Di Pelabuhan Kecil
Kadang airmataku menjadi butiran garam
Yang berkilauan di bawah sinar bulan
Tanganku gemetar dan jemariku memercikkan air
Sebuah tembang mengalirkan masa kanak-kanakku
Yang terasa dingin, asing dan sangat jauh
Kupilih menyendiri di sudut pelabuhan kecil ini
Sambil menggambari pasir dengan ingatanku
Di penghujung malam kadang aku berteriak
Bersama angin, ombak dan kegelapan
Atau kadang menjerat bintang-bintang liar
Dengan tarianku. Setiap fajar tiba
Wajahku menjadi ungu oleh sajak-sajak
Yang tak kunjung dituliskan
2014
Sumber: Berguru kepada Rindu (2017)
Analisis Puisi:
Puisi "Di Pelabuhan Kecil" karya Acep Zamzam Noor adalah karya yang mendalam dan penuh emosi. Dengan latar yang sederhana, yaitu pelabuhan kecil, puisi ini menggambarkan perjalanan batin seorang individu yang sedang berjuang dengan kenangan, perasaan, dan pencarian makna dalam kehidupan. Penggunaan metafora yang kuat, seperti air mata menjadi butiran garam, serta gambaran tentang ombak, angin, dan bintang-bintang liar, membawa pembaca menyelami kedalaman emosi dan pemikiran si pembicara dalam puisi ini.
Emosi yang Tersimpan dalam Air Mata
Puisi ini dimulai dengan pernyataan yang sangat emosional: "Kadang airmataku menjadi butiran garam." Penggambaran air mata sebagai garam bukan hanya menunjukkan kesedihan, tetapi juga mengandung makna bahwa penderitaan atau perasaan yang mengalir dalam diri seseorang bisa memberi dampak atau bekas. Air mata yang menjadi garam berkilauan di bawah sinar bulan menunjukkan bahwa meskipun perasaan tersebut datang dari kesedihan, ia tetap memiliki keindahan dan kedalaman tertentu, sebagaimana garam yang berkilau saat terkena cahaya. Ini adalah metafora yang menggambarkan bagaimana penderitaan atau kesedihan bisa menjadi bagian dari kehidupan yang tidak terhindarkan namun tetap bisa dilihat dari sisi estetika yang menyentuh hati.
Selain itu, penggunaan kata "garam" juga bisa menggambarkan sesuatu yang bersifat universal, yang dapat ditemukan di mana saja, bahkan dalam kegelapan malam. Garam, sebagai elemen yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, mengingatkan pembaca bahwa penderitaan adalah bagian dari proses hidup manusia, dan setiap individu memiliki cara tersendiri untuk mengekspresikannya.
Pencarian Identitas dalam Keheningan
Selanjutnya, dalam puisi ini, Acep Zamzam Noor menggambarkan tangan yang gemetar dan jemari yang memercikkan air. Ini mengindikasikan keadaan emosional yang tidak stabil, tetapi juga mencerminkan pencarian diri yang sedang berlangsung. Tangannya yang gemetar menggambarkan ketidakpastian dan kebingungan batin. Memercikkan air bisa menjadi simbol dari usaha untuk melepaskan perasaan atau kenangan yang mengganggu, mencoba untuk mencari ketenangan di tengah kegelapan atau keheningan.
Keheningan ini terasa semakin dalam dengan pilihan pembicara untuk menyendiri di sudut pelabuhan kecil. Pelabuhan adalah tempat yang biasanya menghubungkan dua dunia, tempat datangnya kapal-kapal dan petualangan, tetapi di sini, pelabuhan menjadi simbol dari tempat penyendiriannya. Pelabuhan kecil ini, yang terisolasi dari keramaian, bisa dilihat sebagai tempat di mana pembicara mencari kedamaian, tetapi juga sebagai ruang untuk merenung dan berhadapan dengan perasaan yang tidak terungkapkan.
Kenangan yang Dingin, Asing, dan Jauh
Puisi ini kemudian berlanjut dengan kalimat yang membawa kita ke masa lalu: "Sebuah tembang mengalirkan masa kanak-kanakku." Tembang atau lagu ini adalah media yang mengingatkan pembicara tentang masa kecilnya, tetapi kenangan tersebut terasa "dingin, asing, dan sangat jauh." Di sini, ada rasa keterasingan dengan masa lalu, seakan-akan kenangan itu tidak lagi terasa hangat atau akrab. Waktu telah membawa jarak antara pembicara dan masa kanak-kanaknya, dan meskipun lagu atau tembang itu mengalir, ia tidak mampu menghidupkan kembali kehangatan atau kepolosan masa kecil tersebut.
Penggunaan kata "dingin" bisa menggambarkan betapa masa lalu itu terasa seperti sesuatu yang jauh dan tak dapat dijangkau. Ini bisa juga menunjukkan perasaan kehilangan atau penyesalan yang hadir ketika mengenang masa lalu yang tidak lagi bisa terulang.
Kesendirian sebagai Pilihan
Pemilihan untuk menyendiri di pelabuhan kecil ini adalah pilihan yang penuh makna. Pelabuhan kecil ini mungkin melambangkan tempat peristirahatan atau tempat di mana pembicara bisa merenung dalam keheningan. Di sinilah, pembicara meresapi kenangan dan menghadapinya dengan cara yang penuh refleksi. Dalam kesendirian ini, ia menggambari pasir dengan ingatannya, seakan-akan mencoba untuk meninggalkan jejak atau menyusun kembali potongan-potongan kenangan yang tersebar.
Menggambari pasir ini juga bisa dianggap sebagai metafora dari upaya untuk membentuk atau memahami kembali masa lalu yang terkadang sulit dijelaskan. Pasir, yang mudah terbawa angin, bisa menggambarkan betapa mudahnya kenangan itu hilang atau berubah, tetapi upaya untuk menggambarnya tetap dilakukan sebagai cara untuk berhubungan dengan masa lalu.
Ekspresi Emosi yang Liar
Pada penghujung malam, penyair menyatakan bahwa ia kadang berteriak bersama angin, ombak, dan kegelapan. Ini menunjukkan ekspresi emosional yang sangat kuat, di mana perasaan yang terkumpul akhirnya dilepaskan dalam bentuk teriakan. Angin, ombak, dan kegelapan adalah elemen alam yang menggambarkan ketidakpastian, kekuatan alam, dan misteri yang tidak bisa dikendalikan. Bersama mereka, pembicara seolah-olah melepaskan diri dari segala belenggu, terlepas dari kekosongan atau kehampaan yang dirasakannya.
Selain itu, teriakan tersebut bisa menggambarkan pencarian identitas atau makna hidup yang sering kali terbungkus dalam kesunyian, hanya untuk diteriakkan di tengah ketidakpastian dunia.
Ketidakmampuan untuk Menulis dan Menyatakan
Puisi ini diakhiri dengan ungkapan bahwa wajah pembicara menjadi ungu oleh sajak-sajak yang tak kunjung dituliskan. Ungu, sebagai warna yang sering dihubungkan dengan perasaan yang mendalam, menunjukkan bahwa meskipun ada banyak perasaan yang ingin diungkapkan, kata-kata tetap sulit untuk ditemukan. Sajak-sajak yang tak kunjung dituliskan mencerminkan keterbatasan dalam mengekspresikan perasaan atau pengalaman yang terlalu berat untuk dituangkan dalam bentuk kata-kata.
Puisi "Di Pelabuhan Kecil" karya Acep Zamzam Noor menggambarkan proses introspeksi yang mendalam, di mana pembicara berjuang dengan kenangan, kesedihan, dan ketidakmampuan untuk menyatakan perasaannya. Dengan menggunakan simbolisme yang kuat, seperti pelabuhan kecil, pasir, angin, ombak, dan bintang-bintang liar, puisi ini mengeksplorasi perasaan terasing dan pencarian makna yang tak kunjung selesai. Ini adalah sebuah karya yang membawa pembaca untuk merenung tentang bagaimana kita seringkali terjebak dalam kenangan dan perasaan yang sulit diungkapkan, sementara kehidupan terus berlanjut dengan ketidakpastian dan misteri yang tak terpecahkan.
Biodata Acep Zamzam Noor:
- Acep Zamzam Noor (Muhammad Zamzam Noor Ilyas) lahir pada tanggal 28 Februari 1960 di Tasikmalaya, Jawa Barat, Indonesia.
- Ia adalah salah satu sastrawan yang juga aktif melukis dan berpameran.
