Sumber: Perbincangan Terakhir dengan Tuan Guru (2018)
Analisis Puisi:
Puisi "Bersimpuh di Genangan Air Mata Sendiri" karya Tjahjono Widarmanto menggambarkan sebuah perjalanan batin yang penuh dengan kesedihan, penyesalan, dan keputusasaan. Dengan kata-kata yang sederhana namun penuh makna, puisi ini menggambarkan rasa sakit yang dialami oleh penyair saat terperangkap dalam kenangan yang menyakitkan dan kegagalan yang tak terelakkan. Tema-tema seperti kesendirian, kehilangan, dan penyesalan menjadi pusat dari puisi ini, yang menggugah pembaca untuk merenung tentang fragmen kehidupan yang penuh dengan perjuangan dan ketidakberdayaan.
Kesedihan dan Penyesalan dalam Genangan Air Mata
Dalam puisi ini, penyair memilih untuk "bersimpuh di atas genangan ratapan air mata sendiri," yang menggambarkan betapa dalamnya kesedihan yang ia rasakan. Air mata menjadi simbol dari penderitaan batin yang dialami oleh penyair, sebuah cerminan dari kegagalan dan penyesalan yang tak kunjung hilang. Tindakan "bersimpuh" menunjukkan rasa ketidakberdayaan dan keputusasaan, seolah penyair tidak bisa lagi mengubah apapun yang telah terjadi. Ia terperangkap dalam genangan air mata yang tercipta karena rasa sakit dan penyesalan yang mendalam.
"Merabai kerutan pelupuk mata sendiri pupil lelah
Menatap kekalahan dan guratan debu kemarau panjang"
Baris ini menunjukkan ketidakmampuan untuk menghindari kenyataan dan perasaan lelah yang mendera. Penyair merasa terjebak dalam waktu yang tak bisa diubah, dan setiap tatapan matanya membawa gambaran kekalahan dan keputusasaan. Guratan "debuk kemarau panjang" mengarah pada perasaan kekosongan yang menanti, seperti tanah yang kerontang tanpa air.
Kehilangan dan Ketidakberdayaan
Penyair juga menggambarkan perasaan kehilangan yang mendalam dengan menggambarkan dirinya dalam keadaan yang terpuruk, tidak berdaya. Ia meraba "kerutan mata," yang menunjukkan betapa lama ia telah menderita, dan betapa sulitnya untuk melupakan masa lalu yang penuh dengan luka. Semua ini dipenuhi dengan rasa kehilangan yang membuat hatinya menjadi kosong dan kering.
"Tak ada mawar ungu hanya sketsa hujan
Yang membasahi keranda"
Di baris ini, gambaran tentang "mawar ungu" yang tidak ada menciptakan suasana hampa, seperti sebuah harapan yang telah hilang. Sebagai gantinya, hanya ada "sketsa hujan," yang melambangkan kedukaan dan kehilangan yang datang tanpa ampun. Hujan, meski bisa membawa kesegaran, di sini justru melambangkan kesedihan yang semakin mendalam. Keranda, yang menjadi tempat peristirahatan terakhir, mengingatkan pada kematian dan akhir dari segala yang dicintai.
Pusara Waktu yang Mengkhianati Sepi
Puisi ini juga menggambarkan waktu yang menjadi pengkhianat, sebuah konsep yang sering digunakan untuk menandakan betapa cepatnya waktu berlalu dan bagaimana kita sering terjebak dalam kenangan yang menyakitkan. Penyair merasa terperangkap dalam "pusara waktu," yang menjadi simbol dari penyesalan yang mendalam dan tak terelakkan.
"Membuatku tersungkur bersimpuh di genangan air mata sendiri
Dengan nafas layu. kerongkongan beku. tatapan layu. mulut pun gagu"
Dalam baris ini, penyair menggambarkan perasaan lelah dan kehabisan energi. Nafas yang layu, kerongkongan yang beku, dan tatapan yang layu menggambarkan bagaimana tubuh dan jiwa penyair sudah tidak lagi berdaya. Keputusasaan semakin mendalam, dan ia merasa seperti terperangkap dalam kondisi yang tidak bisa dipulihkan.
Puisi tentang Penyesalan dan Kegagalan
Puncak dari puisi ini terletak pada perasaan penyesalan yang mendalam: "meratap di genangan air mata sendiri sebab gagal mencegah batas lantas terjebak di puing fana!" Kalimat ini menggambarkan penyair yang merasa gagal dalam menghadapi kehidupan dan menerima kenyataan pahit bahwa ia terjebak dalam "puing fana," yakni sisa-sisa kehidupan yang sia-sia.
Dalam kalimat ini, "gagal mencegah batas" mengindikasikan bahwa penyair merasa tidak mampu mengubah takdir atau menghadapi keputusan-keputusan hidup yang telah membawa mereka ke titik ini. Segala perjuangan dan harapan yang pernah ada kini hanya menjadi kenangan yang terlupakan, seperti sisa-sisa kehidupan yang telah musnah dan terbuang begitu saja.
Puisi "Bersimpuh di Genangan Air Mata Sendiri" karya Tjahjono Widarmanto adalah sebuah karya yang penuh dengan emosi dan makna. Melalui penggunaan simbolisme seperti air mata, hujan, keranda, dan waktu, puisi ini menggambarkan perasaan kesedihan, penyesalan, dan ketidakberdayaan. Penyair merasa terperangkap dalam luka batin yang dalam, gagal menghindari kenyataan hidup yang pahit, dan merasa terperangkap dalam genangan air mata yang tak bisa lagi dia ubah.
Puisi ini mengingatkan pembaca untuk merenung tentang perjalanan hidup yang penuh dengan kegagalan dan penyesalan. Namun, di balik semua kesedihan itu, ada sebuah pemahaman yang dalam tentang ketidakberdayaan manusia menghadapi waktu dan takdir. Karya ini mengajak kita untuk lebih memahami rasa sakit dan kehilangan, serta bagaimana kita sering terjebak dalam kesedihan yang tidak bisa kita hindari.
Dengan kata-kata yang tajam dan penuh makna, Tjahjono Widarmanto berhasil menyampaikan perasaan batin yang rumit dan membawa pembaca untuk merasakan kesedihan yang sama. Puisi ini bukan hanya tentang kesedihan, tetapi juga tentang penerimaan terhadap kenyataan yang telah terjadi, meski penuh dengan penyesalan.