seruan untuk memperbaiki sistem pendidikan yang gagal memberikan ruang bagi kebebasan dan kreativitas.
  • Pentingnya Mempertahankan Harapan: Meskipun penuh dengan ironi dan kegelisahan, puisi ini juga menyiratkan pentingnya mempertahankan harapan, seperti yang terlihat dalam tindakan guru dan murid yang tetap menulis meskipun berada di tengah kehancuran.
Puisi "Guru dan Murid Dilarang Masuk ke dalam Sekolah yang Terbakar" adalah karya yang penuh dengan kritik sosial, ironi, dan renungan mendalam tentang pendidikan, kebebasan, dan kemanusiaan. Afrizal Malna menggunakan simbolisme api, bayangan, dan sekolah untuk mengungkapkan kegelisahan atas kondisi masyarakat yang terjebak dalam lingkaran kehancuran.

Melalui puisi ini, Afrizal mengingatkan kita akan pentingnya kebebasan berpikir dan keberanian untuk melawan keterbatasan, bahkan dalam situasi yang paling sulit sekalipun. Seperti guru dan murid yang tetap masuk ke sekolah yang terbakar, kita diajak untuk terus menjaga harapan dan kebebasan di tengah segala keterbatasan.

Puisi Afrizal Malna
Puisi: Guru dan Murid Dilarang Masuk ke dalam Sekolah yang Terbakar
Karya: Afrizal Malna

Biodata Afrizal Malna:
  • Afrizal Malna lahir pada tanggal 7 Juni 1957 di Jakarta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.