Puisi: Dayang Sumbi (Karya Soni Farid Maulana)

Puisi "Dayang Sumbi" karya Soni Farid Maulana menggambarkan perasaan dan pengalaman tokoh yang menjadi subjek cerita, yaitu Dayang Sumbi.
Dayang Sumbi (1)

Apa yang berharga dalam hidup,
selain kenangan? Tapi, aku
tak punya kenangan tentang ibu
bila kau bertanya itu kepadaku.
Sejak bayi merah aku ditemukan orang
di semak-belukar hutan Pajajaran.
Orang bilang aku lahir
dari seekor babi hutan? Hmm,
bisakah seekor babi hutan
melahirkan anak manusia
hanya gara-gara minum
sebatok air kencing Sang Raja?
Tidak, aku tidak percaya
dengan semua itu.
Sekali lagi, dengar,
aku tidak punya kenangan
tentang ibu. Jangankan ibu,
tentang ayah pun
aku tidak punya. Semuanya gelap.
Gelap bagai gumpalan awan hitam
yang tak hendak jadi hujan.
Kesunyian adalah hantu
yang menakutkan, membawa
diriku ke kelam. Lalu apa arti
semua ini? Sebab adaku
sudah terbaring di tikar duka.
Hiburanku hanya kicau burung
atau desau angin pagi yang turun
dari sebuah bukit. Bukit lukaku,
bukit kutukku dengan takdir
yang busuk, dikawin seekor anjing hutan.
Betapa, anjing hutan, babi hutan,
semuanya bersarang dalam kenanganku.
Benarkah mereka dewa dan dewi
yang dikutuk? Aku tidak mengerti;
semua itu di luar akal sehatku,
di luar nalarku, yang sempoyongan
dari zaman ke zaman merindu
wajahmu, ibu. Wajahmu!

Dayang Sumbi (2)

Sudah berapa lama aku hidup di bumi?
Dari zaman ke zaman aku mengembara
seperti kelelawar mengejar matahari.
Terasa sia-sia, walau mungkin ada harapan
yang kelak mewujud dalam hidupku.
Tapi apa itu harapan, bila nyatanya adaku
di bumi hanya menanggung derita dan kutuk
dari para dewata? Ah, siapakah ia
yang disebut dewata? Adakah ia
yang dengan sesuka hati bisa membolak-balik
nasib manusia, seperti membolak-balik
seekor ikan dalam penggorengan?
Tidak, aku bukan ikan dalam wajan nasibku
yang memar, kotor dan berdebu. Aku bukan
orang yang mudah menyerah pada apa
yang menjadi suratan takdirku.
Hari demi hari aku siangi adaku
dari kepungan rumpun ilalang liar
yang membuat mata batinku gelap pandang.
O, masa lalu yang kelam, kenapa aku harus
lahir ke muka bumi dengan berjuta-juta
cobaan  hidup, yang tak satu pun
membuat diriku bahagia? Hmmm, malam apa ini?
Wangi kembang itu terambung lagi. Wangi
yang aneh, ketika Si Tumang punya hasrat
atas tubuhku. Tapi ia mati sudah,
sejak ribuan tahun lalu. Ia mati di tangan
anaknya sendiri, Sangkuriang.
"Tumang, ia persembahkan jantungmu
untuk aku masak dan aku santap. Semula
aku mengira, itu jantung kijang kencana,
bukan jantung Si Tumang yang dibunuh
Sangkuriang? O, anakku, kutuk
macam apakah yang membuat dirimu
tega membunuh bapakmu sendiri?"

Dayang Sumbi (3)

Jantungmu, ya, jantungmu sudah aku makan,
Tumang. O Tumang, apa yang dikatakan
Sangkuriang saat ia hendak membunuhmu?
Benarkah kau berkata, saat menjelang ajalmu tiba,
bahwa jantung yang dibedah dari dadamu,
yang dipotong dengan keji, dan diserahkan
Sangkuriang kepadaku adalah tanda
keutuhan cintamu kepadaku? Untuk itu kau
tak ingin menjatuhkan kutuk apa pun
kepada Sangkuriang, anak kita, yang tidak tahu
sejak mula bahwa kau bapaknya? Duka
yang mengendap dalam dadaku tak bisa
dibersihkan dengan air mata, bahkan segala doa
terasa hanya berupa gema. Ya, semacam gema
yang berpantulan dari dinding ke dinding tebing
yang curam. Berpuluh dan berpuluh tahun
kemudian, ketika aku bertemu lagi
dengan Sangkuriang, setelah ia aku usir
sehabis membunuhmu, aku nyaris berdosa.
Nyaris dikawin anakku sendiri.
Tumang, begitu gagah dan tampan ia.
Sungguh, aib macam apa
bila rahasia itu tak tersingkap? Kini aku hidup
dalam zaman yang sakit kepala. Tidak,
bukan hanya sakit kepala, tapi juga jantung
dan paru-paru. Dan lihat, betapa kini,
banyak sudah para ibu yang digagahi
oleh anaknya sendiri dengan nafsu
seganas singa, yang menerkam
mangsanya tanpa ampun. Adakah mereka
anak buah Sangkuriang? Dalam saat
yang demikian, yang aku rindu bukan hanya ibu,
tapi juga seorang bapak. Seburuk apa pun ia
hidup di bumi. Bapak, siapakah dirimu?
Adakah paduka; sumber malapetaka
dari semua ini? Dari semua ini

2011

Sumber: Ranting Patah (2018)

Analisis Puisi:

Puisi "Dayang Sumbi" karya Soni Farid Maulana adalah sebuah karya sastra yang menggambarkan perasaan dan pengalaman tokoh yang menjadi subjek cerita, yaitu Dayang Sumbi. Puisi ini menggambarkan perjalanan hidupnya, keraguan, serta pergulatan batinnya terhadap nasib dan takdirnya.

Tokoh Utama: Dayang Sumbi adalah tokoh utama dalam puisi ini. Ia digambarkan sebagai seorang perempuan yang mengalami kebingungan dan pergulatan batin dalam hidupnya. Ia merasa kehilangan kenangan tentang ibunya dan tidak memiliki informasi tentang siapa sebenarnya orang tua kandungnya.

Ketidakjelasan Asal Usul: Dalam puisi ini, Dayang Sumbi menggambarkan ketidakjelasan asal usulnya. Ia merasa ditemukan sebagai bayi di hutan Pajajaran dan ada rumor bahwa ia lahir dari seekor babi hutan. Namun, ia meragukan cerita ini dan merasa kebingungan tentang asal usulnya.

Konflik Batin: Dayang Sumbi merasakan konflik batin yang mendalam. Ia merasa terasing dan kehilangan identitasnya. Kehidupannya yang penuh teka-teki dan kebingungan tentang asal usulnya menciptakan perasaan konflik dalam dirinya.

Mitologi Jawa: Puisi ini mencakup elemen-elemen mitologi Jawa, seperti kisah Tumang dan Sangkuriang. Tumang adalah anjing yang dikorbankan oleh Sangkuriang untuk dimakan oleh Dayang Sumbi, dan jantung Tumang dipotong dan dimasak sebagai makanan. Mitos ini menjadi salah satu aspek penting dalam puisi ini.

Kehilangan dan Ketidakjelasan Identitas: Puisi ini menciptakan tema tentang kehilangan identitas dan ketidakjelasan asal usul. Dayang Sumbi merasa terasing dan bingung tentang siapa sebenarnya dirinya, dan hal ini menciptakan perasaan isolasi dan konflik batin dalam dirinya.

Pertanyaan Identitas: Puisi ini mengangkat pertanyaan-pertanyaan tentang identitas, keberadaan, dan kebermaknaan dalam hidup manusia. Dayang Sumbi mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini sepanjang puisi, menciptakan atmosfer misteri dan konflik batin.

Puisi "Dayang Sumbi" adalah karya yang menggambarkan perasaan konflik batin dan kebingungan identitas tokoh utamanya, Dayang Sumbi. Dengan menggabungkan elemen-elemen mitologi Jawa, puisi ini menciptakan suasana misteri dan ketidakjelasan yang mencerminkan perjuangan manusia dalam mencari makna dalam kehidupan dan identitasnya.

Soni Farid Maulana
Puisi: Dayang Sumbi
Karya: Soni Farid Maulana

Biodata Soni Farid Maulana:
  • Soni Farid Maulana lahir pada tanggal 19 Februari 1962 di Tasikmalaya, Jawa Barat.
  • Soni Farid Maulana meninggal dunia pada tanggal 27 November 2022 (pada usia 60 tahun) di Ciamis, Jawa Barat.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.