Dalam banyak keluarga di Indonesia, perempuan sering kali menjadi pihak yang memikul beban terberat. Di satu sisi, mereka dituntut menjalankan peran domestik sebagai ibu rumah tangga—seperti memasak, membersihkan rumah, dan mengasuh anak. Di sisi lain, banyak perempuan juga bekerja di luar rumah untuk membantu perekonomian keluarga. Ironisnya, peran ganda, atau yang dikenal dengan istilah double burden, sering kali dianggap sebagai hal "biasa saja," bahkan dilanggengkan oleh norma budaya dan tradisi patriarki.
Budaya patriarki yang masih mengakar menciptakan ketimpangan yang mendominasi masyarakat kita. Sejak kecil, perempuan diajarkan untuk menjadi "penjaga rumah." Mereka diarahkan pada aktivitas domestik melalui permainan seperti masak-masakan atau boneka, karena konstruksi sosial masyarakat menekankan bahwa perempuan harus lemah lembut dan bertugas dalam ranah keluarga. Sementara itu, laki-laki didorong untuk menjadi pencari nafkah utama dan diarahkan pada kepemimpinan sejak dini. Padahal, jiwa kepemimpinan bukanlah hak eksklusif laki-laki; perempuan juga memiliki hak yang sama. Konstruksi sosial yang patriarkal inilah yang membatasi perkembangan perempuan.
Meskipun perempuan kini berkontribusi besar dalam perekonomian keluarga, tanggung jawab domestik tetap sepenuhnya berada di pundak mereka. Sebagai contoh, perempuan yang bekerja penuh waktu masih menghabiskan lebih banyak waktu untuk pekerjaan rumah tangga dibandingkan laki-laki. Padahal, mereka sama-sama lelah setelah bekerja seharian. Kondisi ini menunjukkan bahwa pembagian peran dalam keluarga masih jauh dari kata adil.
Beban ganda ini tidak hanya melelahkan secara fisik, tetapi juga berdampak pada kesejahteraan mental perempuan. Banyak yang merasa stres, tertekan, dan kehilangan waktu untuk diri sendiri. Dalam jangka panjang, hal ini dapat memengaruhi hubungan keluarga, produktivitas di tempat kerja, hingga kualitas pengasuhan anak.
Ekspektasi berlebihan terhadap perempuan juga sering kali menghambat mereka untuk berkembang. Waktu untuk pendidikan, karier, atau sekadar mengejar hobi pribadi menjadi sangat terbatas karena masyarakat masih terpaku pada konstruksi sosial bahwa perempuan seharusnya bekerja di ranah domestik, meskipun mereka juga memiliki tanggung jawab membantu perekonomian keluarga.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan perubahan paradigma dalam keluarga dan masyarakat. Kesetaraan gender harus dimulai dari rumah. Laki-laki perlu dilibatkan dalam pekerjaan domestik, bukan sekadar sebagai bantuan, tetapi sebagai tanggung jawab bersama. Misalnya, ketika seorang ibu memiliki pekerjaan di luar rumah dan tidak memiliki waktu untuk mengurus pekerjaan domestik, seorang ayah harus mengambil tugas tersebut guna mengisi kekosongan yang ada. Tanggung jawab domestik harus dibagi secara adil demi menciptakan keadilan gender di ranah keluarga.
Selain itu, pendidikan tentang peran gender harus ditanamkan sejak dini. Anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, perlu diajarkan bahwa pekerjaan rumah tangga bukanlah "tugas perempuan," melainkan tugas bersama.
Pemerintah dan institusi juga memiliki peran penting. Kebijakan yang mendukung perempuan bekerja, seperti fleksibilitas kerja, cuti melahirkan yang adil, dan layanan penitipan anak yang terjangkau, dapat membantu mengurangi beban ganda yang mereka alami.
Ketidakadilan gender dalam keluarga adalah masalah yang kompleks, tetapi bukan tanpa solusi. Dengan upaya bersama melalui pendidikan, kebijakan yang mendukung, dan perubahan budaya, kita dapat menciptakan keluarga yang lebih setara. Saatnya berhenti menganggap beban ganda perempuan sebagai hal yang "normal" dan mulai mengupayakan keadilan yang sesungguhnya dalam masyarakat.
Selain budaya patriarki yang mengakar, media massa juga memiliki kontribusi dalam melanggengkan stereotip gender. Tayangan televisi, iklan, dan media sosial sering kali menggambarkan perempuan sebagai pengurus rumah tangga yang ideal dan laki-laki sebagai pencari nafkah utama. Representasi ini memperkuat persepsi bahwa perempuan harus bertanggung jawab atas pekerjaan domestik, terlepas dari kontribusi mereka di luar rumah. Oleh karena itu, media perlu mengambil peran aktif dalam mempromosikan kesetaraan gender dengan menampilkan keluarga yang berbagi tugas secara adil antara laki-laki dan perempuan.
Perubahan tidak hanya harus dimulai dari institusi atau kebijakan, tetapi juga dari individu. Setiap anggota keluarga memiliki tanggung jawab untuk memutus rantai patriarki yang merugikan perempuan. Misalnya, pasangan suami-istri dapat memulai diskusi terbuka tentang pembagian peran dalam rumah tangga. Dengan membangun kesadaran kolektif bahwa pekerjaan domestik adalah tanggung jawab bersama, keluarga dapat menciptakan lingkungan yang lebih adil dan mendukung kesejahteraan semua anggotanya.
Meningkatkan kesetaraan gender dalam keluarga juga memiliki manfaat ekonomi yang signifikan. Perempuan yang tidak lagi terbebani oleh beban ganda akan memiliki lebih banyak waktu untuk mengembangkan karier atau meningkatkan keterampilan. Hal ini tidak hanya meningkatkan pendapatan keluarga tetapi juga berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional. Laporan dari Bank Dunia menunjukkan bahwa kesetaraan gender dalam angkatan kerja dapat meningkatkan produktivitas ekonomi suatu negara. Dengan demikian, investasi pada kesetaraan gender bukan hanya persoalan keadilan, tetapi juga strategi pembangunan yang cerdas.
Selain kebijakan pemerintah, peran komunitas lokal sangat penting untuk menciptakan perubahan. Program-program seperti pelatihan keterampilan bagi perempuan, kampanye kesadaran tentang kesetaraan gender, dan pembentukan kelompok dukungan dapat memberikan ruang bagi perempuan untuk berbagi pengalaman dan solusi. Misalnya, kelompok ibu-ibu di lingkungan tertentu dapat saling membantu dalam mengasuh anak atau menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, sehingga beban ganda dapat terbagi lebih merata.
Dalam masyarakat yang lebih setara, perempuan dan laki-laki dapat bekerja sama untuk menciptakan lingkungan keluarga yang harmonis. Kesadaran bahwa semua anggota keluarga memiliki hak dan tanggung jawab yang sama adalah kunci untuk mencapai keseimbangan. Masa depan beban ganda perempuan bukan lagi norma membutuhkan kerja sama dari semua pihak—keluarga, komunitas, media, pemerintah, dan dunia pendidikan. Dengan langkah kecil tetapi konsisten, perubahan besar dapat terjadi untuk menciptakan masyarakat yang adil dan inklusif.
Biodata Penulis:
Fatahilah Faletehan Fisabilillah saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Malang.