Puisi: Desapantai (Karya Mansur Samin)

Puisi "Desapantai" mengingatkan kita bahwa kemajuan tidak selalu berarti kebahagiaan, dan penting untuk menjaga tradisi serta hubungan manusia di ...
Desapantai

Dari bukit terjal
semak pantai berkijapan
kincir di telaga dulu
berganti sebuah gardu

Itu bandar di hulu
tinggal lengangnya pucat samar
bukan seperti dulu
disibuki pedagang dari Medan

Hingar rebana tak riuh lagi
apakah sibuyungdeli telah mati?

Dekat magrib sendirian pulang
di bondongan gadis pergi sembahyang
sekilas senyum betapa nyaman:
Kapan abang datang
apa kabar dari rantoan?

Memancar sinar jelita malam
berkemas pribumi menginap di lobang.

Sumber: Dendang Kabut Senja (1985)

Analisis Puisi:

Puisi "Desapantai" karya Mansur Samin merupakan refleksi yang indah dan melankolis tentang perubahan waktu, nostalgia, dan kehidupan di sebuah daerah pantai. Dalam sajak ini, Mansur Samin mengajak pembaca untuk melihat realitas sebuah desa pantai yang mengalami transformasi, baik secara fisik maupun budaya.

Gambaran Transformasi Desa Pantai

"Dari bukit terjal / semak pantai berkijapan"

Baris pembuka ini menggambarkan lanskap desa pantai yang alami. Bukit terjal dan semak pantai menghadirkan kesan liar dan indah, tetapi juga mengisyaratkan keterasingan. Kata "berkijapan" memberikan bayangan akan pantulan cahaya, mungkin dari air atau dari kehidupan yang tersisa.

"Kincir di telaga dulu / berganti sebuah gardu"

Kincir air yang dulu menjadi simbol tradisional kini digantikan dengan gardu, yang bisa jadi melambangkan modernisasi. Pergantian ini menyoroti perubahan zaman dan hilangnya elemen tradisional yang pernah menjadi ciri khas desa.

Nostalgia dan Kerinduan

"Itu bandar di hulu / tinggal lengangnya pucat samar"

Bandar di hulu, yang dulu penuh aktivitas, kini hanya menyisakan kehampaan. "Lengangnya pucat samar" adalah deskripsi yang penuh emosi, menyiratkan rasa kehilangan dan perubahan yang tidak menguntungkan.

"Hingar rebana tak riuh lagi / apakah sibuyungdeli telah mati?"

Rebana, yang mungkin menjadi bagian dari tradisi lokal, tidak lagi terdengar. Frasa "sibuyungdeli telah mati" adalah pertanyaan retoris yang menyinggung perubahan budaya dan mungkin penurunan nilai-nilai tradisional.

Jejak Kehidupan dan Hubungan Antarmanusia

"Dekat magrib sendirian pulang / di bondongan gadis pergi sembahyang"

Magrib, waktu menjelang gelap, menjadi latar untuk gambaran seorang gadis yang pulang sembahyang. Ini menunjukkan bahwa tradisi keagamaan masih dijalankan di tengah perubahan. Kehadiran gadis ini memberikan warna kehidupan yang lembut dan intim di tengah suasana yang melankolis.

"Sekilas senyum betapa nyaman: / Kapan abang datang / apa kabar dari rantoan?"

Dialog singkat ini menyoroti hubungan antarindividu yang penuh rasa kasih dan perhatian. Frasa ini juga memperkuat tema nostalgia, terutama tentang mereka yang merantau dan ditinggalkan.

Kehidupan di Malam Hari

"Memancar sinar jelita malam / berkemas pribumi menginap di lobang."

Malam menjadi simbol ketenangan dan keindahan. Namun, "pribumi menginap di lobang" menyiratkan kondisi yang mungkin sulit atau tidak ideal. Apakah "lobang" ini merujuk pada tempat berlindung yang sederhana, atau metafora tentang keterbatasan yang dihadapi oleh penduduk setempat?

Tema-Tema Utama dalam Puisi

  1. Perubahan dan Modernisasi: Puisi ini menggambarkan bagaimana modernisasi mengubah wajah desa pantai, dari kincir yang diganti gardu hingga bandar yang kehilangan hiruk-pikuknya.
  2. Nostalgia dan Kerinduan: Ada rasa rindu akan masa lalu yang lebih hidup, baik dalam budaya, tradisi, maupun hubungan manusia. Pertanyaan retoris dan dialog sederhana mencerminkan kerinduan ini.
  3. Tradisi yang Bertahan: Meskipun banyak yang berubah, beberapa tradisi seperti sembahyang tetap bertahan, menunjukkan adanya keseimbangan antara perubahan dan pelestarian nilai.
  4. Kesendirian dan Kehampaan: Banyak bagian dalam puisi ini yang mengungkapkan rasa sepi, baik secara fisik maupun emosional. Desa pantai yang dulu ramai kini menjadi simbol dari tempat yang kehilangan jiwa.
Puisi "Desapantai" karya Mansur Samin adalah puisi yang mengajak pembaca untuk merenungkan perubahan yang tak terelakkan, terutama di tempat-tempat yang pernah menjadi pusat kehidupan dan tradisi. Dengan gaya bahasa yang melankolis dan penuh simbol, puisi ini berhasil menggambarkan bagaimana modernisasi, meskipun membawa perubahan, juga meninggalkan jejak kesedihan dan kerinduan.

Puisi ini mengingatkan kita bahwa kemajuan tidak selalu berarti kebahagiaan, dan penting untuk menjaga tradisi serta hubungan manusia di tengah perubahan zaman.

Puisi Mansur Samin
Puisi: Desapantai
Karya: Mansur Samin

Biodata Mansur Samin:
  • Mansur Samin mempunyai nama lengkap Haji Mansur Samin Siregar;
  • Mansur Samin lahir di Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara pada tanggal 29 April 1930;
  • Mansur Samin meninggal dunia di Jakarta, 31 Mei 2003;
  • Mansur Samin adalah anak keenam dari dua belas bersaudara dari pasangan Haji Muhammad Samin Siregar dan Hajjah Nurhayati Nasution;
  • Mansur Samin adalah salah satu Sastrawan Angkatan 66.

Anda mungkin menyukai postingan ini

  • Telaga Gerimis hujan akhir Agustus menggenapi selokan dan tubir kampung aku makin kerap bertandang ke rumahmu seakan curah hari-hari pedih yang menindihku Kemudi…
  • Ode Pemakaman Inilah kami tiap lapisan warga kotamu yang datang kemari dari segala penjuru untuk menyampaikan salam duka kami saat jenazahmu diantar ke tempat terakhir Li…
  • Di Bukit berdiri di puncak karang tinggi menutup rumah yang sudah runtuh susunan tambah sukar kiranya kini hidup manusia telah pasrah pada haluan waktu suling …
  • Hijrah Ladang-ladang sepi langit bernyala Berangkatlah ke mana saja Antara nilai dan jiwa Apa gunanya kita bicara Hutan-hutan hening malam mengaca Sedialah in…
  • Surat Ramli anakku, tidakkah kau mau kembali ibumu menunggu dan lama mencari kiranya ke markas KAPPI ini kau bergabung telah seminggu dinanti tak pulang tidur B…
  • Tukang Kebun Betapa sering di sore hari kami berjumpa di pojok jalan ini menyajikan senyum dia menghormat mesra sekali sambil mengetam bunga-bunga: apa kabar sudara…
© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.