Pendidikan merupakan hak asasi manusia yang fundamental dan esensial bagi perkembangan individu dan masyarakat. Namun, masih banyak hambatan yang menghadang, terutama bagi perempuan. Data Badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan (UNESCO) menunjukkan sebanyak 132 juta anak perempuan di dunia tidak bersekolah. Di Indonesia, data Kementerian Pendidikan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) menunjukkan perempuan memiliki kesempatan yang lebih rendah untuk mengakses pendidikan tinggi dibandingkan laki-laki.
Kesenjangan gender dalam akses pendidikan merupakan masalah serius yang mempengaruhi kesetaraan gender dan pengembangan masyarakat. Faktor-faktor seperti norma dan nilai patriarki, keterbatasan ekonomi, aksesibilitas dan diskriminasi menjadi hambatan utama bagi perempuan untuk mengakses pendidikan. Hal ini berdampak pada kesetaraan gender, pengembangan ekonomi dan kesehatan keluarga. Perempuan yang tidak berpendidikan memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami kekerasan dalam rumah tangga, kemiskinan dan ketergantungan ekonomi.
Menurut Teori Struktural Fungsional Talcott Parsons, masyarakat memiliki empat fungsi utama: adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi dan pemeliharaan nilai. Dalam konteks akses pendidikan, masyarakat belum beradaptasi dengan perubahan peran perempuan, sehingga tujuan pendidikan belum mencapai kesetaraan gender. Norma dan nilai patriarki masih kuat, menyebabkan perempuan memiliki kesempatan yang lebih rendah. Hal ini terlihat dari masih banyaknya perempuan yang diharuskan mengurus rumah tangga dan keluarga, sehingga tidak memiliki kesempatan untuk berpendidikan. Faktor-faktor yang mempengaruhi akses pendidikan perempuan meliputi norma dan nilai patriarki yang masih kuat, keterbatasan ekonomi yang membatasi akses pendidikan, aksesibilitas yang kurang memadai dan diskriminasi gender yang masih terjadi. Selain itu, peran perempuan sebagai pengasuh utama juga menjadi hambatan bagi perempuan untuk mengakses pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat masih belum mengakui peran perempuan sebagai agen pembangunan.
Dampak dari kesenjangan gender dalam akses pendidikan sangat luas. Perempuan yang tidak berpendidikan memiliki kesempatan yang lebih rendah untuk mengakses pekerjaan yang layak, sehingga meningkatkan risiko kemiskinan dan ketergantungan ekonomi. Selain itu, kesenjangan gender juga berdampak pada kesehatan dan kesejahteraan keluarga. Perempuan yang tidak berpendidikan memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami komplikasi kehamilan dan melahirkan. Untuk mengatasi kesenjangan gender dalam akses pendidikan, perlu dilakukan beberapa upaya. Pertama, kebijakan afirmatif untuk meningkatkan akses pendidikan perempuan. Kedua, peningkatan aksesibilitas dan infrastruktur pendidikan. Ketiga, pendidikan kesadaran tentang kesetaraan gender. Keempat, dukungan ekonomi untuk perempuan yang ingin berpendidikan. Kelima, mengadvokasi perubahan norma dan nilai patriarki.
Dalam membangun masyarakat yang lebih adil, perlu adanya perubahan dalam struktur sosial dan nilai-nilai yang ada. Pendidikan yang setara bagi laki-laki dan perempuan merupakan kunci untuk mencapai kesetaraan gender dan membangun masyarakat yang lebih berkembang. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya bersama untuk meningkatkan akses pendidikan perempuan dan mempromosikan kesetaraan gender.
Kesimpulan
Kesenjangan gender dalam akses pendidikan merupakan masalah serius yang mempengaruhi kesetaraan gender dan pengembangan masyarakat. Analisis menggunakan Teori Struktural Fungsional Talcott Parsons menunjukkan bahwa masyarakat belum beradaptasi dengan perubahan peran perempuan, sehingga tujuan pendidikan belum mencapai kesetaraan gender. Faktor-faktor seperti norma dan nilai patriarki, keterbatasan ekonomi, aksesibilitas dan diskriminasi gender menjadi hambatan utama bagi perempuan untuk mengakses pendidikan. Untuk mengatasi kesenjangan ini, perlu dilakukan upaya bersama, seperti kebijakan afirmatif, peningkatan aksesibilitas, pendidikan kesadaran tentang kesetaraan gender dan dukungan ekonomi. Selain itu, perubahan norma dan nilai patriarki serta pengakuan peran perempuan sebagai agen pembangunan juga sangat penting. Dengan demikian, kesetaraan gender dalam pendidikan dapat dicapai, dan masyarakat yang lebih adil dan berkembang dapat dibangun.
Referensi:
- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). (2020). Strategi Peningkatan Kesetaraan Gender.
- Hidayati, N. (2020). Kesenjangan Gender dalam Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Nurlaela, P., Nabila, P., Iryanda, F. Z., & Septiliani, A. Persepsi Mahasiswa Sosiologi Universitas Nasional terhadap Isu Kesetaraan Gender dalam Pendidikan.
- Trisnawati, O., & Widiansyah, S. (2022). Kesetaraan Gender terhadap Perempuan dalam Bidang Pendidikan di Perguruan Tinggi. Jurnal Pendidikan Sosiologi dan Humaniora, 13(2), 339-347.
Biodata Penulis:
Lucky Bagus Setiawan saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Malang.