Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern. Platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter menawarkan berbagai kemudahan, mulai dari terhubung dengan teman lama hingga berbagi pengalaman sehari-hari. Namun, seiring dengan manfaat yang diberikan, ada pula risiko yang mengintai, khususnya terkait kesehatan mental.
Dalam laporan We Are Social terbaru (2024), jumlah pengguna media sosial di dunia telah mencapai lebih dari 5 miliar orang, hampir 63% dari populasi global. Media sosial memungkinkan kita berbagi cerita, mencari informasi, dan menjalin hubungan tanpa batas ruang dan waktu. Misalnya, seorang ibu rumah tangga di pedesaan dapat terhubung dengan komunitas yang mendukung kesehatan mentalnya melalui grup online.
Namun, media sosial juga membawa tantangan. Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) menjadi salah satu dampak negatif yang banyak dirasakan, terutama oleh remaja. Bayangkan seorang pelajar yang merasa tertinggal hanya karena tidak menghadiri acara tertentu yang diposting teman-temannya di Instagram. Perasaan ini dapat memicu kecemasan dan stres jika tidak dikelola dengan baik.
Penelitian terbaru oleh Harvard University (2024) menemukan bahwa remaja yang terlalu sering menggunakan media sosial memiliki risiko dua kali lebih besar mengalami kecemasan dibandingkan mereka yang membatasinya.
Menurut Dr. Jean Twenge, penulis buku iGen, “Semakin lama seseorang menghabiskan waktu di media sosial, semakin rendah tingkat kebahagiaan mereka.” Hal ini diperburuk dengan kebiasaan menjelajahi media sosial hingga larut malam, yang dapat mengganggu kualitas tidur.
Studi oleh Sleep Health Journal (2023) mengungkapkan bahwa 60% pengguna media sosial melaporkan mengalami gangguan tidur akibat penggunaan perangkat elektronik sebelum tidur.
Di sisi lain, media sosial juga memiliki potensi luar biasa untuk mendukung kesehatan mental. Platform seperti TikTok dan Twitter kini menjadi sarana kampanye kesehatan mental. Tagar seperti #MentalHealthAwareness membantu mengurangi stigma, menyebarkan informasi, dan membangun komunitas yang saling mendukung.
Contohnya, banyak organisasi kesehatan mental menggunakan media sosial untuk berbagi tips praktis, seperti cara mengelola stres atau tanda-tanda gangguan kecemasan. Lebih dari itu, media sosial juga membuka akses ke layanan profesional, seperti konseling online. Dengan cara ini, orang-orang yang sebelumnya kesulitan mencari dukungan kini dapat menjangkau bantuan dengan lebih mudah.
Banyak orang yang merasa terbantu dengan bergabung ke dalam komunitas daring yang mendukung kesehatan mental. Laporan American Psychological Association (2024) menyebutkan bahwa dukungan dari grup daring dapat mengurangi rasa kesepian hingga 40%.
Media sosial adalah pedang bermata dua yang dapat membawa manfaat besar, namun juga memiliki potensi risiko terhadap kesehatan mental. Di satu sisi, media sosial memungkinkan kita terhubung, berbagi, dan mendapatkan informasi, serta membuka peluang untuk kampanye kesadaran kesehatan mental. Di sisi lain, penggunaan yang tidak terkontrol dapat memicu kecemasan, perasaan rendah diri, hingga gangguan tidur. Kunci untuk memanfaatkan media sosial secara optimal terletak pada kesadaran dan pengelolaan bijak. Dengan menetapkan batas waktu, fokus pada konten positif, dan memanfaatkan dukungan yang ada, kita dapat menjadikan media sosial sebagai alat yang mendukung kesejahteraan mental, bukan sebagai sumber tekanan. Pada akhirnya, yang terpenting adalah menjaga keseimbangan dalam dunia digital untuk tetap sehat, baik secara mental maupun emosional.
Biodata Penulis:
Sefiera Zulfa Assyfa saat ini aktif sebagai mahasiswa, Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, di Universitas Peradaban, Bumiayu.