Sumber: Perbincangan Terakhir dengan Tuan Guru (2018)
Analisis Puisi:
Puisi "Berdiri di Kelokan" karya Tjahjono Widarmanto menggambarkan perasaan kebingungan, kerinduan, dan pencarian makna yang terkadang membawa seseorang ke titik perenungan yang mendalam. Dengan pilihan kata yang kaya akan simbolisme dan imaji, puisi ini menciptakan atmosfer yang kuat tentang perjalanan hidup dan batas-batas yang harus dilalui, baik dalam hal fisik maupun emosional. Melalui puisi ini, pembaca dibawa pada sebuah perjalanan batin yang penuh pertanyaan, keraguan, dan pencarian kembali ke tempat yang diyakini sebagai "rumah" atau titik aman.
Batas sebagai Pencarian dan Keputusan yang Diperjuangkan
Puisi ini dimulai dengan kalimat "inikah batas itu?" yang langsung mengundang rasa penasaran. Penyair seakan bertanya tentang batasan atau titik tertentu dalam perjalanan hidup yang mungkin menunjukkan akhir atau awal dari sesuatu yang baru. Batas tersebut bukan hanya berbicara mengenai ruang atau tempat, tetapi juga bisa merujuk pada perasaan dan pemikiran. Pertanyaan yang berulang kali muncul dalam puisi ini, "inikah batas itu?" menggambarkan kebingungan penyair, apakah ia sudah sampai pada titik yang benar dalam hidupnya atau masih terjebak dalam perjalanan yang belum usai.
Batas itu juga dilihat sebagai sebuah tempat untuk "kembali pulang", yang memberi kesan adanya keinginan untuk kembali ke asal, ke tempat yang aman dan nyaman. Penyair seakan merindukan kedamaian yang telah hilang, dan batas ini menjadi sebuah simbol pencarian untuk kembali ke suatu kondisi yang telah lama ditinggalkan. Dalam konteks ini, puisi ini bisa diartikan sebagai refleksi tentang perjuangan hidup untuk menemukan titik aman atau rumah emosional yang selama ini hilang.
Perubahan yang Membingungkan dan Penuh Teka-Teki
Selanjutnya, penyair menggambarkan perubahan yang terjadi di sekitarnya, "saku bajuku penuh dijejali teka-teki asing". Gambarannya tentang saku yang penuh dengan teka-teki asing menggambarkan perasaan kebingungan yang dialami oleh penyair, di mana segala sesuatu yang dulunya familiar kini menjadi tidak jelas dan membingungkan. Perubahan ini menyiratkan adanya transformasi dalam hidup yang membuat penyair merasa terasing, seakan ia tidak lagi mengenali dunia atau dirinya sendiri. Ini adalah gambaran dari perasaan alienasi yang sering kali dialami seseorang ketika dihadapkan pada perubahan yang tidak bisa dipahami.
Begitu pula dengan gambaran tentang "sungai-sungai berubah warna", yang memberikan kesan bahwa segala sesuatu di sekitarnya berubah menjadi sesuatu yang tidak bisa dikenali. Transformasi ini menggambarkan betapa hidup bisa berubah secara drastis, sehingga menyisakan perasaan tidak pasti dan kebingungan dalam diri individu.
Simbolisme dalam Perubahan dan Perjalanan
Puisi ini juga dipenuhi dengan imaji yang kuat, seperti "stasiun-stasiun jadi lorong lonjong", yang menggambarkan bahwa segala tempat yang dulu dikenal sebagai titik pemberhentian atau ruang penghubung kini terasa berbeda. Perjalanan hidup yang penuh dengan harapan dan impian kini berubah menjadi sebuah labirin yang rumit dan tak terduga. Begitu juga dengan gambaran "segala syair berterbangan seperti kepak elang hilang sarang", yang menggambarkan bahwa impian dan harapan yang dulu jelas kini terbang dan menghilang, tidak lagi berada dalam jangkauan.
Penyair juga menggunakan kontras yang tajam, seperti "asin garam bertukar rasa dengan asam cuka / : hambar seperti senyum sendiri". Kontras ini menunjukkan bagaimana segala sesuatu yang dulunya terasa jelas dan bermakna kini berubah menjadi sesuatu yang tak terdefinisi, bahkan kehilangan rasa dan makna. Perasaan yang tadinya penuh dengan rasa dan harapan kini terasa hambar, seiring dengan hilangnya orientasi atau tujuan hidup.
Resah dan Keinginan untuk Kembali
Bagian selanjutnya dalam puisi ini menggambarkan perasaan resah yang semakin menguat, "di jalan pulang resah berputar-putar / seperti pusing guruh melingkar-lingkar". Perasaan resah ini menggambarkan ketidakpastian dan keraguan yang dialami penyair dalam perjalanan hidupnya. Seakan-akan, penyair terjebak dalam lingkaran kecemasan yang tidak bisa dihentikan, dan ia merasa tidak tahu harus berbuat apa. Perasaan pusing ini menjadi simbol dari kebingungan dan ketidakmampuan untuk menemukan jalan keluar dari permasalahan hidup.
Keinginan untuk "kembali" yang muncul di akhir puisi ini menegaskan bahwa penyair merindukan suatu tempat atau keadaan yang lebih tenang dan pasti. Namun, pertanyaan terakhir yang muncul—"bolehkah aku kembali!"—adalah sebuah seruan penuh harapan sekaligus keraguan. Penyair bertanya apakah masih ada kesempatan untuk kembali, atau apakah waktu telah berlalu begitu jauh sehingga tidak ada lagi jalan untuk kembali ke keadaan yang dulu.
Puisi "Berdiri di Kelokan" karya Tjahjono Widarmanto menggambarkan perjalanan batin yang penuh dengan kebingungan, keraguan, dan pencarian akan sesuatu yang hilang. Dengan penggunaan simbolisme dan imaji yang kuat, puisi ini memberikan gambaran tentang perubahan hidup yang tak terduga, kebingungan yang datang dengan perubahan itu, dan kerinduan untuk menemukan kembali titik aman atau rumah emosional.
Penyair mengajak pembaca untuk merenungkan batas-batas yang ada dalam kehidupan, baik itu batas fisik maupun emosional. Dengan kalimat-kalimat yang penuh dengan pertanyaan dan keraguan, puisi ini menggambarkan realitas hidup yang tidak selalu mudah dipahami, serta pencarian tanpa henti untuk menemukan makna dan kedamaian dalam dunia yang terus berubah.
Penyair juga menyentuh tema universal tentang perasaan alienasi, harapan yang hilang, dan keinginan untuk kembali ke tempat yang lebih aman. Puisi ini, meskipun terkesan melankolis, menyajikan keindahan dalam ketidakpastian dan ketidakpastian itu sendiri menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan.