Puisi: Dulu Aku Minta Mati di Laut (Karya Isbedy Stiawan ZS)

Puisi "Dulu Aku Minta Mati di Laut" karya Isbedy Stiawan ZS menggambarkan konflik batin antara keinginan untuk melarikan diri dari kehidupan dan ...
Dulu Aku Minta Mati di Laut

aku ingin lari dari laut
sejak ia tak lagi
memberi kehangatan
dulu aku minta mati di laut
dalam gemuruh gelombang
dilempar ke pulau tak bernama
tapi kini aku berharap di ranjang
kuhabiskan hidupku
dikubur dengan namaku di nisan

aku bukan perenang ulung
sebab itu aku menolak
sewaktu kau mengajakku,
suatu sore kelabu,
dengan penuh rayu
di ranjang aku mau berenang,
kataku dengan rayuan pula,
biar matiku menyediakan
sejengkal tanah untuk nisan
yang menulis nama dan kenangan
lalu ilalang membuat cantik istanaku
juga wangi bunga yang selalu meruap
kau tertawa. di laut pun kita mati
ada nisan yang mengekalkan
nama, katamu. sebab karang
sudah lama pula rindu
pada nama-nama
maka marilah ke laut
berenang hingga ke lumut
aku akan menepis maut
jika datang memagut,
lanjutmu sambil melambai
tapi sayang, kumau
ranjang jadi lautan
aku berenang dan terkubur
di bawah nisan
mengekalkan ihwalku.

23 November 2004

Analisis Puisi:

Puisi "Dulu Aku Minta Mati di Laut" karya Isbedy Stiawan ZS adalah karya yang penuh dengan simbolisme, menggambarkan konflik batin antara keinginan untuk melarikan diri dari kehidupan dan kenyataan tentang kematian. Dalam puisi ini, Stiawan ZS menggunakan laut sebagai metafora untuk emosi yang dalam, serta perenungan tentang hidup dan mati yang dialami oleh sang pembicara. Puisi ini mengungkapkan sebuah perubahan perspektif tentang kematian, yang awalnya dilihat sebagai pelarian dan akhirnya menjadi kenyataan yang diterima dengan lebih pasrah.

Laut sebagai Simbol Kehidupan dan Kematian

Laut dalam puisi ini bukan hanya sekadar tempat fisik, tetapi lebih kepada simbol emosi dan pencarian jati diri. Pada awalnya, laut digambarkan sebagai tempat di mana sang pembicara ingin mengakhiri hidupnya. Gelombang dan kekuatan alam menjadi representasi dari perasaan kebingungan dan keputusasaan:

"dulu aku minta mati di laut / dalam gemuruh gelombang / dilempar ke pulau tak bernama"

Gelombang yang mengguncang dan pulau yang tak bernama menciptakan gambaran tentang kehampaan dan kesendirian. Laut menjadi tempat untuk melepaskan diri dari dunia yang penuh dengan ketidakpastian. Keinginan untuk "mati di laut" mengindikasikan keputusasaan dan kebingungan yang mendalam, seolah laut merupakan pelarian dari beban kehidupan.

Namun, dalam perkembangan puisi ini, laut juga menjadi simbol dari perubahan perspektif sang pembicara. Seiring berjalannya waktu, laut yang sebelumnya diinginkan sebagai tempat akhir kehidupan justru berubah menjadi bagian dari sebuah perenungan yang lebih dalam tentang hidup dan kematian.

Perubahan Perspektif: Dari Pelarian Menjadi Penerimaan

Pada bagian berikutnya, sang pembicara menunjukkan sebuah perubahan besar dalam cara pandangnya terhadap hidup dan kematian. Ia mengungkapkan keinginan untuk menghabiskan hidupnya di ranjang dan dikubur dengan namanya terukir di nisan:

"tapi kini aku berharap di ranjang / kuhabiskan hidupku / dikubur dengan namaku di nisan"

Perubahan ini menunjukkan bahwa pembicara tidak lagi melihat kematian sebagai pelarian dari kehidupan, melainkan sebagai bagian alami dari perjalanan hidup. Keinginan untuk "di ranjang" menggambarkan penerimaan terhadap kenyataan hidup dan kematian yang lebih dekat, yang tidak perlu dilarikan.

Keinginan untuk Menghadapi Hidup di Dunia yang Nyata

Stiawan ZS menggunakan citraan ranjang dan nisan untuk menggambarkan perjalanan batin pembicara. Pada saat ia menerima kenyataan tentang hidup dan mati, ia juga menyadari bahwa ia tidak perlu takut atau melarikan diri. Dalam percakapan dengan orang lain yang mengajaknya ke laut, sang pembicara memberikan respons yang lebih mencerminkan keinginannya untuk tetap berada di dunia nyata, bukan lari dari kenyataan:

"aku bukan perenang ulung / sebab itu aku menolak / sewaktu kau mengajakku, / suatu sore kelabu"

Dialog ini memperlihatkan bahwa meskipun ada ajakan untuk kembali ke laut dan menghadapi kematian dengan penuh keberanian, pembicara menolaknya. Ia lebih memilih untuk menerima kenyataan hidup dan mati di dunia yang lebih "terpancang," di mana ada jejak keberadaan seperti nama yang terukir di nisan. Ini adalah bentuk penerimaan terhadap hidup, meski dengan segala keterbatasannya.

Laut sebagai Perpaduan Antara Kematian dan Kenangan

Keinginan untuk meninggalkan nama dan kenangan di dunia ini juga tercermin dalam citraan nisan yang ditulis dengan nama sang pembicara. Laut bukan lagi tempat untuk mengakhiri hidup, melainkan menjadi bagian dari kenangan yang akan terus mengalir:

"di laut pun kita mati / ada nisan yang mengekalkan / nama, katamu."

Di sini, laut berubah menjadi sebuah tempat di mana kenangan akan abadi. Laut tidak lagi hanya tentang kematian, tetapi juga tentang bagaimana kematian bisa memberikan jejak atau warisan dalam bentuk kenangan. Nisan di laut menjadi simbol dari keberadaan yang tak akan pernah dilupakan.

Simbolisme Ranjang dan Laut

Pada bagian akhir puisi, pembicara menyampaikan keinginan untuk mengubah ranjang menjadi lautan, di mana ia bisa "berenang" dan "terkubur di bawah nisan":

"sayang, kumau / ranjang jadi lautan / aku berenang dan terkubur / di bawah nisan / mengekalkan ihwalku."

Simbol ranjang yang berubah menjadi lautan menggambarkan pergeseran dari pengingkaran terhadap kehidupan menuju penerimaan yang penuh makna. Pembicara memilih untuk tetap berada di dunia nyata, tetapi dalam bentuk simbolis, ia ingin "berenang" dan "terkubur" dalam kenangan yang tak terhapuskan, bahkan setelah kematian.

Puisi "Dulu Aku Minta Mati di Laut" karya Isbedy Stiawan ZS menyajikan sebuah perjalanan batin yang penuh dengan pencarian makna hidup dan penerimaan terhadap kematian. Laut yang pada awalnya merupakan simbol pelarian dan keputusasaan akhirnya menjadi tempat yang mengalirkan kenangan, di mana kematian tidak lagi dilihat sebagai akhir, tetapi sebagai bagian dari perjalanan hidup yang lebih luas. Pembicara, melalui puisi ini, berusaha untuk menerima kenyataan bahwa kematian adalah bagian dari hidup yang harus dijalani dengan penuh pengertian dan keberanian, bukan sebagai sesuatu yang perlu dilarikan.

Isbedy Stiawan ZS
Puisi: Dulu Aku Minta Mati di Laut
Karya: Isbedy Stiawan ZS

Biodata Isbedy Stiawan ZS:
  • Isbedy Stiawan ZS lahir di Tanjungkarang, Bandar Lampung, pada tanggal 5 Juni 1958.
© Sepenuhnya. All rights reserved.