Puisi: Dalam Tidur Senja (Karya Adri Darmadji Woko)

Puisi "Dalam Tidur Senja" karya Adri Darmadji Woko mengajak pembaca untuk merenungkan makna hidup dalam setiap peristiwa, serta menyadari bahwa ...

Dalam Tidur Senja

Usah dipusingkan: tengkurap, miring atau mendekam bagai kerbo.
Tuhan ada di mana-mana: di tempat tidur, di jalanan
panjang, utara atau selatan, dalam gembira atau di hati
runyam.
Lupa atau nggak tahu ada pepatah: men sana in
corpore sano
(di radio ayat-ayat dimainkan antara setengah mimpiku).
Perlukah kita nyolong ayam tetangga untuk dipaksa ber-
telur?
Hush!
Aku terjaga.
Ini jam mati.
Ini bupet.
Ini kaca. Kaca. Kaca.
Sudahkah mereka berkerudung sarung?
Sebentar lagi waktu pun lewat dan mereka siap
berseru.
Hei, tunggu dulu.
Bukankah aku sudah bangun?
Di kejauhan Koes Plus berlagu: sore, sore ...

1975

Sumber: Horison (April, 1978)

Analisis Puisi:

Puisi "Dalam Tidur Senja" karya Adri Darmadji Woko merupakan sebuah karya sastra yang penuh dengan simbolisme dan perenungan tentang kehidupan, waktu, dan keberadaan Tuhan. Dengan penggunaan bahasa yang sederhana namun penuh makna, puisi ini mengajak pembaca untuk meresapi keadaan kehidupan sehari-hari yang terkadang diliputi kebingungan dan ketidakpastian. Melalui struktur dan pilihan kata yang unik, Woko menghadirkan pengalaman batin yang menggugah tentang pencarian makna dalam ketidaksempurnaan.

Refleksi tentang Keberadaan Tuhan

Puisi ini diawali dengan ungkapan yang menggambarkan konsep Tuhan yang ada di mana-mana. "Tuhan ada di mana-mana: di tempat tidur, di jalanan panjang, utara atau selatan, dalam gembira atau di hati runyam." Kalimat ini menunjukkan keyakinan bahwa Tuhan tidak terbatas oleh ruang atau waktu. Ia hadir dalam berbagai aspek kehidupan manusia, baik dalam keadaan yang bahagia, maupun dalam kesulitan. Meskipun kesulitan hidup dapat membuat hati menjadi runyam, Tuhan tetap ada sebagai bagian dari setiap momen dalam hidup.

Pernyataan "Tuhan ada di mana-mana" dalam konteks ini memperlihatkan bahwa kehadiran Tuhan tidak hanya dapat ditemukan di tempat-tempat yang sakral atau dalam doa, tetapi juga dalam rutinitas harian, bahkan ketika seseorang berada dalam keadaan terjaga atau tertidur. Keberadaan Tuhan yang meresap ini juga mengingatkan pembaca bahwa tidak ada yang harus dipusingkan dalam hidup, karena Tuhan senantiasa hadir untuk memberi makna dalam setiap langkah kehidupan.

Perenungan tentang Hidup dan Kematian

Dalam bagian selanjutnya, puisi ini berbicara tentang sikap manusia terhadap hidup dan kematian dengan nada yang lebih reflektif dan filosofis. "Usah dipusingkan: tengkurap, miring atau mendekam bagai kerbo." Kalimat ini mengajak pembaca untuk tidak terlalu terikat pada bentuk atau cara hidup yang tampak, melainkan untuk menerima kenyataan hidup yang ada dengan segala kerumitannya.

Lanjutannya dengan kalimat "Lupa atau nggak tahu ada pepatah: men sana in corpore sano (di radio ayat-ayat dimainkan antara setengah mimpiku)" memberikan gambaran tentang ketidaktahuan atau kebingungan dalam hidup. Pepatah Latin tersebut, yang berarti "di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat," seakan mengingatkan kita tentang pentingnya keseimbangan antara tubuh dan jiwa. Namun, ayat-ayat yang dimainkan di radio dan setengah mimpi menyiratkan adanya ketidaksempurnaan dalam pencarian makna hidup, atau mungkin juga tentang ketidakseimbangan antara yang rohani dan yang jasmani.

Ketidakpastian dan Kritik terhadap Keadaan Sosial

Seiring dengan perjalanan puisi ini, terdapat kalimat provokatif yang menggambarkan ketidakadilan atau kekecewaan terhadap kehidupan sosial, seperti "Perlukah kita nyolong ayam tetangga untuk dipaksa ber telur?" Kalimat ini mencerminkan keraguan atau perasaan kritis terhadap kondisi sosial yang memaksa individu untuk bertindak secara tidak jujur atau menyimpang dari norma demi bertahan hidup.

Namun, setelah kalimat tersebut, puisi ini dengan cepat bergeser ke suasana yang lebih merenung: "Hush! Aku terjaga. Ini jam mati. Ini bupet. Ini kaca. Kaca. Kaca." Frase ini memberikan gambaran tentang ketidakpastian dan kekosongan yang melanda pikiran. "Jam mati" mungkin melambangkan waktu yang seakan terhenti, "bupet" menggambarkan kekosongan atau kebingungan, dan "kaca" yang berulang memberikan citra tentang refleksi diri yang terpecah-pecah atau kabur.

Penutupan yang Penuh Makna

Bagian terakhir dari puisi ini menambahkan kedalaman dalam penggambaran waktu dan kesadaran diri. "Sudahkah mereka berkerudung sarung? Sebentar lagi waktu pun lewat dan mereka siap berseru. Hei, tunggu dulu. Bukankah aku sudah bangun?" Kalimat ini menyiratkan kesadaran terhadap waktu yang terus berjalan dan ketegangan antara bangun dan tertidur. Woko memperlihatkan sebuah kesadaran akan dunia sekitar, tetapi juga kebingungan terhadap keberadaan diri dalam siklus waktu yang terus bergerak maju.

Akhir puisi ini dengan referensi "Di kejauhan Koes Plus berlagu: sore, sore ..." memberikan sentuhan nostalgia dan melengkapi suasana melankolis puisi ini. Lagu Koes Plus yang populer dengan liriknya yang sederhana namun penuh makna seolah mengingatkan pembaca akan kesederhanaan dan kesedihan hidup yang terus berlanjut, sama seperti waktu yang tak pernah berhenti.

Puisi "Dalam Tidur Senja" karya Adri Darmadji Woko adalah sebuah karya yang penuh dengan perenungan tentang kehidupan, waktu, dan keberadaan Tuhan dalam setiap aspek kehidupan manusia. Melalui pilihan kata yang sederhana namun tajam, Woko menyampaikan gambaran tentang ketidaksempurnaan, kebingungan, dan kehadiran Tuhan yang meliputi segala hal. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan makna hidup dalam setiap peristiwa, serta menyadari bahwa waktu dan ketidaksempurnaan adalah bagian dari perjalanan kita.

Dalam ketidaksempurnaan dan kebingungan tersebut, kita bisa menemukan refleksi diri yang mendalam, dan mungkin juga sedikit kedamaian, saat kita menyadari bahwa Tuhan ada di mana-mana—bahkan dalam momen-momen yang tampaknya kosong dan tidak berarti.

Adri Darmadji Woko
Puisi: Dalam Tidur Senja
Karya: Adri Darmadji Woko

Biodata Adri Darmadji Woko:
  • Adri Darmadji Woko lahir pada tanggal 28 Juni 1951 di Yogyakarta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.